Calon Istri

”Jadi kamu sudah siap untuk menikah?” tanya Dokter Bimasena selaku dari ayahnya Rama dan pemilik rumah sakitnya.

”Pa, kenapa tiba-tiba membahas pernikahan?” Rama terlihat bingung dengan pertanyaan sang ayah. Tak biasanya ia mendengar pertanyaan seperti itu.

”Lalu apa namanya jika kamu belum siap untuk menikah? Bukankah kamu dengan suster itu tadi sudah-"

”Tapi, semua itu bisa aku jelaskan, Pa. Itu tidak benar." Dokter Rama dengan cepat membantah.

"Diam, Rama. Papa belum selesai bicara. Malam ini Papa akan meminta kepada dokter lain supaya menggantikan tugasmu, dan sekarang kamu harus pulang. Temui ibumu, dan kita akan membahas masalah ini. Bagaimanapun juga kamu telah siap untuk menikah, tapi tidak dengan suster yang sudah bersama denganmu itu," ucap Dokter Bimasena dengan tegas dan tidak boleh adanya bantahan. Ia langsung ke luar dari ruangan tersebut meskipun Rama masih kebingungan.

"Sial! Dengan siapapun itu aku belum siap menikah karena aku tidak mencintai mereka. Aku masih belum bisa menemukan cinta sejati ku," batinnya Rama yang selalu saja tidak bisa bersikeras dengan membantah keputusan dari ayahnya.

Dokter Rama pun segera ke luar, namun ia tidak menyangka bahwa Nala akan menunggunya di luar ruangan. Perasaan hati Dokter Rama yang sedang tidak baik-baik saja membuatnya dengan cepat marah. Menarik tangan Nala dengan kasar hingga mereka berdua masuk ke dalam ruangannya kembali.

”Kamu sekarang senang kan dengan apa yang sudah kamu sebabkan kepadaku? Kau tahu bahwa papaku memintaku untuk menikah,” geram Dokter Rama.

Seperti keinginannya sendiri, tentu saja membuat Nala begitu bahagia.

Ia dengan sengaja memeluk pria itu dengan erat karena merasa sangat senang bahwa rencananya berjalan lancar. Ingin sekali ia juga mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri, namun-

”Tapi yang jelas bukan menikah denganmu," lanjut Dokter Rama.

Seketika membuat Nala terdiam ketika mendengar hal itu. Tentu saja ia tidak pernah menduga bahwa rencananya telah gagal dengan sia-sia.

Pembalasan yang sudah ia nanti-nanti pun akhirnya mulai perlahan tak lagi membuatnya semangat. Namun, Nala tahu bahwa kali ini aku telah mengingkari sumpahnya itu.

”Apa mungkin keluarga Dokter Rama melarang untuk menikah bersama dengan gadis sederhana sepertiku ini? Meskipun aku tahu ini hanya sekedar rencana pembalasan dendam ku saja, tapi tetap saja aku merasa sedih ketika tahu bahwa mereka hanya memandang status kedudukan yang setara," batinnya sampai membuat wajah Nala cemberut.

***

Niat hati ingin balas dendam, namun sekarang telah sia-sia. Kesempatan Nala telah gagal, dan ia berjalan keluar tanpa berkata apapun, meski membuat Dokter Rama kebingungan.

Selama berhari-hari Nala mengurung diri di rumahnya, ia tak ingin bertemu dengan banyak orang. Semua itu karena janjinya yang sekarang tak bisa ia tepati kepada ibu dan adiknya.

Nala juga telah membuang pakaian suster yang ia miliki, namun tiba-tiba saja ketukan pintu terdengar di depan rumahnya. Langkahnya begitu berat untuk membuka pintu itu. Ia justru kembali menarik selimut daripada harus melihat bahwa orang lain.

”Nala, ini aku Dokter Rama."

Masih membuat Nala tak percaya bahwa Dokter Rama datang untuk bertemu. Ia mencoba untuk kembali menyakinkan diri, dan ucapan yang sama pun terdengar.

Betapa tak pernah Nala duga bahwa Dokter Rama akan datang mencarinya, namun satu hal yang ia pikirkan. ”Darimana Dokter Rama tahu alamat rumahnya?"

"Aku tahu alamat mu ketika kamu mengisi formulir saat ibu dan adikmu di rumah sakit. Jadi, bukan hal yang sulit, kan?”

”Tapi, untuk apa Dokter datang ke sini malam-malam begini? Apa ingin meniduri ku?"

”Dasar pikiran mesum! Memangnya aku tidak boleh datang untuk bertemu dengan calon istriku sendiri?” Dokter Rama terlihat lebih ramah.

Setelah pembicaraannya dengan ayahnya, ia pun dipaksa untuk menikahi seorang gadis dari teman bisnis sang ayah. Tentu saja ia merasa muak untuk selalu diatur, dan akhirnya memilih untuk memikirkan permintaan dari Nala beberapa hari sebelumnya.

Masih membuat Nala tak menduga, ia pun bertanya. ”Tunggu dulu, Dokter. Kamu bukannya mengatakan tidak akan menikahi ku? Lalu sekarang maksudnya apa?"

"Tentu saja waktu itu aku tidak bisa berpikir tenang karena kamu terlalu cerewet. Jadi, satu Minggu kemudian kita akan segera menikah, dan kedua orangtuaku telah setuju, ya meskipun aku mencoba merayu mereka berkali-kali."

Senyuman ceria pun terpancar di raut wajahnya Nala. Ia senang dengan kabar gembira yang datang. Padahal sebelumnya ia sudah putus asa, namun sekarang Dokter Rama sendiri yang datang untuk melamarnya meskipun secara sederhana.

“Usahaku ternyata tidak sia-sia karena sebentar lagi aku akan menjadi istri dari seorang dokter sukses. Maafkan aku, Dokter Rama. Tapi pernikahan ini hanya demi kehancuran dirimu semata untuk membalaskan dendam ku ini,” batinnya Nala.

Kabar gembira telah datang, dan Nala memberikan waktu untuk calon suaminya demi bisa bermalam di rumahnya kali ini.

Berusaha untuk terlihat sangat gembira dengan keputusan yang sedang Dokter Rama ambil, dan dengan sengaja Nala memberikan perhatian lebih.

“Um, kamu mau minum apa? Teh atau kopi? Aku akan pasti membuatkannya untukmu, Mas Rama,” tanya Nala dengan nada suaranya yang terdengar lemah lembut sembari kata panggilan yang baru.

”Tunggu, Mas Rama? Ternyata kamu sudah memikirkan panggilan yang baru untukku." Dokter Rama pun terkesan.

"Tentu saja, Mas Rama. Sebentar lagi kita akan segera menikah, dan oleh karena itu, aku juga harus memberikan panggilan baru untukmu. Oh ya apa kamu malam ini akan menginap? Jika ya aku sudah siapkan kamar untukmu,” tanya Nala.

”Menginap? Aku rasa lain waktu saja, Nala. Kedatangan ku ke sini hanya untuk mengatakan hal ini kepadamu," sahut Dokter Rama yang terlihat begitu ramah. "Sejujurnya aku merasa tidak senang harus berada di sini apalagi sampai menikahi mu, Nala. Tetapi, aku lakukan semua ini demi membuatku lepas dari permintaan keluargaku yang konyol itu," batinnya.

"Ya, baiklah. Jika memang Mas Rama tidak mau menginap, tak apa. Tapi, aku juga senang karena Mas Rama membawa kabar yang bagus untukku. Kalau begitu baiklah Mas harus pulang dengan selamat.”

”Tentu saja, Nala. Kalau begitu aku pulang dulu, dan sampai jumpa di saat pernikahan nanti," ujar Dokter Rama.

"Eh, tunggu dulu, Mas. Kita belum saling bertukar nomor telepon, kan? Jadi, rasanya sangat sulit untuk bisa tahu kabar satu sama lain. Oleh karena itu, bisakah Mas Rama memberikan nomor telepon mu?"

"Untuk calon istriku, tentu saja akan aku berikan. Ya sudah kamu bisa memasukkan nomor ponselmu sendiri ke dalam ponselku, Nala." Dokter Rama menggenggam tangannya Nala sembari menaruh ponsel miliknya dengan raut wajah penuh senyuman.

Tak selalu apa yang kita lihat bisa kita tebak, tentu saja bisa jadi berbeda dengan apa yang sedang diperlihatkan. Begitulah yang sedang dilakukan oleh Dokter Rama. Ia terlihat senang, namun sesungguhnya tidak seperti yang sedang ia perlihatkan.

”Demi menghindar dari perjodohan dengan teman bisnisnya Mama dan Papa, aku sampai harus terlihat ceria di depan wanita tidak waras ini. Mungkin dia bisa aku manfaatkan," batinnya Dokter Rama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!