...Aku ragu ketika aku mendapat amanah untuk menjaga seorang bidadari surga, tetapi aku tidak bisa untuk mengembannya. Aku juga ragu ketika aku tidak bisa menjadi seorang imam yang sempurna untuknya. Karena aku takut dengan jalanku yang masih berliku. Jika aku bisa menolak, aku menolak untuk menjadi suami pengganti...
...~Huda~...
"Kamu udah sholat?" Husna bertanya pada Huda yang sudah rapi dengan kemeja dan celana jeansnya.
"Belum, Mbak. Nanti aja. Oh iya, aku mau keluar sebentar. Kalau butuh sesuatu panggil anak-anak dibawah aja ya."
Husna hanya menatap punggung Huda yang sudah menghilang dibalik pintu. Hanya helaan napas panjang yang dia keluarkan untuk membuang rasa sesak di dadanya.
Karena merasa lapar, Husna menuju ke dapur mini yang ada di lantai atas. Tak ada bahkan yang bisa diolah menjadi makanan. Husna hanya bisa membuang lagi napas beratnya.
'Apakah mereka tidak pernah masak?' batin Husna.
Karena perutnya yang belum diisi dari siang tadi, membuatnya nekat untuk turun ke lantai bawah. Terdengar begitu ramai suara beberapa orang laki-laki yang sedang mengutak-atit sebuah motor. Mungkin itu teman-teman Huda yang lainnya, pikir Husna.
"Dimas," panggil Husna saat melihat Dimas melihat kearahnya.
Dengan langkah sedikit berlari, Dimas menghampiri istri dari bosnya. "Iya, Mbak Ada apa?" tanyanya langsung.
"Kamu tahu Huda kemana dan akan pulang jam berapa?"
"Gak tahu, Mbak. Bocah itu emang seperti itu. Kadang-kadang tengah malam baru pulang," jelas Dimas. "Mbak Husna butuh sesuatu?" tanya Dimas kembali.
"Disini jauh gak sama supermarket?"
"Gak jauh kok Mbak. Didepan sana ada supermarket. Mbak Husna mau ke supermarket?" tanya Dimas lagi.
"Iya. Aku lihat nggak ada stok apa-apa di dalam kulkas. Kalian nggak pernah masak ya?"
Dimas yang ditanya hanya menyengir saja. Selama ini mereka memang tidak pernah memasak.
"Jadi selama ini kalian makan apa? Apakah kalian selalu delivery?"
Husna berdecak pelan sambil menggeleng saat Dimas membenarkan tebakannya.
"Ya ampun.... itukan makanan enggak sehat!"
...***...
Seharusnya sore ini Huda yang menemani Husna untuk berbelanja. Namun, karena Huda sedang tidak ada, terpaksa Dimas yang menemaninya.
Tanpa sepengetahuan dari Husna dan ketiga sahabatnya, Huda diam-diam pergi untuk menemui Miya, perempuan yang sedang menjalani hubungan dengannya beberapa bulan yang lalu.
"Hud, kamu kemana aja sih? Aku cariin kamu ke bengkel gak ada. Aku telepon pun juga gak di angkat. Jangan-jangan kamu udah ada yang baru ya?" todong Miya saat Huda baru saja menarik sebuah kursi didepannya.
Miya adalah mahasiswa populer yang sedang menjadi incaran para pria di kampus. Namun, sayangnya hati Miya dijatuhkan pada Huda, meskipun dia tahu siapa sosok Huda sebenarnya. Seorang playboy cap buaya buntung.
"Sorry banget, kemaren sibuk sama acara keluarga. Jangan ngambek dong," rayu Huda.
Memiliki wajah tampan membuat Huda percaya diri tingkat dewa, bahkan dia juga mendapatkan julukan buaya darat di kampusnya.
Huda yang terkenal sebagai playboy sangat mudah untuk merayu hati perempuan manapun. Bahkan banyak diantara mereka yang termakan rayuan bibir manisnya, meskipun mereka sudah tahu siapa jati diri Huda, tetapi mereka tetap bahagia saat ditembak oleh Huda.
"Oke aku maafin. Sebagai gantinya kamu harus nemenin aku nonton nanti malam. Kebetulan aku mau nonton pocong playboy!"
"Yah ... kalau nanti malam aku gak bisa. Anak-anak udah ngajak traktiran. Gimana kalau lusa?" bujuk Huda.
Miya mendengkus kesal. Pasti akan ada saja alasan Huda untuk menolak ajakannya dengan alasan sudah telanjur janji dengan teman-temannya.
"Jangan cemberut dong. Aku temenin belanja deh. Tapi sebelum magrib kita pulang ya," tawar Huda.
Seketika mata Miya langsung berbinar saat mendengar kata belanja. Siapa yang akan menolak jika diajak belanja?
"Iya udah ayo!" ujar Miya.
Huda pun langsung meninggalkan cafe dan membawa Miya untuk menuju mall. Bagi seorang Huda melumpuhkan seorang perempuan itu sangat mudah. Selain harus mengalah, perempuan juga butuh perhatian.
Dengan kacamata yang bertengkar diatas batang hidungnya, Huda berjalan santai menggandeng tangan Miya untuk menelusuri Mall yang masih ramai.
Bagi seorang Miya bisa menjadi kekasihnya Huda adalah kepuasan tersendiri baginya, meskipun Miya menyadari jika hubungan mereka tidak akan bertahan lama.
"Hud, beli tas ya?" pinta Miya.
Huda mengernyit. "Tas?" cicitnya.
"Perasaan dua Minggu lalu udah beli tas deh," kata Huda heran.
"Ya tapi aku pengen yang itu!" rengek Miya sambil menunjuk ke sebuah estalase yang menyuguhkan beberapa tas branded.
"Itu mahal, Miy. Kalau aku beliin tas buat kamu, gimana gaji anak-anak? Untuk kali ini aku minta maaf gak bisa nirutin permintaamu. Yang lain ajalah. Baju kek, sepatu kek, atau make up biar wajah kamu makin bersinar."
Miya hanya mengerucutkan bibirnya dengan kesal. "Itu kan limited edition, Hud."
"Iya aku tahu. Kamu juga harus tahu juga kalau aku bukan anak sultan. Lain kali aja ya."
Dengan berat hati Miya pasrah saat Huda tak menuruti keinginan. "Udahlah kita pulang aja," rajuk Miya.
"Tuh kan ... jangan ngambek dong. Nanti hilang cantiknya," rayu Huda.
Sepertinya ucapan Huda, sebelum magrib mereka harus pulang. Baru saja memarkirkan mobilnya di depan ruko, Huda baru sadar jika dia telah melewatkan sholat Ashar-nya. Semoga saja Husna tidak menanyakan apakah dia sudah sholat Ashar atau belum.
"Tumben udah pulang Lo?" celetuk Arul saat melihat Huda masuk kedalam ruko.
Dimas yang hendak menutup pintu bengkel juga terheran saat melihat Huda pulang lebih awal. "Apakah Lo udah putusin si Keisha?" tanyanya.
"Kok Keisha sih? Kan cewek terbarunya Miya, si cewek matre itu. Heran gue cewek matre kayak gitu di pacarin," timpal Mail..
"Saran gue sih Lo insaf, Hud! Inget Lo udah nikah! Kasihan mbak Husna," tambahnya lagi.
Huda yang merasa gerah membuka dua kancing teratas dan menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Sambil melihat ke anak tangga, Huda mende.sah pelan.
"Apakah mbak Husna gak ada turun sejak tadi?"
"Ada. Tadi gue temenin dia belanja ke supermarket depan sono. Ternyata kalau dilihat-lihat mbak Husna cantik juga ya. Gue rela deh gak kawin buat nunggu jandanya," celetuk Dimas.
"Sembarang mulut Lo! Emang siapa yang mau nyerein dia?" sewot Huda.
"Kali aja Lo ceraiin. Kan Lo gak ada cinta sama dia. Kalau gue tahu mas Yudha mau meninggal, gue minta aja mbak Husna a untuk jadi bidadari gue. Dari pada sama playboy kayak Lo!"
"Oh, jadi Lo mau nikung gue? Coba aja kalau mau, biar gue tendang sekalian," ucap Huda sambil beranjak pergi. Tak lupa Huda juga melemparkan bantal sofa ke wajah Dimas.
Kaki Huda menapaki tangga dengan derap yang nyaring.
Hatinya kesal saat mendengar Dimas ingin menunggu jandanya Husna. Sampai kapanpun Huda tidak akan menjandakan Humaira karena dia sudah berjanji pada kakaknya untuk menjaga Husna sepenuh hatinya, sama seperti sang kakak menjaga Husna.
"Kamu udah pulang?" tanya Husna yang bergegas mengenakan hijabnya saat melihat Huda pulang.
"Kata Dimas kamu akan pulang malam jadi aku gak siapin makan malam untukmu. Tapi kali aja anak-anak dibawah belum makan. Kamu gabung aja sama mereka," tambah Husna lagi.
"Aku masih kenyang kok, Mbak. Nanti kalau lapar delivery aja."
Husna pun mengangguk pelan. "Ya udah kalau gitu aku tunggu kamu ya."
"Kemana?" tanya Huda mengernyit.
"Sholat Magrib-lah. Kan bentar lagi udah masuk waktu magrib," jelas Husna
Mendadak tubuh Huda terasa panas dingin. Bukan tidak mau, tetapi Huda merasa belum siap untuk mengimami Husna. Dia merasa tak pantas untuk menjadi imam untuk Husna.
"Malah bengong. Udah sana mandi!" tegur Husna yang melihat tubuh Huda mematung.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Pujiastuti
ru kan ngak rela juga ada temanmu yang nunggu jandanya Husna, mangkanya Huda putusin aja semua cewek yang kamu jadikan pacar fokus aja sama Husna istrimu, cinta akan datang karena terbiasa bersama Huda,,,,
2023-05-09
1