"Justine, ajari Vincent menembak," ujar Wim langsung mengatakan tujuannya datang tanpa berbasa-basi.
Justine tertegun untuk sesaat, “Kau bercanda?”
“Tentu saja tidak, aku serius.”
“Tidak Wim,” Justine menolak perintah Wim.
“Kenapa?”
“Lebih tepatnya masih belum. Vincent masih berusia 8 tahun. Selain masih terlalu kecil, pendengaran anak usia 8 tahun belum mampu bertahan pada suara keras tembakan meski telah memakai alat pelindung telinga.” ujar Justine menjelaskan alasannya menolak perintah Wim.
“Kebanyakan bacot,” ujar Vincent dalam hati mendengar penolakan Justine.
“Justine, Vincent itu berbeda! Aku yakin dia akan baik-baik saja, dan dia pasti bisa mengikuti arahanmu dengan cepat!” ujar Wim mencoba meyakinkan Justine.
“Tidak Wim, mungkin jika Vincent menerima pelajaran menembak saat usianya 15 tahun atau usia masuk SMA, aku akan langsung mengiyakan. Tapi lihatlah dia masih kecil, bahkan tangannya tidak akan mampu menggenggam pistol yang berat!” Justine tetap menolak keras.
“Ha? 15 tahun? Terlalu lama! Aku tidak punya waktu untuk main-main, aku harus balas dendam pada para B*jing*n itu!” ujar Vincent dalam hati.
Vincent melirik ke wadah besi, tempat Justine meletakan pistol.
Saat Justine dan Wim sibuk beradu argument, dia berjalan menghampiri wadah itu, melihat sebuah pistol tergeletak dengan 2 peluru di sampingnya.
“Kenapa hanya ada 2 peluru?” Pikir Vincent memasukan 2 selongsong peluru itu ke dalam pistol.
“Wim, sudah aku bilang dia mas—“
Dor! Suara tembakan keras dan memekikkan telinga menghentikan ucapan Justine, reflek Justine menutup telinganya begitu juga dengan Wim.
Mereka berdua bersamaan menoleh ke arah sumber suara tembakan, mendapati suara itu berasal dari pistol yang di genggam oleh Vincent. Kepulan asap masih keluar dari ujung pistol yang di arahkannya pada target tembakan.
Ketika dua orang dewasa menutup telinganya, Vincent bersikap biasa saja. Telinganya tidak terasa sakit sama sekali, mungkin Bell ikut menyertakan segala sesuatu dari kehidupan Vincent sebelumnya.
Justine melirik ke bekas tembakan Vincent, pelurunya mengenai bundaran terget tembakan bagian tengah, meski tidak tepat di tengah-tengahnya.
“Sialan, 8 tahun aku tidak melatih tanganku, rasanya sangat kaku.” ujar Vincent dalam hati bersiap menarik kembali pelatuknya.
“Tu-tunggu dulu! Kau bisa men—“ ucapan Justine kembali terhenti tatkala ujung pistol Vincent mengarah padanya.
“B*jing*n itu menodongkan pistol padaku seperti ini, apakah wajahku juga sama seperti mereka?” tanya Vincent dalam hati melihat ekspresi terkejut serta tegang dari Justine dan Wim.
Vincent mengangkat pistolnya, kemudian mengarahkan ujung pistol itu ke arah target tembakan. Jari telunjuknya bersiap menarik pelatuk, kedua matanya melihat fokus, dan Dor! Ia menembakkan peluru terakhirnya.
Peluru itu melesat menembus bagian lingkaran yang lebih dalam dari sebelumnya, tapi masih belum mengenai titik tengah.
Vincent bisa melihat dengan kedua mata terbuka, tidak perlu menutup salah satu matanya untuk melihat fokus target dalam menembak. Itu adalah kemampuan lain yang di bawa dari kehidupan sebelumnya.
“Sialan masih belum,” pikir Vincent melihat bekas tembakan pelurunya yang dia rasa masih meleset.
“Telinganya baik-baik saja? Dia bisa menembak ke arah target dengan stabil? Tubuh kecilnya tidak terpental kebelakang, yang benar saja,” pikir Justine heran sekaligus terkejut, baru pertama kali menyaksikan anak seperti Vincent.
“Sepertinya aku pernah melihat tahnik menembak seperti itu, tapi dimana?” Pikir Justine kembali, tehnik yang dilihatnya terasa tidak asing.
“Wim, istrimu ngidam apa ketika hamil?” bisik Justine melirik Wim disebelahnya.
“Tidak ngidam sama sekali, memangnya kenapa?” bisik Wim balik melirik.
“Lalu bagaimana kau melakukannya?” Justine kembali bertanya.
“Melakukan apa?” Wim tidak mengerti dengan pertanyaan Justine.
“Saat kau meng—“
“Paman, bagaimana? Apa paman tetap tidak mau mengajariku?” tanya Vincent tiba-tiba muncul memotong ucapan Justine.
Justine dan Wim langsung berdiri tegap, menurunkan tangan mereka yang sebelumnya reflek di angkat ke atas ketika Vincent mengarahkan pistol ke arah mereka berdua.
“Tunggu sebentar, kau bisa memasukan peluru ke dalam pistol, mengarahkan, bahkan menarik pelatuk. Kau bisa tahu semua itu darimana?” tanya Justine penasaran.
“Selain banyak bacot, dia juga banyak tanya! Kau itu mau mengajariku atau tidak?! Waktuku tidak banyak, bodoh!" ujar Vincent kesal dalam hati.
“Dari permainan yang dibelikan oleh Papa.” jawab Vincent.
Mendengarnya Justine heran, bagaimana mungkin Vincent hanya belajar dari permainan, karena dilihat dari caranya memegang, mengarahkan bahkan posisi badannya ketika menembak, dia seperti terbiasa menggunakan pistol, atau lebih tepatnya seperti terbiasa menembak.
"Setahuku dia umurnya 8 tahun 'kan? Dan Wim pun tidak pernah memberi pistol asli, justru dia kemari memintaku agar mengajarinya. Tapi bagaimana bisa gerakannya seperti anjing rabies itu," Justine berargumentasi sendiri di dalam pikirannya.
“Bukankah aku sudah mengatakannya tadi? Vincent itu berbeda! Dia jenius!” ujar Wim membanggakan putranya setelah melihat dia dapat menembak dan mengenai target lingkaran dalam sekali coba.
Wim yakin putra semata wayangnya itu mampu menerima pelajaran menembak dengan baik dari Justine.
Disini Vincent melihat ekspresi Justine mengernyitkan kedua alis, menyipitkan mata ketika memandang dirinya. Sangat jelas menggambarkan bahwa ia mencoba keheranan dan seolah mengenali tehnik menembaknya.
“Apakah dia tahu jika aku adalah Antonio? Sepertinya tidak, rahasia ini hanya di ketahui oleh Bell.” ujar Vincent dalam hati menatap Justine.
“Mungkin Wim benar, dia berbeda dari kebanyakan anak lain. Ia punya bakat.” ujar Justine dalam hati, ia tersenyum pada Vincent.
Akhirnya Justine hanya berpikiran bahwa Vincent memiliki bakat dalam menembak. Tidak berpikiran jika anak kecil yang berdiri di depannya itu, dulu membuatnya hampir mati.
Justine kemudian berjongkok di depan Vincent, tidak sengaja memperlihatkan bekas tembakan yang tersembunyi dibalik kerah.
“Ah masih berbekas rupanya,” ujar Vincent dalam hati, melihat bekas luka tembakan di leher Justine.
"Vincent, Kau ingin jadi polisi ya? Makanya belajar menembak?” tanya Justine.
Plak! Wim tiba-tiba memukul pundak Justine.
“Polisi apanya? Tentu saja dia akan mewarisi dan memimpin Xendra!” ujar Wim kesal, menatap tajam pada Justine.
Terlihat Wim tidak suka dengan polisi, entah apa yang terjadi antara dia dan polisi hingga membuatnya tersinggung mendengar candaan Justine tentang Vincent yang akan menjadi polisi.
“Aku hanya bercanda!" sahut Justine.
Kemudian dia berdiri, "Baiklah aku akan mengajari Vincent.”
Mendengarnya Wim pun tersenyum, begitu juga dengan Vincent. Dia berjalan mendekati Justine dan berpura-pura menanyakan tentang bekas luka di leher pemimpin tim Bruth itu.
“Paman Justine, itu apa?” tanya Vincent polos menunjuk leher Justine.
Justine reflek memegang leher, “Ah ini bukan apa-apa, hanya luka digigit anjing rabies,”
Mendengar jawaban Justine, membuat Vincent kesal. Dirinya di panggil anjing rabies.
“Sialan kau!" ujarnya dalam hati kesal.
Justine kemudian mengajak Vincent menuju meja yang terletak di paling ujung kiri. Sedangkan Wim, ia melipat kedua tangan, memperhatikan dari tempatnya berdiri.
Sesampainya di depan meja paling kiri itu, Justine memakaikan penutup telinga dan kacamata khusus menembak pada Vincent, dimana di bagian mata kiri dari kacamata itu dapat ditutup. Setelahnya dia memberi tahu serta memperaktikkan tehnik menembaknya.
“Caranya sedikit berbeda dari caraku.” ujar Vincent dalam hati memperhatikan Justine.
“Kau paham?” tanya Justine.
“Iya,”
"Nah sekarang giliranmu." ujar Justine memberikan pistol yang di pegangnya pada Vincent.
Putra tunggal keluarga Hermentsmith itu pun segera mempraktikkan apa yang baru saja Justine contohkan.
Melihat Vincent dapat langsung memahami apa yang di contohkan olehnya dalam sekali pencontohan saja, membuat Justine lumayan kagum.
“Kau cepat tanggap ya Vin, seperti Wim," puji Justine.
“Iyalah Paman, Wim itu ayahku, dan aku anaknya.” sahut Vincent fokus melihat target.
Justine melihat sorot mata Vincent begitu tajam, sangat berbeda dari umumnya anak usia 8 tahun.
“Sorot mata tajam itu, seperti Wim. Apakah dia juga akan sekejam ayahnya?” ujar Justine dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
iya Thor! up terus ya, menurutku tidak perlu cepat-cepat tapi rajin,, yang novel kemaren kok ilang???? aku nungguin updatenya sampe episode terakhir, kok malah ilang 😭
2023-05-11
1
Iyang Raiyah
up terus ya Thor, jangan pantang menyerah ya
2023-05-11
1