Alena sudah siap mengikuti ujian komputer, Ia dengan teliti mengoprasikan program yang di pilihnya. Tak hentinya, Alena berdoa meminta kelancaran akan ujian yang tengah di jalaninya.
Hampir tiga jam lamanya, Alena berada di ruang ujian.
Ia merasa ujiannya dapat di lakukan dengan lancar, dan Alena bersyukur bisa menyelesaikan ujiannya tepat waktu.
Selesai dengan ujiannya, Alena segera keluar dari ruangan. Kepalanya yang pening, seketika lebur saat melihat cahaya matahari. Pasalnya di dalam ruangan, Alena hanya mendapat penerangan lampu yang menurutnya masih kurang terang.
Namun, ada satu hal yang membuat Alena tak berkutik.
Di seberang kelas ujiannya, Ia melihat Ezra yang tengah duduk berdampingan bersama seorang siswi yang adalah adik kelas Mereka.
Alena melihat Ezra yang tertawa bersama perempuan itu, seketika meragukan perhatian yang selama ini Ezra berikan padanya.
"Mulai deh keluar lagi sikap terlalu ramahnya sama perempuan," gumam Alena.
Alena menghela nafasnya, Ia berniat untuk segera pulang karena sudah tak ada lagi yang harus Ia kerjakan di sekolah.
Saat itu, Alena berjalan melewati Ezra tanpa menoleh sedikitpun ke arah mantan pacarnya itu.
Ezra yang melihat Alena berjalan melewatinya, sontak memanggil Alena.
"Len!" Teriak Ezra.
Alena hanya menoleh, tanpa berniat untuk menghentikan langkahnya.
Ezra beranjak dari tempatnya, dan terlihat berlari mengejar Alena.
"Lena, tunggu!" Pinta Ezra.
"Len." Ezra berhasil menghalangi jalan Alena.
"Kenapa?" Tanya Alena.
"Kok tanya kenapa? Aku manggil-manggil Kamu loh dari tadi, Kamu kenapa gak berhenti?" Tanya Ezra dengan nafas yang ngos-ngosan.
"Kenapa harus berhenti, emang mau apa? Kan Kamu lagi ngobrol sama cewek," ujar Alena.
Ezra terdiam, "oh, itu Dini. Kelas sepuluh, Aku cuma ngobrol biasa kok. Jangan salah paham!" Pinta Ezra yang beranggapan bahwa Alena cemburu.
"Ngapain Aku salah paham? Itu urusan Kamu mau ngobrol atau apapun dan sama siapapun, Aku gak ada hak buat ngelarang!" Seru Alena.
"Kok Kamu gitu ngomongnya?" Tanya Ezra.
"Gitu gimana, Zra." Alena seakan malas untuk berdebat.
"Kalau Kamu gak percaya, nih hp Aku Kamu pegang!" Ezra meraih tangan Alena dan memberikan ponselnya.
Alena terdiam, Ia tak mengerti mengapa Ezra sampai bersikap seperti itu.
"Kita pulang sekarang!" Ezra menarik tangan Alena dan membawanya hingga parkiran motor.
Setelah kejadian itu, Ezra benar-benar membiarkan ponselnya ada pada Alena.
Beberapa pesan masuk, namun Alena tak berani membukanya.
Hingga satu minggu menjelang ujian akhir, Alena memberikan kembali ponsel Ezra.
"Kenapa di balikin?" Tanya Ezra.
"Hari ini waktunya Bapak Kamu pulang, kan? Takutnya nelpon atau mau cek-cek hp Kamu," ujar Alena.
Ezra terdiam, apa yang di ucapkan oleh Alena memang ada benarnya.
Ezra pun mengambil kembali ponselnya, dan melihat banyak pesan masuk di aplikasi perpesanannya.
"Banyak pesan, ya? Dari siapa?" Tanya Ezra.
"Gak tahu." Alena menjawab seadanya.
"Kenapa gak di buka?" Tanya Ezra.
"Buat apa?" Tanya Alena.
Ezra seakan putus asa, pasalnya sikap Alena padanya tak seterbuka dulu. Namun Ezra pun memakluminya, semua perubahan dalam diri Alena terjadi karena ulahnya.
***
Tiba saatnya ujian akhir, dan Alena pun siap mengikuti ujian. Hari demi hari, Ia habiskan untuk belajar. Hingga Ia dapat menyelesaikan ujiannya dengan baik, dan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.
Ketika itu, akan di adakan acara kelulusan di sebuah tempat liburan yang terletak di pusat kota Bandung.
Alena membicarakan perihal acara itu kepada Bi Aidah, dan tak ada pembahasan yang berkelanjutan setelah Alena memberitahukan hal itu pada sang bibi.
Beberapa sebelum hari kelulusan, Alena di haruskan untuk hadir di sekolah untuk membereskan keperluan ijazahnya.
Pagi itu seperti biasa, Alena mengerjakan pekerjaan rumah sebelum pergi ke sekolah. Namun pada saat memakai seragam sekolah, Alena meraba setiap saku yang ada di baju juga roknya.
"Bibi lupa ngasih Aku bekal?" Alena masih mencari uang di saku baju dan roknya, namun tak di temukan uang sepeserpun di baju seragamnya.
Alena merasa bingung, Ia tak tahu harus mendapatkan uang dari mana agar bisa pergi ke sekolah.
Ketika itu, yang ada di pikiran Alena adalah Ibu tirinya.
Pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke sekolah, Alena bermaksud untuk menemui Ibu tirinya lebih dulu.
Sesampainya disana, dengan rasa malu dan ragu, Alena mengatakan maksud kedatangannya.
"Ada apa, Nak?" Tanya Ibu tiri Alena yang memang memperlakukan Alena dengan sangat baik, layaknya anak kandung.
"Emm, ini Bu. Alena boleh pinjam... Uang?" Tanya Alena dengan menundukan kepalanya dan suara yang bergetar.
Ibu tiri Alena terhentak, hatinya begitu sakit mendengar putri sambung yang sudah Ia anggap seperti anaknya sendiri meminjam uang padanya.
"Kenapa? Bibi gak kasih bekal, ya?" Tanya Ibu tiri Alena dengan getir.
Alena tak menjawab, Ia tak dapat lagi menahan air matanya. Ibu tiri Alena peka, Beliau langsung memeluk Alena dan membiarkan anak sambungnya itu menangis di balik punggungnya.
Terdengar isakan yang memilukan dari Alena, begitupula dengan Ibu tirinya yang sama-sama menangis merasakan kehilangan yang begitu dalam.
"Maafin Ibu, ya. Saat Bapak gak ada, Ibu malah ninggalin Kamu. Ibu gak sanggup kalau harus tetap tinggal di rumah dulu," ucap Ibu tiri Alena.
Alena mengangguk, Ia paham dengan keputusan yang di ambil oleh ibu tirinya.
"Ini. Ambil buat bekal Kamu, jangan bilang-bilang sama Bibi, ya!" Pinta Ibu tiri Alena.
Alena melihat uang selembar berwarna biru, uang itu lebih dari apa yang biasa bibinya berikan.
"Jangan banyak-banyak, Bu. Alena pinjam sepuluh ribu aja, buat ongkos." Alena mengembalikan kembali uang yang di berikan oleh ibu tirinya.
"Gak usah. Udah, Kamu pegang aja. Dan ingat, kalau Kamu butuh apa-apa, mau makan, atau apa. Kamu datang kesini aja, ke Ibu. Jangan banyak pikiran, walaupun Bapak udah gak ada. Tapi Ibu masih tetap Ibu Kamu, kok." Ibu tiri Alena berusaha membesarkan hati Alena, Beliau sangat paham dengan kondisi Alena saat ini.
"Makasih, Bu." Alena begitu bersyukur, Ia mendapatkan sosok ibu sambung yang begitu menyayanginya bahkan kedekatannya dengan Ibu sambungnya melebih dengan Ibu kandungnya.
"Iya. Semangat sekolahnya, kelulusannya kapan?" Tanya Ibu tiri Alena.
"Hari sabtu besok. Tapi harus pakai kebaya, Ibu punya kebaya yang udah kecil?" Tanya Alena.
Ibu tiri Alena terlihat berpikir, Ia lalu seperti mengingat suatu hal.
"Oh, iya. Di tempat jahit Bapak, kayaknya ada satu baju kebaya deh yang kayaknya cukup di Kamu. Waktu itu emang bikinnya kekecilan, coba nanti Kamu lihat. Kalau roknya, nanti Ibu cariin disini!" Seru Ibu tiri Alena.
"Iya, sekali lagi makasih, Bu. Alena pergi sekolah dulu." Alena berpamitan, Ia pun merasa lega karena sang ibu tiri masih bersikap baik bahkan setelah sang ayah meninggal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments