Bab 3. Pusing

Jalanan ibu kota hari ini tampak lengang. Untung saja masih ada hal baik pagi ini. Jika tidak, sudah dipastikan Vito akan menjadi tempat pelampiasan sang tuan muda. Tugasnya sebagai seorang kaki tangan sang bos muda tidak hanya masalah pekerjaan. Akan tetapi, menjadi tempat pelampiasan emosi bos muda itu. "Selamat! Selamat!" seru Vito dalam hati. Sedetik setelah Vito mengucap syukur akan disambut dengan pagi yang cerah, langsung sirna. Si bos muda mengumpat keras setelah kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang mansion.

Jika saja saat ini dia berada di dalam cerita komik, pasti akan ada awan mendung di dalam mobil. Khusus untuknya, awan mendung plis petir dan hujan deras. Pandangan Botol lurus ke depan. Teriakan tuannya berhasil membuat pria yang mirip salah seorang pembalap moto GP itu tidak berani bergerak.

"Argh!" teriak John setelah puas mengeluarkan umpatannya pada udara.

Tak ingin berada di tempat yang sama dengan bos mudanya, Vito menambah kecepatan kendaraan roda empatnya. Maksud hati agar segera tiba di perusahaan. Namun, si empunya mobil mengetahui kecepatan yang ditambah oleh Vito.

"Mengapa kau menambah kecepatan?" tanya John sambil menatap lekat Vito dari kursi penumpang.

"Mampus!" teriak Vito dalam hati. "Ini manusia atau bukan? Kenapa si bos tahu aku menambah kecepatan," Vito bermonolog dalam hati.

"K E N A P A?" tanya John dengan menekan setiap huruf.

Alih-alih menjawab pertanyaan si bos muda, Vito justru merasa sulit bernapas. Kerah kemeja yang dikenakan terasa mencekik lehernya dengan ketat.

John mencondongkan tubuhnya ke depan. Dia seperti macam yang siap menerkam mangsa. Beruntung getaran ponsel Vito berbunyi. Dengan secepat kilat dia menjawab panggilan itu melalui airpod.

"Ya, Suzie," jawab Vito. Dia mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan oleh sekretaris bos muda. Senyum lega terpancar di wajah pria tinggi itu.

"Kami akan segera tiba di perusahaan lima menit lagi," ucap Vito sambil memutuskan sambungan telpon.

"Maaf tuan, saya harus menambah kecepatan karena kita ada meeting hari ini dengan beberapa klien," ucap Vito dengan tenang.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" John masih menatap Vito.

Meski di tatap dari belakang, tetap saja aura kengerian itu terasa. "Tadi tuan sedang mengeluarkan emosi. Jadi, saya tidak berani untuk mengganggu," jawab Vito tenang.

John menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia melipat kaki dan mengeluarkan ponsel. Gaya yang sangat khas seorang CEO. "Tambah lagi kecepatannya! Aku tidak ingin terlambat dan mendengar ocehan pegawai," perintah John setelah melihat jadwal di ponselnya.

"Baik tuan," jawab Vito sambil mengangguk sedikit. "Selamat! Selamat!" seru Vito dalam hati. Kali ini dia bisa lolos karena bantuan dari Suzie tanpa sengaja. "Aku akan mentraktir wanita itu nanti siang," janji Vito dalam hati.

Vito menambah kecepatan kendaraan roda empat dan berhasil tiba di perusahaan tidak kurang dari lima menit. Pria tinggi itu bergegas membukakan pintu penumpang untuk tuannya. John keluar dari mobil dengan gayanya yang khas. Mimik pria itu spontan berubah setelah keluar dari mobil. Maklum saja, dia adalah seorang CEO. Sudah tentu harus memberi contoh yang baik untuk bawahannya.

"Akhirnya, beb..." belum sempat Vito menyelesaikan kalimatnya, John berbalik dan meminta asistennya untuk mengikutinya ke ruang rapat. Meski enggan, Vito mau tidak mau menjawab tuannya itu dengan sikap tegap. "Baik tuan," ucap Vito sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.

Senyum licik terukir di sudut bibir tuan mudanya itu. Vito tahu bahwa sang majikan akan membuatnya repot kali ini.

John berjalan tegap diikuti oleh Vito. Dua pria tampan itu memasuki pintu utama perusahaan bak model pria. Meski seluruh karyawan wanita telah patah hati akibat dari pernikahan CEO tampan mereka, setidaknya mereka masih bisa menikmati ketampanan sang CEO dan asistennya.

"Ya ampun, sayang banget ya! Masih muda udah nikah muda," bisik salah seorang pegawai wanita.

John dapat melihat dari sudut matanya, ketiga gadis itu sedang sibuk menggosip. Siapa lagi jika bukan dia.

"Hush! Jangan berisik! Nanti kedengaran sama ibu kepala karyawan, bisa habis nyawa pekerjaan lu," salah satu dari mereka mengingatkan.

"Caela, namanya juga penggemar. Masih wajar kali kagum-kagum cantik," ucap karyawan wanita yang tidak terima dinasehati.

Senyum licik kembali terukir di sudut bibir John. Entah sudah berapa banyak senyum licik yang terukir di wajah pria itu. John dengan sengaja memiringkan tubuhnya ke arah mereka dan tersenyum. Kemudian, mempercepat langkahnya menuju lift khusus CEO dan staf.

"Oh! Oh! Oh Tuhan!" teriak wanita tadi yang mendapat senyum tiba-tiba dari John. "Bantu gue! Bantu gue!" ucap wanita itu sambil mengipas wajah dengan kedua tangannya.

"Ya ampun, Alin! Elu minta bantuan gue. Gimana dengan gue!" ketus rekan kerjanya yang ternyata juga kebagian senyum John.

"Hei! Hei! Kerja! Kerja! Atau kalian mau saya tendang keluar!" Bentak Bu Rosi selaku kepala karyawan sambil menepuk keras tangannya tepat di belakang mereka.

"Ih, si ibu! Ngga bisa lihat orang senang," ujar Alin.

"Emang iya. Masalah buat lo?" balas Rosi tak mau kalah.

"Idih, biasa aja kali Bu!" timpal bunga selaku rekan kerja Alin yang dari tadi tidak banyak bicara. "Hmmm, Bunga tahu!" seru Bunga.

"Tau apa?" sergah Rosi.

"Bunga tahu kalo masa mudanya ibu udah expired," ucap Bunga sambil terkekeh dan diikuti oleh kedua rekan kerjanya.

"KALIAN!" teriak Rosi. "Saya hukum menggantikan tugas seluruh cleaning service hari ini!" tegas Rosi.

"Eh, eh, jangan dong Bu! Mira kan ngga ikut-ikutan mereka," tuntut Mira tak terima.

"Tidak ada pengecualian!" tegas Rosi sambil berlenggang meninggalkan mereka.

"Yah, apes deh!" seru mereka bertiga.

John dan Vito sudah berdiri di depan pintu lift. Mereka menunggu lift bergerak turun dan membawa mereka ke ruangan khusus. Sambil menunggu, mereka dapat mendengar perseteruan antara tiga karyawati versus kepala karyawan. John terlihat menahan tawa. Beda halnya dengan Vito yang tertawa tanpa suara sambil memegangi perutnya.

"Lucu, ya?" tanya John setelah berhasil menenangkan diri.

Vito mengatur napas dan mengelap cairan bening di sudut matanya karena tertawa. "Tuan, tuan!" seru Vito setelah berhasil menguasai diri.

"Apa salahku? Aku hanya tersenyum. Bukannya seorang atasan harus bersikap ramah pada karyawan," ucap John santai sambil melipat tangan.

Belum sempat Vito menjawab, pintu lift terbuka. Kedua pria tampan itu memasuki lemari besi menuju ruang khusus.

"Anda memang tidak salah. Tapi senyuman anda yang bermasalah," jawab Vito.

"Hanya senyuman saja," balas John malas.

"Haish! Tuan, tuan. Anda selalu mengatai nyonya besar telat berpikir dan selalu tidak menyambung saat diajak berbicara. Nyatanya, anda sendiri juga sama," Vito membatin. Mana berani dia mengutarakan kalimatnya. Bisa-bisa bonus tahunannya dipotong atau paling parah tidak mendapat apa pun.

"Sesama manusia itu harus saling berbagi. Jadi aku tidak ingin pusing sendiri karena drama Korea mom dan Apple pagi ini. Aku dengan ringan hati membagi pusingku dengan mereka."

"Hah!" Ucapan John berhasil membuat Vito melongo tak percaya. Bagaimana bisa pusing di bagi-bagi? Jika yang dimaksud tuannya adalah ketiga karyawan itu mendapat ocehan dan hukuman dari kepala karyawan, sudah pasti salah besar. Itu namanya tidak mau menderita sendiri.

"Kau kenapa?" tanya John sambil melirik Vito.

"Tidak ada apa-apa, tuan," jawab Vito. Jawaban Vito bersamaan dengan terbukanya pintu lift. Pria itu langsung memberi jalan untuk tuannya dan diikuti olehnya dari belakang.

Terpopuler

Comments

AtikaValen

AtikaValen

astaga...aku kira si Abang John kek CEO kebanyakan. Diam2 gokil juga.

2023-05-14

8

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!