"Lu!" pekik keduanya bersamaan.
Baik Tari maupun Zio sama-sama terkejut karena mengetahui siapa bos dan siapa sekretarisnya. Andai saja, andai saja Mentari tahu jika Ezio yang dimaksud Pak Frits itu adalah mantan bangsatnya ini, ia mungkin akan berpikir lagi menerima pekerjaan ini.
Lutut Mentari terasa lemas apalagi kemarin ia dengan begitu bersemangat menandatangi surat perjanjian kerja. Saking semangatnya keluar dari kandang pria bangkotan yang ingin menjadikannya istri kesekian ia malah tidak mencari tahu siapa pemimpin perusahaan ini. Jika saja ia tahu di pemandu tour ranjang panas ini adalah CEO-nya mungkin Mentari akan menolak … oh … oh atau bahkan ia juga meng-iyakan mengingat dirinya yang masih mencintai pria brengsek ini.
Pantas saja pak Frits mengatakan jika CEO mereka ini adalah Casanova kelas kakap, rupanya ia memang benar.
"Lu ngapain disini?" tanya Mentari, ia tidak sadar dengan pertanyaannya barusan karena masih kesal pada Zio.
Zio memandang Mentari dengan tatapan yang sulit diartikan. Jujur saja ia terkejut dengan pertanyaan Mentari yang menurutnya begitu aneh.
"Gue ngapain disini? Gue pemilik perusahaan ini. Nah lu, lu ngapain di perusahaan gue? Nyusulin gue? Masih kangen lu?" tanya balik Zio, ia belum tahu kalau Mentari ini adalah sekretaris barunya.
"Wah wah, lu kira gue nggak ada kerjaan selain ngangenin elu. Halu aja lu kerjanya!" cibir Mentari. Emang sih, gue emang masih dan selalu rinduin lu.
Namun ungkapan itu hanya bisa tertahan dalam hati saja.
Zio berdecak, "Jangan bilang kalau sekretaris baru gue itu elu?" sentak Zio.
"What? Jadi CEO Casanova kelas kakap itu elu?" pekik Mentari.
"Apa lu bilang? Coba ulangi sekali lagi," tekan Zio yang membuat mulut Mentari mengatup sempurna.
Gue bilang lu CEO Casanova kelas kakap. Kenapa, lu nggak terima? Lu emang nggak dengar gue ngomong atau lu udah mulai tuli sih! Ganteng-ganteng kok tuli.
Namun lagi dan lagi umpatan itu hanya ada di dalam hati Mentari. Ia mana berani mengatakannya langsung kepada atasan barunya ini.
Merasa kesal dengan ucapan Mentari tadi, Zio pun berteriak memanggil Ramon. Dengan cepat Ramon datang dan melihat ada aura permusuhan di ruangan ini. Ia juga bisa melihat sektretaris baru dan bosnya ini sedang bertatapan sengit. Ramon mengernyit, ia bingung dengan situasi saat ini.
Jangan-jangan bos Zio baru saja menggoda sekretaris barunya ini. Secara matanya itu tidak bisa melihat yang bening langsung disosor.
Melihat Ramon yang sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Zio semakin kesal. Ia menggerutu, entah apa yang ia mimpikan semalam sehingga pagi ini ia sudah dibuat kesal berkali-kali oleh sang mantan yang sialnya masih awet di hatinya ini walaupun mereka sudah putus sejak lima tahun yang lalu.
"Ramon!" pekik Zio.
"Ah ya, ada apa bos?" tanya Ramon yang akhirnya berhenti melamun.
Zio berdecak kesal. Ia memang sedikit pemarah, tidak sabaran, songong, tengil dan masih banyak lagi sifat buruk yang ada pada dirinya. Sebentar-sebentar marah sebentar-sebentar membentak dan Ramon sudah kebal dengan semua itu.
"Siapa wanita buruk rupa itu?" tanya Zio sambil menunjuk Mentari dengan dagunya.
"What? Gue buruk rupa? Wah tuan Dimas Ezio Rasyid, ternyata anda selain tuli anda juga sudah mulai rabun ya. Orang secantik saya ini dibilang buruk rupa? Anda sehat, 'kan? Dulu aja suka muja-muji bilang gue cantik. Rambut gue bagus, bibir gue manis dan kulit gue lembut. Eh sekarang lu bilang gue buruk rupa? Lu nggak lupa minum obat, 'kan?"
Nah, 'kan. Mentari kembali lagi lupa segalanya ketika sedang kesal. Ia tidak peduli pria yang baru saja ia kata-katai ini adalah bosnya, atasannya sekaligus orang yang akan memberikannya gaji. Yang penting ia bisa mengeluarkan kekesalannya pada orang yang membuatnya kesal, ia tidak peduli siapapun itu kecuali sang mama yang tidak bisa ia lawan karena jika ia mulai membantah maka akan keluar kata-kata pamungkas mamanya yang berkata, "Mentari mau melawan Mama? Nggak tahu ya mama ngangkang dua hari dua malam nahan sakit karena lahirin Mentari? Mau jadi anak durhaka? Mau mama kutuk jadi perawan tua?" Nah kalau sudah begitu Mentari mana bisa menumpahkan kekesalannya pada sang mama.
Mendengar ucapan Mentari membuat emosi Zio naik ke ubun-ubun, "Apa lu bilang? Gue tuli, rabun dan nggak waras? Enak banget mulut lu ngatain gue. Dulu emang gue muja-muji lu karena kita 'kan pacaran. Sayang-sayangan. Nggak mungkin waktu itu gue bilang lu jelek, lu dekil, rambut lu lepek, kulit lu kasar, lu bisa marah nanti. Gimana sih lu. Dulu juga lu muja-muji gue. Bilang gue ganteng, gue keren, gue hebat, kenapa sekarang lu ngatain gue tuli dan gila? Cari mati lu?!"
"Ya iya, dulu 'kan kita pacaran. Lu cowok gue dan gue sayang sama lu, mana mungkin gue ngatain lu yang jelek-jelek. Gimana sih lu!"
"Nah itu lu tahu."
Rasanya Ramon ingin menghilang saja dari ruangan ini. Ia ingin melipir dan tidak ingin terlibat dalam perdebatan mantan kekasih ini. Ia akhirnya pun tahu mengapa mereka berdebat, rupanya masih ada sisa masalah yang belum selesai pada masa lalu dan ia tidak ingin jadi penengah dari keduanya yang sama-sama keras kepala dan jika ia perhatikan keduanya ini seperti masih saling menyayangi namun gengsi. Juga, ia melihat keduanya ini walau tengah berdebat tetap saja mereka kompak.
Ramon merasa seperti berada di tengah-tengah pasangan suami istri yang sedang berkelahi karena sang suami gagal dapat jatah malam Jumat dan sang istri yang tidak mendapat jatah uang jajan.
"Ah sudahlah, malas gue lama-lama satu ruangan sama lu. Mending gue keluar dan lanjutin pekerjaan," ucap Mentari yang sudah lelah berdebat. Ia tahu, berdebat dengan Zio ini tidak akan ada habisnya.
Baru saja Mentari hendak keluar, suara lantang Zio langsung menghentikan langkahnya.
"Ramon, berikan dia SP satu dan jangan lupa potong gajinya sepuluh persen!"
Mata Mentari langsung membulat sempurna bahkan mulutnya menganga lebar mendengar ucapan Zio barusan.
"Baik bos," ucap Ramon.
"Kok bisa gaji gue dipotong sepuluh persen?" tanya Mentari tidak terima.
"Lu gue kasih SP satu karena lu nggak sopan sama gue. Gue ini atasan lu dan lu bawahan gue walaupun selama kita pacaran lu nggak pernah ada dibawah gue. Dan mengenai potongan gaji, lu jangan pura-pura lupa kalau lu harus ganti rugi untuk kerusakan mobil gue," papar Zio yang membuat Mentari terbengang.
Kok dia masih ingat aja sama mobilnya?
"Lu juga harus ganti ru–"
"Ramon, potong gajinya jadi lima belas persen!"
Mata Mentari melotot sempurna, "Apa lagi ini? Lu belum puas?"
Zio menyeringai, "La-lu, La-lu, gue ini atasan lu kalau lu lupa. Ngomong yang sopan dong. Gunakan bahasa yang formal sama gue. Lu ngerti 'kan bahasa formal?"
"Tapi anda bebas berbicara non formal dengan saya," cicit Mentari yang kini sadar bahwa tadi ia begitu meledak-ledak hingga lupa posisi dan situasi keduanya yang kini menjadi atasan dan bawahan.
"Lah, itu terserah gue dong. Gue bosnya disini, perusahaan juga milik gue, jadi suka-suka gue," ujar Zio sambil menatap dengan penuh ejekan pada Mentari.
Mentari menghela napas, "Baik Pak, saya minta maaf. Kalau begitu saya permisi," ucap Mentari sebisa mungkin meredam emosinya.
Zio hanya mengibaskan tangannya yang membuat Mentari meradang.
Oh Tuhan, gimana nasib gue kedepannya? Gue pasti akan cepat tua kalau kerja di sini bareng si mantan bangsat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Susi Achmad
ampun dech🤣🤣🤣 malah jd bengekkkk
2023-09-19
0
Sri Darmayanti
wkwkk
mentari... clbk
2023-08-27
0
Nur Adam
lucu ky ny 🤣
2023-06-27
0