Sepulang sekolah, Alena tidak bisa langsung makan siang seperti saat masih ada sang ayah juga ibunya.
Kini Ia harus memastikan lebih dulu, apakah orang rumah sudah makan atau belum.
Alena selalu menunggu di perintah, Ia tak pernah makan jika belum di izinkan.
Alena mengganti pakaiannya, dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Hah, capek banget. Padahal gak banyak kegiatan di sekolah, tapi kebanyakan mikir kayaknya sih ini." Alena memijit pelan keningnya.
Terdengar suara sang bibi dari luar, Alena segera membuka pintu.
"Bibi manggil Lena?" Tanya Alena.
"Iya. Pulang sekolah langsung makan, terus gantian jaga warung sama Bibi. Bibi mau istirahat sebentar dari pagi belum istirahat," ujar Bi Aidah.
"Oh, iya Bi." Alena segera mengambil makan, setelah itu Ia bergegas bergantian menjaga warung selagi Bi Aidah beristirahat.
Saat tengah menunggu warung, datang seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan.
"Eh, Lena. Bi Aidahnya kemana?" Tanya Tante Nur, salah satu pelanggan Bi Aidah.
"Eh, Tante Nur. Bi Aidahnya lagi istirahat dulu," jawab Alena.
"Tante Nur mau beli apa?" Tanya Alena.
"Oh, gitu. Tante mau beli ayam sekilo, kentang sekilo, bumbu merahnya lima ribu, penyedap rasa yang lima ribu, sama minyaknya satu liter, ya!" Pinta Tante Nur.
Alena segera menyiapkan semua yang di pesan oleh Tante Nur, Ia juga dengan teliti menghitung total belanjaan Tante Nur.
"Ini Tante belanjaannya, ada lagi?" Tanya Alena.
"Udah deh. Berapa?" Tante Nur.
"Totalnya jadi tujuh puluh tujuh ribu, Tan." Alena menuturkan.
"Oh, iya ini." Tente Nur memberikan selembar uang seratus ribu.
"Ini kembaliannya, Tan." Alena memberikan kembalian dari uang yang di berikan oleh Tante Nur.
"Makasih, Len. Oh iya, ini ada sedikit buat bantu biaya UJIKOM Kamu, Len." Tante Nur menyoborkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Alena.
Alena terdiam, Ia kaget melihat Tante Nur memberinya uang dengan cuma-cuma.
"Tante ini banyak banget, terus Tante tahu dari mana kalau Aku harus bayat UJIKOM?" Tanya Alena.
"Ah, gak banyak, kok. Iya waktu itu Bi Aidah cerita, katanya lagi sedih karena harus nyari biaya buat bayar ujian komputer Kamu. Tante kebetulan ada rezeki, Kamu terima, ya!" Pinta Tante Nur.
Alena merasa haru sekaligus tak enak hati, pasalnya masalahnya tentang biaya sekolah sampai ke telinga orang lain.
"Terima kasih banyak, Tan. Semoga Allah ganti dengan yang lebih dari yang di berikan," ucap Alena dengan tulus.
"Aamiin. Ya udah Tante pulang dulu ya, salam sama Bi Aidah!" Tante Nur berpamitan, dan keluar dari warung.
Alena mengangguk, Ia masih menatap uang yang ada di tangannya kini.
"Uang dari mana itu, Lena?" Tanya Bi Aidah yang kedatangannya tak di ketahui oleh Alena.
"Oh, ini Bi. Tadi ada Tante Nur belanja, terus ngasih uang buat bayar UJIKOM Lena," jawab Alena apa adanya.
"Oh, alhamdulillah. Sini uangnya Bibi yang pegang, kalau Kamu yang pegang takutnya nanti malah di jajanin!" Pinta Bi Aidah.
Alena tak menolak, Ia memberikan semua uang yang di berikan oleh Tante Nur padanya.
Bukan hanya sekali itu saja, setiap ada orang yang memberi uang pada Alena, semua uang itu di pegang oleh Bi Aidah. Alena mendapat jatah sehari dua puluh ribu, itupun kadang Alena harus menahan diri untuk berhemat karena memang tengah banyak kebutuhan untuk persiapan ujian.
Flashback on
Pernah suatu hari, Alena berjalan kaki dari sekolahnya sampai ke jalan besar yang menempuh waktu setengah jam lamanya. Biasanya Alena selalu naik ojeg, atau di beri tumpangan oleh teman sekelasnya. Namun kala itu, Alena pulang terlambat dan tak mendapat tumpangan. Uang Alena tak cukup untuk naik angkutan umum, jika harus di pakai untuk naik ojeg dari sekolah hingga jalan besar. Maka, Alena memutuskan untuk berjalan kaki.
Alena teringat, ketika sang ayah masih ada.
Entah firasat atau bukan, saat Alena naik ke kelas dua belas. Sang ayah selalu mengantarkan Alena ke sekolah, bahkan tak jarang beliau juga menjemput putrinya tanpa memberitahu sebelumnya.
Kali ini, Alena merasa sangat kehilangan. Bukan karena Ia harus berjalan kaki, atau berhemat. Tetapi, kenangan dan masa-masa indah bersama sang ayah tak dapat Ia rasakan lagi untuk selamanya.
Dan ada hal yang membuat Alena merasa sedih setiap harinya, yaitu ketika Ia tak sengaja mendengar Bi Aidah berkeluh kesah di depan para tetangga yang tengah berbelanja di warungnya.
"Aku tuh semenjak ayahnya Alena meninggal, setiap hari tuh bawaannya sedih, pusing. Sedih karena kehilangan adik bungsu, mana Alena lagi banyak kebutuhan buat ujian sama kelulusan nanti. Beban aja, harus nambah nanggung satu anggota keluarga lagi." Bi Ai mengeluhkan.
"Tapi kan katanya Bu Lurah kan sahabatnya Ayah Alena, setiap bulan selalu ngasih buat kebutuhan bekal harian Alena, Bi." Salah seorang pembeli menimpal.
"Iya, sih, Bu. Tapikan itu buat bekal jajannya aja, buat makannya gimana? Buat biaya ujian-ujian? Terus nanti kalau lulus harus tebus ijazah," ujar Bi Aidah.
"Saya juga denger Bu Nur sering ngasih buat Alena juga, Bi. Masa sih gak cukup juga, emang Alena boros, ya?" Tanya pembeli yang lain.
"Ngga terlalu boros juga, sehari bekal ke sekolah itu 20 ribu itu juga harus cukup sampai sore. Tapikan setiap hari Dia harus makan, Bu." Bi Ai menimpal.
"Ya elah Bi, cuma ketambahan satu orang aja. Lagian kayaknya Alena juga bisa nempatin dirinya!" Seru pembeli lainnya.
"Iya. Ah pokoknya setiap hari tuh kayaknya ada beban aja," ucap Bi Aidah yang benar-benar membuat Alena sedih.
"Ngurus anak yatim itu biasanya mendatangkan rezeki, Bi. Sabar aja!" Seru pembeli lagi.
Flashback off
Sungguh, memang tidak enak jika hidup menumpang pada orang lain sekalipun itu saudara sendiri.
Namun apa daya, ujian setiap orang pun berbeda-beda. Alena pun tetap mencoba untuk berpura-pura tak tahu, berusaha untuk tetap bersikap patuh dan hormat pada Bibinya.
***
Seminggu telah berlalu, kini saatnya Alena melaksanakan ujian komputer. Seperti biasa, Ezra kini menjemput Alena di depan rumah Bi Aidan. Alena tak tahu jika Ezra akan menjemputnya, pasalnya Alena selalu menolak jika Ezra ingin menjemputnya ke rumah.
Kali ini, Alena tak menolak. Ia akhirnya pergi ke sekolah bersama Ezra, dan keduanya pun sama-sama akan melaksanakan ujian. Pagi itu, Ezra sengaja melewati jalan alternatif. Dimana jalan yang di pilih Ezra adalah jalan yang melewati pemakaman umum, disana pula lah Ayah Alena di makamkan.
Sebelum melewati area pemakaman, Ezra tiba-tiba menepikan motornya di seberang gerbang pemakaman.
"Kenapa berhenti, Zra?" tanya Alena.
"Kita kan mau ujian, disana makam Bapak Kamu, kan?" Ezra menunjuk ke sebuah lahan dimana Ayah Alena di makamkan.
"Iya. Kenapa gitu?" tanya Alena.
"Kita gak mungkin masuk ke area pemakaman karena semalam hujan, pasti jalannya becek nanti sepatu sama seragam takut kotor. Jadi Kamu bisa minta doa sama Bapak Kamu dari sini," ucap Ezra.
"Minta doa?" tanya Alena yang masih bingung dengan maksud Ezra.
"Iya. Bukan bermaksud apa-apa, cuma ya barangkali ada yang ingin Kamu ucapin sama Bapak sebelum Kita ujian." Ezra menuturkan.
Alena paham, Ia pun menatap ke arah makam ayahnya. Air matanya menggenang di pelupuk mata, dan sebuah kalimatpun Alena utarakan di dalam hatinya.
"Pak. Sedikit lagi, Alena lulus. Doakan selalu Alena, agar bisa menggapai cita-cita seperti apa yang Bapak mau," ucap Alena dengan lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments