Baik di rumah ataupun di kantor Satrio terus saja merasa gelisah. Sudah tidak terdengar lagi panggilan istimewa dari Arumi. Arumi akan menggunakan panggilan istimewa tersebut, jika sedang bersandiwara di depan kedua orang tuanya. Sudah tidak ada lagi Arumi yang membangunkan Satrio setiap pagi. Sudah tidak ada lagi Arumi yang setiap detik menghubungi Satrio, hanya untuk sekedar menanyakan kabar. Udah makan atau belum, pertanyaan tersebut sudah tidak terdengar lagi dari mulut Arumi. Sudah tidak ada lagi Arumi yang mengingatkan Satrio untuk beristirahat. Sudah tidak ada lagi Arumi yang ceria dengan segala tingkah manjanya. Satrio merasakan kekosongan di dalam hatinya.
"Hallo Rumi, akhirnya kamu mengangkat telepon dari kakak juga. "
Di sela-sela pekerjaannya, Satrio terus berusaha berkali-kali menghubungi Arumi. Akan tetapi, Arumi tidak pernah mengangkatnya. Satrio begitu bahagia. karena, untuk kali ini panggilannya dijawab Arumi.
"Hallo Kak. Saya Gina, temannya Arumi. Maaf saya lancang mengangkat panggilan di handphone Arumi. Arumi nya sedang ke toilet. Kami sedang mengerjakan tugas kelompok. Saya tahu Kakak sudah menghubungi Arumi berkali-kali. Akan tetapi, Arumi tidak mau mengangkatnya. Sudah biasa jika kakak beradik berselisih paham. Arumi kalau marah memang seperti itu, nanti juga akan kembali baik seperti semula. Kakak yang sabar ya. "
Lemas sudah Satrio setelah mendengar suara di seberang sana. Satrio memandangi bingkai foto yang terdapat di mejanya. Potret Keluarga Cemara yang berada di dalam bingkai foto tersebut. Sang ayah Burhanuddin, yang terlihat tampan dan gagah. Retno Wulandari, yang terlihat muda dan cantik. Arumi kecil yang terlihat lucu dan polos. Satrio kecil dengan mata sembab sehabis menangis. Foto tersebut, foto yang sangat bersejarah bagi Satrio. Foto yang diambil 14 tahun silam.
*Kembali pada Kisah masa lalu *
"Kakak haus . "
Arumi yang berusia 7 tahun, sedang belajar sepeda di area komplek perumahan. Dengan didampingi oleh sang kakak, Satrio yang berusia 10 tahun.
"Ya sudah, Kakak ambil sebentar. "
Satrio pun masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil minuman. Sedangkan Arumi, mencoba belajar menggunakan sepedanya kembali.
"Auw !"
Arumi terjatuh. karena, ada lubang penyebabnya. Terdapat luka lecet di lutut Arumi. Ditiupnya luka tersebut, agar dapat meringankan rasa sakitnya.
"Emang enak, jatuh dari sepeda? "
Dua anak laki-laki menghampiri dan mengejek Arumi. Sang adik yang seusia dengan Arumi. Dan sang Kakak yang seusia dengan Satrio.
"Jangan ganggu aku? Atau, aku panggil kakakku nih! "
Arumi mengancam kedua anak laki-laki tersebut.
"Memangnya kamu punya kakak? Panggil saja, siapa takut? "
Kedua anak laki-laki tersebut balik mengancam Arumi.
"Kakak, Kakak. "
Arumi berteriak, memanggil sang kakak Satrio. Satrio berlari menghampiri Arumi dengan satu botol minuman di tangannya.
Satrio berlutut untuk melihat sang adik yang bersimpuh dan terlihat sesekali meniup lukanya.
"Kakak, mereka mengejekku. "
Arumi mengadu dan menunjuk kedua anak laki-laki tersebut.
"Jangan ganggu adikku? "
Satrio bangkit dan berhadapan dengan mereka. Jangankan berteman, mengenal namanya saja Satrio tidak mengetahuinya. Satrio mengenal mereka, hanya sebatas mengenali wajah. walaupun satu komplek perumahan, akan tetapi mereka tidak pernah bermain bersama.
"Kamu bukan kakaknya? Kamu hanya anak pungut. "
Satrio terpaku mendengar ucapan mereka.
"Aku bukan anak pungut. "
Satrio tidak terima atas ucapan mereka.
" Anak pungut, anak pungut. "
Mereka berdua berjoget sembari terus mengejek Satrio. Satrio yang sudah tidak tahan lagi, langsung meninju anak laki-laki yang seusia dengan Satrio. Anak laki-laki itu pun tidak terima dan langsung menyerang balik Satrio dibantu oleh sang adik. Perkelahian yang terjadi, dua lawan satu. Arumi panik melihat kakaknya dikeroyok.
"Ibu, ibu. "
Arumi memanggil ibunya, agar perkelahian dapat dihentikan. Retno yang mendengar suara Arumi pun berlari keluar dan langsung melerai. Retno mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumahnya. Retno menghubungi orang tua dari dua anak laki-laki tersebut. Tidak lupa, Retno pun menghubungi suaminya Burhanuddin. Permasalahan telah selesai dengan cara kekeluargaan. Kedua anak laki-laki itu pun telah meminta maaf kepada Satrio. Luka lebam yang terdapat di area wajah Satrio.Kini sedang diobati oleh Retno yang duduk di sampingnya. Sedangkan Arumi duduk di pangkuan ayahnya Burhanuddin.
"Ibu, ayah. Benarkah Aku bukan anak kalian? Benarkah kata mereka, kalau aku hanyalah anak pungut? "
Satrio bertanya kepada kedua orang tuanya. Mendengar pertanyaan dari Satrio, membuat Retno dan Burhanuddin Saling pandang. Tidak lama kemudian Burhanuddin menganggukkan kepala, memberi tanda kepada Retno untuk menceritakan yang sebenarnya. Retno membereskan kotak obat yang masih berada di pangkuannya.
"Waktu itu Ibu dan Ayah sudah menikah selama 10 tahun. Akan tetapi, sampai saat itu kami berdua belum mempunyai keturunan. Segala cara sudah kami lakukan. Berobat ke dokter atau pengobatan alternatif, tetap tidak membuahkan hasil. Sehingga ada yang menyarankan, untuk mengadopsi seorang anak agar memancing keturunan yang sebenarnya. Kami sudah mendatangi semua kerabat, untuk mengizinkan salah satu anak dari mereka kami rawat. Akan tetapi, tidak ada satu kerabat pun yang mengizinkannya. Hingga akhirnya, kami datang ke panti asuhan. Setelah melihat kamu, ibu dan ayah langsung jatuh hati. Waktu itu, usia kamu baru 3 bulan. Kami membawamu ke rumah dan merawatmu dengan sepenuh hati. Setelah kamu berusia 3 tahun, lahirlah Arumi. Bagi kami, kamu dan Arumi adalah anak kandung kami. Rasa kasih sayang kami, sama kepada kalian berdua. "
Retno panjang lebar menceritakan.
"Jadi, Aku bukan anak kandung kalian? Aku tidak berhak tinggal di sini? Aku akan kembali ke panti asuhan. "
Satrio bangkit. Retno pun panik dan menangis.
"Tidak Kak. Jangan pergi, Ibu bisa mati! "
Retno benar-benar tidak ingin kehilangan Satrio. Burhanuddin menurunkan Arumi yang berada di pangkuannya. Burhanuddin berusaha menenangkan istrinya.
"Kak, tolong jangan pergi. Ayah dan Ibu akan hancur. Sungguh, kami benar-benar menyayangimu. "
Burhanuddin pun ikut memohon. Melihat kedua orang tuanya bersedih, Satrio pun tidak kuasa. Satrio memeluk keduanya.
"yeay, Aku dan Kakak tidak sedarah. Aku bisa menikah dengan kakak? "
Arumi kecil berseru. Arumi berkata spontan dengan tingkah lucu dan polosnya. Sedangkan Burhanudin dan Retno hanya Saling pandang. Setelah mereka tenang, Mereka mengabadikan momen ini dalam sebuah foto.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments