Pagi sekali Mentari sudah bersiap berangkat ke kantor barunya. Semangatnya jauh lebih membara dibandingkan ketika ia berangkat kerja ke perusahaan pak Santoso dulu. Kali ini ia bisa sedikit jumawa karena mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan raksasa di negara ini. Gajinya besar dan fasilitasnya oke punya. Mentari merasa beruntung dan tidak sia-sia keluar dari perusahaan pria lansia yang berniat menjadikannya istri keempat.
"Tapi …."
Mentari yang sedang menatap pantulan dirinya di cermin itu meragu, ia teringat akan nama CEO di kantor barunya itu.
"Nggak! Nggak mungkin dia lah. Emang cowok model Zio gitu bisa jadi CEO, nggak mungkin! Dia itu bisanya jadi pemandu tour ranjang panas."
Mengingat Zio membuat Mentari menjadi kesal. Bagaimana tidak kesal, ia yang cinta setengah mati ternyata salah jatuh cinta. Kekasihnya itu–lebih tepatnya mantan kekasihnya itu ternyata seorang playboy dan memiliki banyak kekasih.
"Bodoh amat lah! Intinya sekarang gue harus berangkat kerja biar nggak telat," ucap Mentari, ia pun keluar dan ikut sarapan bersama kedua orang tuanya.
Seusai sarapan Mentari langsung bergegas ke kantornya, kali ini jarak yang ia tempuh cukup jauh dari kantor lamanya sehingga ia harus lebih pagi lagi.
Mentari mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi karena tidak ingin terjebak macet justru harus mengalami nasib sial karena ban motornya bocor. Dadakan!
"Ck!" Mentari berdecak kesal. "Kenapa lu harus bocor saat gue buru-buru sih? Ini hari pertama kerja gue tahu nggak!" gerutu Mentari yang memang paling suka menggerutu daripada berpikir.
Akhirnya ia mencoba mendorong motonya untuk menemukan bengkel terdekat.
Pyaarrr ….
Mobil mewah berwarna hitam melintas dan tak sengaja ban mobilnya melindas air genangan hingga mengenai baju Mentari yang kini kotor bukan main. Mentari yang sedang kesal semakin geram. Ia membuka helmnya kemudian ia lemparkan pada mobil tersebut.
Bruukkk ….
Mobil tersebut berhenti dan dengan bersungut-sungut Mentari berjalan mendekatinya. Ia menggedor-gedor kaca mobil tersebut.
"Turun nggak lu!" teriaknya, ia bahkan sudah tidak peduli dengan siapa yang ada di dalam mobil tersebut sekalipun itu presiden Mentari tidak peduli. Ia sedang sakit hati dan butuh pelampiasan amarah.
Pintu mobil tersebut terbuka, seorang pria dengan mengenakan setelan jas formal dan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya itu keluar dari mobil.
"Lu bisa nyetir nggak sih? Lu cipratin genangan air ke gue dan lu dengan santainya melaju tanpa minta maaf atau ganti rugi. Cari mati lu?!" sungut Mentari.
Pria itu melipat kedua tangannya di perut sambil memandang Mentari dengan penuh makna. Ia kemudian membuka kacamatanya yang membuat Mentari terbengang.
"Zio?!" pekik Mentari.
Oh … oh … mimpi apa Mentari semalam bisa melihat wajah mantan kekasihnya yang tampan ini. Wajah garangnya tadi sudah berubah menjadi putri keraton begitu tahu siapa pria yang sedang ia marahi ini.
"Udah puas lu marah-marah ke gue? Sensi banget sih mantan gue ini. Marah-marah mulu, pingin balikan ya sama gue?"
Mentari yang tadinya sudah kalem seperti putri keraton mendadak kembali menjadi kucing garong yang siap menerkam Zio.
"Lu! Sialan lu. Emang siapa yang mau balikan sama lu. Jangan gede rasa deh lu. Pokoknya gue nggak mau tahu lu harus ganti rugi!" tuntut Mentari.
Kok dia bisa tahu sih kalau gue emang masih pingin balikan?
Zio mengangkat sebelah alisnya, "Ganti rugi? Nggak salah? Coba deh lu tengok bodi mobil gue yang lu timpuk pakai helm lu. Rusak tahu nggak! Mahal tuh perbaikinya. Pokoknya lu yang ganti rugi. Mana duitnya, siniin!" Zio menengadahkan telapak tangannya meminta yang dari Mentari.
Mata Mentari membulat sempurna. Mana mungkin dia mau menggantinya, bisa-bisa tabungan Mentari habis terkuras hanya untuk memperbaiki mobil Zio.
Mentari menggeleng, "Nggak! Nggak ada ganti rugi. Lu juga udah bikin gue rugi. Kita impas! Mending lu enyah deh dari hadapan gue, muak tahu nggak lihat lu lama-lama!" usir Mentari, padahal yang sebenarnya ia takut jika Zio menuntutnya terus.
Zio mengangkat kedua bahunya, kemudian ia berbalik badan dan langsung masuk ke dalam mobil. Mentari akhirnya bernapas lega, namun hanya sesaat karena Zio kembali menyembulkan kepalanya dari jendela mobil.
"Nanti gue bakalan kirimin nota pembayarannya ke rumah lu. Pokoknya lu ganti rugi titik."
Zio berlalu begitu saja meninggalkan Mentari yang tengah melongo mendengar ucapannya barusan.
"Mantan bangsat! Kenapa gue pernah jatuh cinta sama cowok brengsek kayak dia sih!" umpat Mentari kemudian ia kembali mendorong motornya.
Di dalam mobil Zio kini tengah senyam-senyum sendiri, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan mantannya itu. Sudah lima tahun dan mereka baru bertemu lagi dengan cara yang tidak pernah ia pikirkan.
"Tari, lu tetap aja sama. Suka meledak-ledak. Emang cuma gue yang bisa jadi pawang lu," gumam Zio.
.
.
Mentari bernapas lega karena akhirnya ia bisa sampai di kantor dua menit sebelum jam kerja dimulai. Untung saja ia selalu membawa pakaian ganti di bagasi motornya sehingga pakaian kotornya bisa ia ganti di toilet SPBU tadi.
Mentari melenggang masuk ke dalam gedung pencakar langit itu dan sesekali melempar senyum pada karyawan yang berpapasan dengannya. Sebagai anak baru, Mentari harus bersikap ramah agar tidak ada yang mem-bully dirinya di kantor ini.
Ia pun masuk ke dalam lift dengan lantai 30 sebagai tujuannya. Ruang kerjanya berada di sana dan berdampingan dengan CEO. Mengingat CEO, Mentari mulai menerka-nerka seperti apa bentuk rupa bos barunya ini.
Apakah tengil?
Galak?
Dingin?
Atau genit dan mesum seperti pak Santoso?
Opsi terakhir itu membuat Mentari bergidik ngeri. Ia berdoa semoga bos barunya ini dingin saja daripada beberapa opsi yang ia pikirkan tadi.
Ia kapok dengan bos mesum dan tidak suka cowok tengil seperti Zio. Apalagi galak, Mentari tidak siap jika setiap hari harus kena amukan bosnya. Ia masih ingin awet muda, belum siap keriput karena beban pikiran dimarahi bos melulu.
Lift terbuka dan Mentari langsung menuju ke mejanya. Disana sudah ada pria yang berusia sekitar 28 tahun sedang menunggunya. Pria itu tinggi dengan kulit sedikit kecoklatan. Wajahnya cukup tampan namun terlihat datar dan sedikit menyeramkan.
"Mentari Ramadhani binti Ramadhan, kamu sekretaris baru itu, 'kan?"
Dengan tampang mengenaskan Mentari mengangguk mengiyakan.
Bisa nggak sih nggak usah sebut nama panjang gue? Nama gue itu emang bagus tapi nggak tepat. Gue nggak lahir di bulan ramadhan dan kenapa juga pakai ditaruh binti segala. Huuhh nyesek gue, potek hatiku maak.
"Perkenalkan, saya Ramon, asisten CEO. Dalam beberapa hari ini kamu akan berada di bawah naungan saya dan ketika kamu sudah mampu menghandle pekerjaan sekretaris lama maka saya tidak akan lagi mendampingi kamu. Jadi sebisa mungkin kamu harus fokus saat saya menjelaskan," ucap Ramon dengan suara yang datar dan dingin.
Bikin merinding. Gue kok takut gini sama di Ramon?
"Baik pak Ramon, saya pasti akan fokus," jawab Mentari dengan mantap.
Ramon tidak tersenyum tidak pula berekspresi lain padahal Mentari sudah memasang senyuman sejuta Watt.
Ck, ternyata disini ada kulkas sepuluh pintu.
"Oh ya, sebelum itu kamu sekarang masuk ke ruangan CEO dan perkenalkan diri kamu," titah Ramon.
Mentari mengangguk, ia meletakkan tasnya di atas meja kerjanya dan langsung mengetuk pintu ruangan CEO.
"Masuk!"
Terdengar suara dari dalam dan Mentari seperti pernah mendengar suara itu. Ia mendorong pelan pintu ruangan itu dan matanya menatap sosok yang sedang sibuk di balik laptopnya.
Dagu Mentari seakan jatuh ke lantai begitu melihat siapa pria yang saat ini sedang menatapnya dengan terkejut pula.
"Lu!" pekik keduanya bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Nouvita Sari
padahal ceritanya author bagus" lho,,,tapi k sepi za,,,🤔
2023-10-13
0
😺 Aning 😾
aku mampir kak 👋👋👋
2023-06-01
0
iyel
seruuu nih,next 😁
2023-05-14
0