Delanna tersenyum kikuk. “Masih agak sakit,” jawabnya ragu. “Kuharap, kau tidak mengatakan apapun tentang semua ucapanku kemarin.” Raut wajah Delanna kembali berubah. Dia terlihat manis dan sangat menggemaskan, saat memasang ekspresi setengah memohon seperti tadi.
Arcelio menggaruk pangkal hidungnya yang mancung. Dia tak segera menanggapi ucapan Delanna. Pria tampan dengan T-Shirt round neck putih itu, seperti ingin sedikit bermain-main dengan si pemilik kulit eksotis di hadapannya. “Jika kau merasa benar, kenapa harus merasa takut?” Arcelio mengernyitkan kening.
Delanna tertawa renyah saat mendengar pertanyaan sederhana Arcelio. “Ini bukan tentang masalah takut atau semacamnya. Aku hanya tak suka mencari masalah. Dengan siapa pun. Tolong digarisbawahi. Aku tak suka mencari masalah dengan siapa pun,” ulang Delana menegaskan.
“Aku juga,” balas Arcelio enteng.
“Kau juga?” Nada bicara Delanna terdengar ragu.
“Ya. Tak ada siapa pun yang ingin terlibat masalah dengan orang lain. Aku seorang seniman. Kau pasti sudah tahu, seniman mencintai keindahan dan suasana tenang," sahut Arcelio. Dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Apa kau memiliki waktu luang di luar pekerjaan?” tanya pria bermata abu-abu itu.
Delana melipat kedua tangannya di atas meja. Tatapan wanita muda berparas manis itu penuh selidik terhadap Arcelio. Sebagai seorang wanita, dia menangkap makna lain dari pertanyaan yang diajukan Arcelio. Delanna harus segera memasang pertahanan diri, meskipun dia mengakui bahwa pria di hadapannya tersebut benar-benar memesona. “Maksudmu?” tanya sang wedding planner hati-hati.
Arcelio menggaruk kening perlahan. Dia tengah merangkai kata-kata, sebelum menyampaikan apa yang ada dalam benaknya kepada Delanna. Meskipun Arcelio tidak terlalu yakin, tapi pria itu tetap memperlihatkan sikap tenang dan penuh wibawa. “Aku ingin menawarimu sesuatu. Barangkali kau tertarik,” ucap pria dengan gaya rambut man bun tersebut.
“Tentang apa?” tanya Delanna. Pikiran wanita muda berusia dua puluh empat tahun tersebut kian tak karuan. Berbagai halusinasi aneh mulai bermunculan, lalu berputar dalam benaknya. Namun, Delanna berusaha untuk tidak terpengaruh. Dia segera menepiskan segala pikiran konyol tersebut.
Akan tetapi, sorot mata Arcelio yang ditujukan padanya terlihat begitu berbeda. Membuat pikiran Delanna kembali tak menentu. “Aku … aku tidak melayani kencan satu malam,” celetuk wanita dengan kemeja longgar tersebut.
Arcelio terperangah mendengar ucapan Delanna. Pria tampan itu mengulum senyumnya. Dia lalu menggeleng pelan. “Kencan satu malam?” ulang Arcelio seraya menautkan alis. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Arcelio kembali menggaruk keningnya. “Bagaimana kau bisa berpikir sejauh itu?” Arcelio kembali menggeleng tak mengerti.
Delanna mengeluh pelan saat mendengar jawaban Arcelio. Rasa malu itu tak dapat dia sembunyikan. Delanna menunduk sesaat, lalu kembali mengangkat wajah manisnya. Tatapan mereka berdua kembali beradu. “Lalu, tawaran apa yang kau maksud tadi?” tanyanya ragu.
Arcelio menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Sementara, tatapan pria tampan tersebut masih tertuju kepada Delanna. “Begini, Nona Verratti,” ucap Arcelio mengawali penjelasannya.
“Delanna,” ralat wanita berkulit eksotis itu.
“Ya, Delanna.” Arcelio mengangguk pelan. “Seperti yang kukatakan tadi, aku adalah seorang pelukis. Menurutku kau memiliki kontur wajah yang sangat unik. Jika kau bersedia, aku ingin menawarimu untuk menjadi model lukisanku. Kebetulan, hasil karyaku ini akan diikutsertakan dalam acara pameran untuk pelelangan. Seluruh hasil dari pelelangan itu, akan didonasikan untuk anak-anak penderita kanker,” jelas Arcelio dengan lugas.
Delanna hanya ternganga mendengar penuturan pria berambut gondrong di hadapannya. Dia tak menyangka, akan mendapat penawaran semacam itu. Wanita muda dengan rambut yang digulung asal-asalan tersebut, memandang tak percaya pada Arcelio. “Aku? Menjadi model lukisan? Wow! Itu luar biasa," ujarnya merasa takjub.
“Ya. Jika kau bersedia, kita bisa menyesuaikannya dengan jadwal pekerjaanmu di sini," tawar Arcelio lagi. “Jangan khawatir. Aku akan membayarmu dengan pantas.”
Delanna tak segera memberikan jawaban. Dia tak bisa mengambil keputusan secara mendadak.
Sementara, Arcelio dapat memahami hal itu. Dia merogoh dompet dari saku belakang celana jeansnya. Pria tampan bermata abu-abu tersebut, mengeluarkan selembar kartu nama dari sana.
Arcelio menyodorkan benda tersebut ke hadapan Delanna, yang masih terdiam dan berpikir. “Kuberi waktu hingga besok untuk mengambil keputusan. Ini hanya tawaran. Tak ada paksaan sama sekali,” ujar Arcelio seraya bangkit dari tempat duduknya.
Delanna mengikuti apa yang Arcelio lakukan. Dia berdiri sambil memegangi kartu nama tadi. Seulas senyuman terukir di sudut bibirnya, yang berpoleskan lipstik warna peach. “Akan kuhubungi kau besok,” ucap Delanna yakin.
“Baiklah. Datang saja langsung ke studioku jika kau berminat,” balas Arcelio tersenyum kalem.
“Jangan lupa. Jika Samantha sudah kembali, kita akan mulai berunding lagi,” pesan Delanna.
Arcelio tidak menjawab. Pria itu hanya mengangguk, lalu berpamitan. Dia melangkah gagah menuju pintu diiringi tatapan Delanna, hingga pria berambut gondrong tadi menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.
Arcelio berjalan menuruni undakan anak tangga. Saat itu, dia sempat berpapasan dengan beberapa orang di sana. Namun, Arcelio tak menoleh atau menyapa, meskipun orang-orang tadi melihat ke arahnya. Pria itu hanya berpikir bahwa mereka melakukan hal demikian, karena dirinya merupakan tunangan dari seorang aktris besar Italia.
Setelah mengenakan helm full face warna hitam, Arcelio segera melajukan motornya meninggalkan bangunan dua lantai tadi. Tujuannya kali ini adalah studio lukis miliknya. Arcelio biasa menghabiskan waktu di sana.
Namun, sebelum pergi ke tempat tersebut, pria tampan itu menyempatkan diri untuk menikmati secangkir espresso di kedai kopi favoritnya. Dia menghabiskan waktu di sana sekitar satu jam lebih.
Arcelio, sempat mengirimkan pesan kepada Samantha. Namun, sang tunangan tak kunjung membalas. Itu berarti, Samantha sedang sibuk dengan urusannya. Arcelio tak ingin membuat wanita cantik tersebut merasa terganggu. Dia tahu bahwa Samantha akan selalu memprioritaskan dirinya di atas pekerjaan, meskipun perasaan pria itu mulai dilanda kegelisahan besar.
Setelah menghabiskan secangkir espresso ditemani sebatang rokok, Arcelio melangkah gagah menuju motornya terparkir. Dari kedai kopi tadi, pria tampan dengan jaket kulit hitam itu melanjutkan perjalanan menuju studio miliknya.
Studio itu tidak terlalu luas. Letaknya berada sedikit di pinggiran kota. Arcelio sengaja memilih tempat yang tidak terlalu berisik. Dia membutuhkan pikiran tenang, saat menggoreskan kuas pada permukaan kanvas. Arcelio juga lebih sering menginap di sana, jika dirinya sedang malas untuk pulang ke apartemen yang berada di pusat kota. Seperti halnya malam itu. Dia terlelap di atas sofa bed studio lukisnya.
Tanpa terasa, malam berlalu dengan begitu cepat. Arcelio terbangun dari tidurnya, ketika mendengar suara dering ponsel. Tanpa membuka mata, pria itu meraba bagian samping sofa bed hingga menemukan benda yang dirinya cari. “Pronto, sayangku,” sapa Arcelio. Dia tahu bahwa yang menghubunginya adalah sang tunangan, Samantha.
“Selamat pagi, tampan. Apa kau masih tidur? Dasar pemalas.” Suara lembut Samantha, seketika membuat Arcelio membuka matanya. Akan tetapi, setelah itu dia kembali terpejam. “Maaf, karena aku tak sempat membalas pesanmu. Kemarin, aku benar-benar sibuk.”
“Tidak apa-apa. Aku sudah bisa menebaknya,” balas Arcelio dengan suara parau khas bangun tidur.
”Bagaimana hasil pertemuanmu, sayang?” tanya Samantha penasaran.
“Nona Verratti ingin agar kita bisa berunding bersama. Dengan begitu, dia dapat mengambil kesimpulan dan memberikan saran yang paling tepat, untuk konsep pesta pernikahan kita nanti. Kuharap, kau segera pulang karena aku juga sangat merindukanmu,” goda Arcelio diiringi tawa khasnya.
“Oh, kau benar-benar manis. Tinggal satu kota lagi, dan aku akan kembali ke Milan. Rasanya sangat melelahkan. Kau tahu apa yang sangat kurindukan saat ini?” Samantha tertawa renyah.
Sebuah isyarat yang langsung dapat ditangkap baik oleh Arcelio. “Itu juga yang kuinginkan,” balas Arcelio. Dengan malas, dia menyibakkan selimut tipis yang menutupi tubuh tegapnya.
Arcelio menyugar rambutnya ke belakang sambil duduk. Pria itu mengumpulkan segenap kesadaran yang belum sepenuhnya menyatu. “Cepatlah pulang. Dua minggu tak menciummu, rasanya ….” Arcelio menjeda ucapannya. Dia menoleh ke pintu, karena terdengar ketukan pelan di sana. Sebelum membuka pintu tadi, Arcelio sempat melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
“Kopi pesananku sudah datang. Kuhubungi lagi nanti. Dah.” Arcelio menutup sambungan telepon. Dia meletakkan ponsel yang baru digunakan dengan sembarangan di atas sofa bed.
Tanpa mengenakan T-Shirtnya terlebih dulu, Arcelio melangkah tenang ke pintu, lalu membukanya dengan tidak terlalu lebar. Dia bahkan sempat menguap, sambil menyugar rambutnya.
"Selamat pagi, Arcelio," sapa suara lembut, dari wanita yang berdiri di depan pintu. Dia tersenyum manis, sambil melambaikan tangan ke hadapan wajah Arcelio yang hanya berdiri terpaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Dwisya12Aurizra
Delana
2023-05-11
1