"Vincent, sini Mama pakaikan dasi dan rompi seragam sekolahmu." ucap Jane membawa rompi beserta dasi sekolah Vincent.
"Aku bisa memakainya sendiri Ma," sahut Vincent dari depan cermin.
Jane memutar badan Vincent, "Mama saja, ini hari yang penting!"
Vincent hanya pasrah ketika Jane memakaikan rompi serta dasi padanya.
Hari ini, adalah hari pertama Vincent masuk Sekolah Dasar. Jika dihitung dari umur, Vincent terlambat satu tahun. Itu karena Jane, dia tidak mau ditinggal oleh putra kesayangannya untuk bersekolah. Kekanak-kanakan memang, tapi seperti itulah Jane.
Wim pun memberi waktu satu tahun untuk Jane menghabiskan waktu dengan Vincent. Jane sangat senang dan menikmatinya, akan tetapi lain hal dengan Vincent. Dia merasa Ibunya itu terlalu melodrama.
"Kenapa Ibuku drama sekali." ujar Vincent dalam hati melihat Jane memakaikan seragam padanya.
Di dalam mobil, Wim yang menunggu dengan Pak Setyo merasa heran, karena Vincent belum juga keluar.
"Ini pasti ulah Jane." ujar Wim dalam hati.
Wim memutuskan keluar dari mobil dan masuk kedalam rumah.
Sesampainya dikamar Vincent, benar saja dugaan Wim. Jane tengah mendandani Vincent dengan sedemikian rupa.
"Jane itu berlebihan," ucap Wim melihat Jane memakaikan berbagai macam pakaian bermerk pada Vincent.
"Vincent harus terlihat berkelas!" sahut Jane memakaikan syal pada leher Vincent.
"Panas sekali, bukannya terlihat berkelas aku malah terlihat seperti orang-orangan sawah!" ujar Vincent dalam hati, karena dia dipakaikan selain seragam sekolah tapi juga jas, sweater, jacket vest, hingga topi cabaret.
"Jane sudahlah, Vincent sudah terlambat!" Wim melepas semua pakaian Vincent, hanya menyisakan seragam sekolahnya.
"Aku sedikit mendapat udara segar." ujar Vincent dalam hati merasa ada sirkulasi udara yang masuk ke pakaiannya.
Wim segera menggandeng Vincent menuju mobil dimana Pak Setyo sudah menunggu. Sesampainya di mobil, Ayah dan anak itu segera masuk mobil, lalu berangkat menuju Yesol Internasional Elementary School.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di sekolah. Wim menitipkan Vincent pada seorang ibu guru lalu pergi. Ibu guru itu membawa Vincent kedalam kelas 1-B, dimana dia melihat seseorang yang tidak asing.
"Hanna, kau sudah besar rupanya," ujar Vincent dalam hati melihat murid perempuan yang duduk sendirian dibangku biru nomor dua.
"Ayo Vincent perkenalkan dirimu pada teman-temanmu ya," ucap guru pada Vincent.
Sebenarnya Vincent sangat malas membuang-buang waktu belajar pelajaran anak kecil. Tapi karena pendidikan sangat penting apalagi dirinya yang merupakan anak tunggal, menjadikannya mau tidak mau harus tetap bersekolah mulai dari tingkat bawah.
"Hallo teman-teman namaku Vincent Hermentsmith, kalian bisa memanggilku Vin,"
"Hallo Vin," sapa para murid.
"Nah sekarang Vincent duduk ya, bebas mau duduk dimana saja," ucap Ibu guru itu dengan lembut.
Vincent mengagguk, lalu berjalan menuju meja Hana. Disamping dia 'mengenalnya', Vincent juga penasaran kenapa dia hanya duduk sendirian. Padahal kelas itu memakai sistem belajar kelompok, dimana satu kelompok berisi empat orang murid.
"Vin! Kenapa kau duduk disana?" tanya Zoey—murid perempuan dari kelompok Jerapah.
"Ini bocah ikut-ikutan saja!" ujar Vincent dalam hati.
"Memang kenapa? Tidak boleh?" tanya Vincent menoleh ke arah kelompok Jerapah.
"Jangan dekat-dekat dia! Nanti kau dimarahi oleh Mamanya!" jawab Zoey menunjuk Hanna.
"Iya Vin! Mama dia galak sekali! Seperti singa!" sahut Jeremy—anggota kelompok Kucing.
"Anak-anak mohon tenang ya, Vincent tetap ingin duduk disana, disamping Hanna atau pindah?" tanya ibu guru pada Vincent.
Vincent hanya diam, memandangi Hanna yang menutupkan wajahnya pada meja lalu dihalangi kedua tangannya. Dari gerakan bahu Hanna yang naik turun, Vincent tahu jika Hanna sedang menangis.
"Bukankah ini kesempatan bagus? Selain membalas dendam pada bajingan itu dari luar, aku juga bisa menghancurkannya dari dalam! Double Kill!" ujar Vincent dalam hati.
"Tidak Bu, saya akan duduk disamping Hanna, diakan juga teman." jawab Vincent tersenyum.
"Akhirnya ada anak yang mau sebangku dengan Hanna! Tapi apakah Nyonya Renata akan mengijinkannya?" ujar Ibu guru itu dalam hati.
"Oh begitu, apa kau mau membentuk kelompok baru dengan Hanna? Kelompok," ibu guru berpikir nama yang cocok dengan kelompok Vincent yang hanya berisi 2 orang.
"Matahari! Aku dan Hanna Kelompok Matahari." ucap Vincent.
Plok! Ibu guru bertepuk tangan sekali, "Baiklah, anak-anak sekarang kelas kita punya 6 Kelompok ya, kelompok baru kita, Kelompok Matahari."
Vincent menoleh ke arah Hanna yang sedang mengusap air matanya, "Maukah kau berteman denganku?" sembari memberi jabat tangan.
Hanna menoleh seakan tidak percaya, karena baru pertama kali ada yang mau mengajaknya berteman. Segera dia menyambut jabat tangan Vincent dengan kedua tangannya.
"Iya, tentu aku mau! Mau sekali!” ucap Hanna sangat bahagia.
"Bagus, umpanku dimakan!" ujar Vincent dalam hati.
...****************...
Pulang sekolah, Vincent dan Hanna sedang menunggu dijemput oleh sopir mereka masing-masing.
"Vin! Terima kasih sudah mau jadi temanku!" ucap Hanna memegang tangan Vincent.
"Iya, tapi kenapa kau tidak punya teman dikelas? Kaukan menyenangkan?"
"Umm, itu" Belum selesai Hanna menjelaskan mobil yang biasa mengantar jemput Hanna datang.
Dari dalam mobil itu keluarlah seorang wanita dengan pakaian serba mewah. Tas Dior tersemat ditangannya, dengan berpakaian Channel, tidak lupa perhiasan dari Saint Lauren. Vincent sangat familiar dengan wajah wanita sombong nan angkuh itu.
"Dasar ******, suaminya bajingan istrinya pun seorang ******. Yah keluarga yang bagus." ujar Vincent dalam hati melihat wanita itu berjalan cepat menuju kearahnya.
Dengan cepat wanita itu melepaskan tangan Hanna, lalu mendorong Vincent hingga jatuh, "Jangan sembarangan menyentuh anakku!"
Ibu guru yang sebelumnya mengajar tidak sengaja melihat kejadian itu, segera berlari menghampiri Vincent.
"Nyonya Renata, kenapa anda mendorong Vincent?" tanya ibu guru itu sembari membantu Vincent berdiri. Baju Vincent sedikit kotor, tapi dia tidak terluka.
"Kenapa? Seharusnya saya yang bertanya seperti itu pada anda! Kenapa anda membiarkan sembarang anak main dengan Hanna?!" tanya wanita yang bernama Renata itu seraya membentak.
"Mama, hentikan jangan seperti itu pada Ibu guru dan Vincent!" Hanna mencoba mencoba menghentikan Ibunya.
"Oh jadi kau yang bernama Vincent?!" Renata menunjuk tepat didepan wajah Vincent.
Ibu guru itu segera menurunkan jari telunjuk Renata, "Nyonya tidak baik menunjuk seperti itu, apalagi pada anak kecil,"
"Anda jangan ikut campur!" Renata mengibaskan tangannya.
"Sudahlah ayo Mama pulang," pinta Hanna pada Ibunya.
"Kau pasti disuruh oleh Kakek dan Ayahmu untuk mendekati Hanna 'kan?! Ngaku!" cecar Renata menuduh.
"Tidak," jawab Vincent.
"Kau berani menjawab?! Dasar tidak punya tatakrama!" bentak Renata.
"Ingin sekali ku tembak mulutnya." ujar Vincent Vincent dalam hati menahan kesal.
"Awas kau jika dekat-dekat dengan anakku lagi!" ancam Renata pada Vincent, seorang anak berusia 8 tahun yang masih duduk dikelas satu Sekolah Dasar.
Setelahnya dia mengajak paksa Hanna masuk ke dalam mobil, lalu pergi.
"Astaga keterlaluan sekali," ucap Ibu guru.
"Vin—" ucapan Ibu guru terhenti ketika melihat Vincent menatap tajam pada mobil Renata yang berjalan melewati gerbang sekolah.
"Dia marah? Wajar karena dia diperlakukan seperti itu," ujar Ibu guru dalam hati.
Tidak lama, mobil yang menjemput Vincent datang. Vincent segera berpamitan dengan Ibu guru itu lalu naik ke dalam mobil.
Didalam mobil, Vincent melihat jika sopir yang mengendarai mobil Toyota Alpard hitam itu bukanlah Pak Setyo.
"Loh, Bapak sakit?" tanya Vincent.
"Iya Den, Bapaknya sakit jadi digantikan oleh saya dahulu." jawab supir itu.
"Aku tidak pernah memanggil supir keluarga Hermentsmith dengan Bapak, tapi Pak. Pak Setyo pun tidak pernah memanggilku Den, dia hanya memanggilku Tuan Muda Vincent. Dia bukan sopir pengganti, aku diculik?! Sialan aku tidak punya pistol!" ujar Vincent dalam hati.
Dia melihat jika rute yang dilewati bukanlah rute biasanya.
Karena dikehidupan sebelumnya Antonio hampir setiap waktu memakai jalan tikus untuk menghindari CCTV jalan utama.
Vincent tahu jika sopir gadungan itu melewati rute Blok D—Blok yang berisikan bangunan kosong karena area itu akan segera dibangun kembali, tapi kenyataannya selama 8 tahun tetap tidak ada pembangunan yang dilaksanakan.
"Blok D? Itu lumayan dekat dengan Hutan Klausal! Aku harus memancingnya kesana!" ujar Vincent dalam hati.
"Aduh Bapak, aku pingin pipis udah mau keluar!" ucap Vincent memegangi celananya.
"Tahan ya sebentar lagi kita sampai,"
"Sial! Oh iya aku punya minum!" ujar Vincent dalam hati, lalu diam-diam mencopot selang air minumnya.
"Yah, aku ngompol," ucap Vincent melihat celananya basah.
Sopir gadungan itu langsung menghentikan mobilnya dan menyuruh Vincent keluar. Dia melihat bangku penumpang sudah basah.
"Aduh ini baru dicuci," ucapnya melihat kursi penumpang.
Memanfaatkan kesempatan itu, Vincent langsung berlari sekuat tenaga ke arah utara—arah Hutan Klausal.
"Tunggu, ini" sopir gadungan itu mencium kursi penumpang, air itu tidak pesing.
"Bocah sialan! Dia menipuku!" ujarnya dalam hati.
Segera sopir itu menutup pintu mobil. Matanya mencari-cari kemana perginya Vincent.
Karena seragam sekolah Yesol untuk kelas satu didesain berwarna kuning terang agar mudah terlihat, membuat dia dengan cepat menemukan Vincent.
"Berhenti!" Seru sopir.
"Kau kira aku bodoh apa?! Mana mungkin aku berhenti! Kalau saja aku memegang pistol, sudah kutembak kepalamu!" ujar Vincent dalam hati, terus berlari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Arvino Althaf
kenapa namanya pak setyo ? knp gk skalian muchlis atau agus aja ?
2023-09-18
1