Dengan langkah gontai Mentari keluar dari ruangan Zio. Ia duduk di kursinya sambil menunggu Ramon keluar untuk menjelaskan beberapa pekerjaannya. Mentari baru tersadar jika tadi ia memang sudah salah. Harusnya tidak mencampurkan urusan pribadi ke dalam pekerjaan begitu pun sebaliknya.
Ia ingin meminta maaf pada Zio tapi nanti ketika moodnya sudah membaik. Apalagi tadi Zio sudah memberinya ultimatum dengan memotong gaji serta memberikannya SP satu. Mentari merasa hari ini adalah harinya yang paling apes bahkan lebih apes dari ini mendapat lamaran dadakan dari pak Santoso untuk dijadikan istri ke empat. Sejarah akan mencatat kalau hari ini adalah hari tersial Mentari.
Mentari menghela napas, ia menopang dagunya dengan satu tangan sambil menatap layar monitor komputer yang tadi ia nyalakan. Sebelah tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jarinya untuk mengusir kebosanan.
Untung saja tidak sampai lima menit Ramon keluar dan langsung fokus pada pekerjaan. Ia senang karena Mentari cepat paham dengan apa yang ia jelaskan. Tak buruk waktu lama Mentari sudah bisa menguasai beberapa pekerjaan yang ditugaskan oleh Ramon. Pria itu pun meninggalkannya untuk bisa bekerja sendiri.
Inilah Mentari, gadis yang suka blak-blakan, emosi tidak terkontrol dan suka marah pada siapapun yang membuatnya kesal tapi jika sudah berhadapan dengan pekerjaan, ia pasti akan sangat fokus dan cekatan dalam mengerjakan tugasnya.
Ramon yang ruangannya bersebelahan dengan Mentari dengan dinding kaca sebagai pembatas pun tersenyum tipis melihat keseriusan Mentari saat bekerja.
Saat sedang seriusnya bekerja, telepon di atas meja Mentari berbunyi dan ia segera mengangkatnya.
"Ke ruanganku sekarang!"
"Maaf ini dengan siapa ya?" tanya Mentari.
Terdengar decakan dari seberang saluran.
"Gue! Bos lu!"
Tuttt ... tuttt ....
Mentari langsung terkesiap, ia lupa jika yang meneleponnya pasti sang mantan bangsat yang kini merangkap sebagai CEO-nya alias bos barunya. Dengan malas Mentari berdiri dan segera berjalan ke ruangan Zio.
Ia membuka pintu tersebut dan mendapati Zio sedang duduk dengan kakinya yang berada di atas meja.
Ck, gue nggak yakin dia ini CEO beneran!
Zio menatap Mentari yang berdiri sambil menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Diam-diam dalam hati Zio merasa senang bisa melihat mantannya ini lagi.
"Duduk," titah Zio.
Mentari pun duduk di kursi yang berhadapan dengan Zio. "Bapak memanggil saya?" tanya Mentari, kali ini ia tidak ingin terbawa emosi. Ia tidak mau seperti tadi meletup-letup seperti air mendidih. Ia tidak mau gajinya dipotong lagi.
Kaki Zio yang berada di atas meja langsung ia turunkan. Ia tersenyum menatap Mentari, "Tadi gue manggil lu buat wawancara lu langsung tentang kenapa lu ngelamar kerja disini dan kenapa lu keluar dari kantor lu yang lama?" ucap Zio.
Wajah Mentari menjadi tidak enak dilihat. Bukan karena pertanyaan Zio melainkan cara bicara Zio yang non formal sedangkan ia saja dipaksa untuk berbicara formal dan jika tidak maka gajinya menjadi sasaran.
"Bukannya saya sudah memasukkan alasan saya saat wawancara ya Pak?" tanya Mentari heran.
Zio berusaha menahan tawanya, "Jadi benar lu keluar dari perusahaan lama lu karena mau dijadiin istri ke empat?" tanya Zio dengan wajahnya yang memerah karena menahan tawa.
Mentari yang tadinya sudah kalem bak putri keraton itu pun kembali mengeluarkan sungutnya. Ingin sekali ia menjawab ucapan Zio dengan tak kalah nyelekitnya tapi ia harus bisa menahannya karena gajinya yang dipertaruhkan.
Sabar Mentari, sabar ini ujian.
"Ya begitulah Pak," jawab Mentari singkat padat dan jelas. Ia harap dengan jawabannya itu Zio akan berhenti bertanya.
"What? Ya ampun Mentari Ramadhani binti Ramadhan, gue nggak nyangka pesona lu turun abis. Putus dari gue bukan dapat yang lebih malah dapatnya pria bangkotan. Miris amat nasib lu," ledek Zio.
Braaakkk ...
Zio terperanjat kaget saat Mentari menggebrak mejanya, "Lu apa-apaan?" pekik Zio.
Mentari langsung berdiri, "Mohon bapak kalau memanggil saya cukup untuk panggilan pekerjaan. Jangan mengulik informasi pribadi saya. Permisi!"
Dengan langkah lebar Mentari keluar dari ruangan itu. Habis sudah kesabarannya menghadapi Zio, ia pikir tadi ada pekerjaan penting, rupanya di dalam ia hanya kembali dibuat kesal.
"Dasar mantan brengsek!" umpat Mentari sebelum ia menutup pintu tersebut dan ia bahkan membanting daun pintu itu hingga kembali membuat Zio terkejut.
Mentari duduk di kursinya sambil menekuk wajahnya. Pekerjaan yang harusnya ia kerjakan dengan semangat kini justru membuatnya kesal. Mentari ingin sekali keluar dari kantor ini saja, ia tidak mau bertemu Zio yang pastinya akan terus menguji kesabarannya. Menghindarinya pun tidak mungkin karena ia adalah sekretarisnya.
"Semua karena pak Santoso!"
Mentari harusnya masih bekerja di kantor itu kalau saja bosnya itu tidak memintanya untuk menjadi istri keempat. Mentari sudah lama bekerja disana dan sudah sangat nyaman. Ia punya banyak teman dan mereka semua begitu baik. Pak Santoso juga baik, tidak pernah marah dan cenderung mengasihi para karyawannya hingga akhirnya pembicaraan tentang ingin menikahinya itu membuat Mentari harus hengkang dari kantor yang sudah membantunya membayar cicilan motor dari hasil gajinya.
Baru saja Mentari kembali menemukan semangatnya untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum makan siang, telepon di atas meja itu berbunyi lagi.
"Dosa nggak ya kalau gue nggak mau ngangkat telepon itu? Kira-kira kalau gue nggak ngangkat dia bakalan langsung pecat gue atau enggak ya?" monolog Mentari, ia malas sekali berbicara dengan Zio. Ia takut tidak kuat iman sehingga kembali meledak-ledak pada bosnya itu.
Akhirnya setelah berdebat dengan dirinya sendiri Mentari memilih mengalah saja, "Halo Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Mentari dengan suara yang lembut, ia berharap dengan melembut seperti itu maka Zio juga akan bersikap manis padanya.
"Ya, buatkan aku kopi!"
Mentari terhenyak, pria itu meneleponnya untuk dibikinkan kopi? Bukankah di perusahaan ini ada OB yang bisa dimintai tolong, pikir Mentari.
Mentari mengelus dadanya, sungguh berat sekali perjuangannya di hari pertama kerja ini. Ia bertekad untuk mencari pekerjaan lain walaupun gajinya lebih rendah agar hati dan pikirannya tetap waras. Setelah bekerja tiga bulan maka Mentari akan mengundurkan diri dari kantor ini.
.
.
"Puffftt ... lu mau bikin gue diabetes dengan kopi semanis ini? Ini kopi pakai gula atau gula pakai kopi?"
Zio memuntahkan kembali seteguk kopi yang baru saja cicipi sedangkan Mentari hanya menatap datar padanya.
"Gue nggak mau tahu, kopinya harus ganti. Rasanya harus pas, kopi dan gulanya sesuai takaran!"
Mentari pun menurutinya, ia keluar lagi untuk membuatkan Zio kopi dan ketika kopi kedua itu sang CEO kembali memuntahkannya dengan alasan kopi ini terlalu pahit dan ia kembali meminta Mentari untuk membuatkan yang baru.
Kali ini tidak ada emosi dari Mentari, ia bahkan membuatkan kopi itu sambil bersenandung. Dengan senyuman manisnya ia mendekati Zio lalu memberikan kopi tersebut.
"Nah gitu dong, kalau sama atasan itu harus bermuka manis dan harus senyum biar kopi yang kamu buatkan ini semakin manis," ucap Zio yang cukup senang karena wajah Mentari terlihat ceria.
Mentari kembali tersenyum, "Ya sudah pak, kalau begitu saya keluar dulu. Pekerjaan saya masih banyak, permisi," ucap Mentari dan lagi, ia tetap mempertahankan sikap ramah-tamahnya.
Zio hanya mengibaskan tangannya dan Mentari bergegas keluar. Ia tidak langsung duduk di kursinya melainkan tetap berdiri di depan pintu sambil menghitung.
"Satu ... dua ... ti--"
"Mentariii!! lu masukin apa ke kopi gue? Kenapa rasanya asin?!"
Mentari yang mendengar teriakan Zio langsung tertawa terbahak-bahak, ia begitu senang karena berhasil mengerjai Zio. Ramon yang melihatnya justru merasa heran dengan apa yang terjadi karena tadi Mentari dan Zio bertengkar dan kini Mentari keluar dari ruangan itu dengan penuh tawa.
"Aneh!"
Mentari duduk di kursinya masih dengan sisa tawanya, "Mampus lu! Makanya jangan sok ngerjain gue. Minum tuh kopi rasa garam. Muntah, muntah deh lu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
iyel
hadehhhhhhh 😅😅😅
2023-05-16
0