Masih Merasa Kehilangan

Ezra merasa takut, namun Ia kepalang basah. Tak mungkin jika Ezra harus berbohong pada ayahnya, dengan terpaksa Ezra berbicara sejujurnya.

"Iya, Pak." Ezra menjawab dengan gemetar.

"Berani sekali Kamu jawab 'iya'!" Bentak Pak Dedi.

"Ya mau gimana lagi, udah ketahuan ini. Maafin Ezra, Pak." Ezra menundukkan pandangannya.

Pak Dedi terlihat begitu marah, namun Ia tak sampai bermain tangan.

"Sekarang gimana? Mau tetap di lanjutin?" Tanya Pak Dedi.

Ezra terdiam, Ia tak langsung menjawab pertanyaan ayahnya.

"Jawab Bapak!" Bentak Pak Dedi.

"Nggak, Pak. Ezra gimana Bapak aja," ujar Ezra dengan terpaksa.

"Putusin! Gak suka Bapak Kamu udah mulai berani pacaran, lihat Kakak Kamu! Dia kuliah, tapi gak sampai berani pacaran kayak Kamu!" Seru Pak Dedi.

Ya, Ezra anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah Ezra melakukan hal yang sama kepada ketiga anaknya, memerika ponsel setiap Ia pulang dari tempat kerjanya seminggu sekali. Tentunya melarang ketiga anaknya untuk berpacaran, terutama bersikap lebih keras pada Kakak juga adik Ezra yang dimana keduanya adalah perempuan.

"Iya." Ezra menjawab dengan pasrah.

"Ya udah lakuin sekarang!" Pinta Dedi. Ia ingin Ezra melakukan tepat di depan matanya.

Ezra meraih ponselnya, dan mengirim pesan pada Alena.

Jari-jari Ezra terlihat gemetar, mengetik setiap kata untuk mengakhiri hubungannya dengan Alena.

"Alena. Maaf, kayaknya Kita harus putus." Begitulah pesan yang di tulis oleh Ezra untuk Alena.

Alena terkejut, Ia meminta penjelasan mengapa Ezra memutuskan hubungannya secara tiba-tiba bahkan saat tak terjadi masalah apapun diantara keduanya. Ezra menjelaskan banyak hal, namun Alena masih tak percaya hubungannya dengan Ezra berakhir karena terkendala restu.

Bahkan kekecewaan Pak Dedi berlangsung hingga seminggu setelah kejadian dimana Ia mengetahui putranya berpacaran, bahkan di saat Ia kembali ke tempat kerjanya Pak Dedi selalu memberikan nasihat pada Ezra melalui pesan suara.

Setelah kejadian itupun, Ezra masih berusaha menemui Alena.

Ezra bahkan membiarkan Alena untuk mendengarkan pesan suara yang di kirim ayahnya, Ezra begitu bersalah pada ayahnya juga pada Alena.

"Zra. Perasaan Kamu sama Alena itu gak salah, hanya terjadi di waktu yang belum tepat saja. Bapak juga minta maaf karena harus bertindak keras sama Kamu, sudah bikin Kamu sakit hati. Tapi Kamu dan Alena itu ibaratnya seperti pisang yang masih muda, kalau di paksakan di makan saat itu juga rasanya hanya ada pahit! Bapak harap Kamu ngerti, dan mau terima aturan dari Bapak ini."

Begitulah pesan suara yang di kirim oleh ayah Ezra.

Alena menitikan air mata, mau tak mau Ia harus menerima.

Namun satu yang membuat Alena dilema, yaitu sikap Ezra yang tak berubah padanya. Bahkan setelah mengakhiri hubungannya dengan Alena, Ezra masih sering memberi kabar dan memberi perhatian pada Alena.

Flashback Off.

Sesampainya di sekolah, Alena bermaksud langsung menuju kelasnya. Hari itu, adalah hari-hari dimana Alena dan siswa siswi lainnya sibuk dengan latihan-latihan ulangan untuk ujian akhir.

"Kemana?" Tanya Ezra.

"Ke kelas. Kenapa?" Tanya Alena.

"Buru-buru amat, mau jadi anak rajin ceritanya? Ngobrol dulu," ujar Ezra.

Alena terdiam sesaat, namun Ia sudah berniat untuk tidak terlalu berharap pada Ezra lagi.

"Tapi lagi banyak tugas, Zra. Nanti aja ya," ucap Lena.

Ezra terlihat kecewa, namun Ia juga sama harus mempersiapkan diri untuk latihan ujian akhir.

"Ya udah deh, pulangnya nanti bareng lagi ya!" Pinta Ezra.

Alena tersenyum tipis, "iya." Lalu Ia melangkah meninggalkan Ezra yang masih berada di parkiran.

Satu teman sekelas Alena belum ada yang tahu bahwa Alena dan Ezra sudah tidak lagi berpacaran, dan Alena pun tak berniat untuk menceritakan hal itu pada temannya.

"Len. Kok siang datengnya?" Tanya Rahma, sahabat Alena, teman sebangkunya.

"Iya, Ma. Tadi emang dari rumah agak siang sih," jawab Lena.

"Oh. Gimana, Bibi Kamu baik? Nerima Kamu baik kan di rumahnya?" Tanya Rahma yang mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu.

"Ya gitu lah, Ma. Namanya juga numpang, mau di saudara atau orang lain tetap harus bisa jaga sikap, kan? Bibi baik, kok. Tapi Aku juga jangan sampai memanfaatkan kebaikan Bibi, hati orang siapa yang tahu, kan." Lena berusaha untuk membiasakan dirinya, hidup bersama Kakak dari ayahnya yang memiliki sikap keras dan jauh berbeda dengan Ibu juga Ayahnya dulu.

"Iya, sih. Tapi sabar, Len. Sebentar lagi Kita lulus, udah lulus Kamu bisa cari kerja. Dan gak nyusahin siapapun!" Seru Rahma.

Alena terdiam, sejujurnya Ia ingin sekali melanjutkan pendidikannya. Cita-cita sang ayah pun sama sepertinya, ingin Alena bisa berkuliah di jurusan yang sama dengan yang tengah Ia jalani di sekolah menengah kejuruan saat ini.

"Iya, Ma. Semoga cepet bisa dapet kerja," jawab Alena, yang berbanding jauh dengan hatinya.

***

Selesai kelas, Lena tak berminat untuk ikut bersama teman-temannya yang akan mengadakan acara di salah satu rumah teman satu kelas Lena juga.

Ketika Lena keluar dari kelas, Lena sudah melihat Ezra yang tengah menunggunya.

"Ngapain berdiri disini?" Tanya Alena.

"Ngapain lagi, nungguin Kamu keluar kelas. Kan mau pulang bareng," ujar Ezra.

Alena hanya diam, Ia juga tak menolak sama sekali ajakan Ezra.

"Len. Hayu ikut, kan ada Ezra." Rahma masih membujuk.

"Gak bisa, Ma. Aku harus pulang cepat," jawab Alena.

"Pada mau kemana, sih?" Tanya Ezra.

"Mau makan-makan nasi liwet di rumahnya si Dini, ikut yuk, Zra!" Ajak Rahma.

"Ah, malu. Masa Alena gak ikut, Aku yang bukan teman sekelas malah ikut." Ezra pun ikut menolak.

Alena dan Ezra pun pulang, selama di perjalanan, tak ada percakapan di antara keduanya.

Sampai Ezra memulai pembicaraan lebih dulu, namun tampaknya Alena tengah gundah.

"Kamu kenapa? Dari tadi diam terus, mikirin apa?" Tanya Ezra.

Terdengar Alena menghela nafasnya dengan berat, Ia seperti tengah menahan tangis.

"Nggak apa-apa, cuma lagi kangen aja sama Bapak." Alena menjawab dengan getir.

Ezra terdiam, Ia paham apa yang di rasakan oleh Alena. Kehilangan ayah, adalah hal terberat bagi Alena. Pasalnya, Alena sangat dekat dengan ayahnya. Ezra pun masih merasa bersalah pada Alena, ketika ayah Alena meninggal, Ezra tak bisa menemui dan menemani Alena di saat terpuruknya.

Ketika itu, Ezra tengah sakit. Ezra tak bisa memaksakan diri untuk hadir di pemakaman ayah Alena, hal itu pun sempat membuat Alena kecewa.

"Sabar, ya. Bapak Kamu sekarang udah senang, udah sehat. Gak ngerasa sakit lagi," ujar Ezra yang mencoba untuk menenangkan Alena.

"Iya." Alena hanya menjawab singkat.

Sedewasa dan sesiap apapun seorang anak, tidak akan pernah siap jika harus kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!