Menikahi Calon Ipar ~ 2

Seharusnya orang-orang datang dengan memberikan kata selamat berbahagia. Namun, nyatanya mereka datang dengan bela sungkawa.

Hari ini seharusnya sepasang pengantin berdiri diatas pelaminan. Namun, dengan kehendak sang pencipta, salah satu diantara mereka harus berada di liang lahat, tempat peristirahatan terakhir yang nyata.

Tak hentinya Husna menitihkan air mata kesedihan saat melihat jasad calon suaminya hendak di masukkan ke liang kubur dan ditutup dengan tanah.

"Kamu harus mengikhlaskan Yudha agar dia merasa tenang di alam sana!" nasehat Uminya.

"Kita tidak boleh mencintai hamba-Nya hingga melupakan sang penciptanya. Allah mengambil Yudha, karena Allah menyayangi Yudha," lanjut Uminya lagi.

Husna berada dalam sandaran Umi, wanita yang selalu memberikan kekuatan untuk dirinya selama ini. "Iya, Umi. Husna tahu," balas Husna dengan pelan.

"Syukurlah, Nak. Sekarang tugasmu adalah mendoakan Yudha agar diberikan tempat terindah dan diampuni dosa-dosa," kata Umi lagi.

Kasih sayang ibu yang tulus tak akan pernah tergantikan dengan siapapun dan apapun. Ibu adalah segalanya. Ibu adalah sandarann yang mampu menenangkan hati dan perasaan.

Setelah acara pemakaman selesai, Abi langsung mengajak Husna untuk meninggalkan pemakaman. Namun, Husna menolaknya. Dia masih ingin tetap berada di makam untuk menemani Yudha.

"Ibu pulanglah bersama dengan Umi dan Abi. Huda yang akan membujuknya," kata Huda pada kedua orang tua Husna.

"Baiklah, Nak. Jangan lama-lama!" pesan Abi.

Husna masih menatap sendu batu nisan yang bertulis Yudha Pranata. Harusnya nama itu tertera di dalam buku nikah, bukan di batu nisan.

Husna masih menangis untuk menumpahkan perasaannya saat ini. Bahkan suara tangisannya bisa di dengar oleh Huda.

Huda yang berada di samping Husna hanya mampu melihat bagaimana Husna terus terisak menangisi batu nisan sang kakak.

Bukan Huda tidak memiliki kesedihan yang mendalam, tetapi Huda mencoba untuk menutupinya. Dia mencoba untuk tetap tegar saat dia melihat batu nisan yang berada disebelah kakaknya. Makam milik ayahnya yang tiga bulan lalu pergi untuk selamanya. Lalu hari ini Huda harus kehilangan sosok pengganti ayahnya. Itu tandanya Huda harus menggantikan peran ayahnya untuk menjaga ibunya.

"Sudah hampir sore, lebih baik kita pulang," bujuk Huda.

Husna menyeka air matanya. Dia baru menyadari jika ternyata Huda belum pulang.

"Mengapa kamu belum pulang?" tanya Husna dengan sesenggukan.

"Karena aku sedang menunggumu yang masih menangisi batu nisan kakakku," jawab Huda datar.

"Pulanglah! Aku bisa pulang sendiri!"

"Aku tidak akan pulang tanpa kamu! Kamu pikir kakakku akan bahagia jika kamu terus menerus menangisi kepergiannya? Tidak, Mbak! Dia hanya akan bersedih saat melihatmu seperti ini. Lebih baik kita doakan mas Yudha dari pada kita menangisinya!" ujar Huda.

Husna kembali menyeka air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Ada benarnya ucapan Huda, saat ini yang dibutuhkan Yudha adalah doanya, bukan air matanya. Namun, untuk saat ini Husna masih belum rela untuk meningkatkan pusara Yudha.

"Mas Yudha, ingin rasanya aku memaki. Namun aku sadar jika hidup dan mati adalah milik Allah. Ingin rasanya aku tidak ridho, tetapi itu hanya akan membuatmu menderita. Kamu jahat, Mas!" Husna kembali menangis tersedu-sedu diatas batu pusara.

"Mbak, kita pulang ya!" Kini Huda memberikan diri untuk mengangkat tubuh Husna yang sudah lemas. Selama hampir satu jam Huda bersabar untuk menunggu dan kini dia memberanikan diri untuk menyentuh wanita yang terus-menerus menangis pusara milik kakaknya.

"Mas Yudha, aku pulang." Dengan berat hati Husna pasrah saat tubuhnya telah dipapah oleh Huda untuk meningkatkan tempat peristirahatan terakhir Yudha.

Selama perjalanan pulang, tak ada kata yang terucap dari bibir keduanya. Pandangan Husna kosong. Yudha telah pergi untuk selamanya. Kini semua cerita hanya tinggal kenangan. Husna benar-benar sangat terpukul. Mengapa hari bahagianya harus berubah menjadi hari duka?

Tak terasa kini mobil yang dikemudikan oleh Huda telah sampai di rumahnya. Rumah yang masih dalam suasana duka, dimana masih ada beberapa orang datang silih berganti rumahnya untuk bertakziah.

Terlihatlah juga masih ada Umi dan Abi Husna yang belum pulang.

"Assalamualaikum, Abi. Maaf lama," kata Huda seraya menyalami Abi Husna

"Walaikumsalam, Nak Huda. Tidak apa-apa, Abi dan mengerti," jawab Abinya Husna.

...****...

Sesuai dengan amanah yang diberikan kepada Huda, seminggu setelah kepergian sang kakak, Huda langsung menikahi Husna. Meskipun dengan hati yang sangat berat, tetapi dia tetap menjalankan permintaan terakhir sang kakak.

"Bagaimana para saksi?" tanya pak penghulu setelah Huda melafazkan ijab kabulnya.

"Sah." Kata serentak bisa terdengar dengan jelas.

"Alhamdulillah," seru pak penghulu. Detik kemudian pun pak penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai yang baru saja sah menjadi pasangan suami-isteri.

Meskipun acara tidak mengundang banyak tamu, tetapi acara berjalan dengan lancar sampai akhir. Kini Husna telah resmi menyandang status istri dari seorang Muhammad Al-Huda.

"Alhamdulillah, acara berjalan dengan lancar ya, Mbak," kata Umi Salwa pada ibunya Huda.

"Semoga mereka menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah, until Jannah," timpal besannya.

Bukan ingin berbahagia diatas rasa duka, tetapi mereka hanya menjalankan pesan terakhir dari mendiang Yudha yang menginginkan Huda menggantikan dirinya.

"Huda, mulai hari ini tanggung jawab Abi telah berpindah kepadamu. Abi titipkan putri Abi Al-Husna Az-Zahra kepadamu, Nak. Sayangi dia, kasihi dia seperti Abi dan Umi menyayangi dia. Abi tahu jika pernikahan ini bukanlah keinginan kalian. Abi juga tahu, jika saat ini belum ada rasa cinta diantara kalian berdua. Menyatukan dua hati yang berbeda itu tidaklah mudah seperti menyatukan kedua telapak tangan. Jadi jika sewaktu-waktu ada masalah, tolong selesaikan dengan kepala dingin," wejangan Abi panjang lebar.

Huda hanya bisa mengangguk dan mengiyakan saja wejangan yang diberikan oleh Abinya.

"Insyaallah. Doakan Huda agar bisa menjadi imam yang baik untuk Mbak Husna, Bi." balas Huda.

Akhirnya setelah acara usai, Huda langsung membawa Husna untuk ikut bersama dengannya. Karena saat ini Huda sedang menempuh pendidikan diluar kota, mau tidak mau, Huda juga harus membawa Husna ke tempat tinggalnya yang ada diluar kota.

Air mata Aira harus tumpah lagi manakala dia harus meninggalkan kedua orang tuanya.

"Sudah jangan menangis! Sudah sewajarnya seorang istri mengikuti langkah suaminya pergi. Jadilah makmum yang berbakti kepada imam ya, Nak," pesan umi Salwa sebelum Husna meninggalkan rumahnya.

"Kamu harus ikhlas dengan kenyataan ini, Nak. Saat ini Huda adalah suamimu. Meskipun usianya lebih muda darimu, tetapi dia adalah suamimu. Panggil dia dengan sebuah Mas!" timpal Abinya.

Husna menanggung pelan. "Insyaallah Husna akan menjadi seorang istri yang berbakti sekalipun itu bukan pada mae Yudha."

"Nak Huda, apakah tidak bisa diundur besok pagi?" tanya Umi Salwa.

"Tidak bisa Umi, sudah satu minggu lebih Huda izin. Huda takut dengan libur yang kepanjangan ini akan mempengaruhi nilai Huda. Tapi jika mbak Husna tidak ingin ikut Huda untuk keluar kota tidak apa-apa. Akhir pekan Huda akan usaha untuk pulang."

"Tidak, Nak. Sebagai seorang istri, Husna akan ikut kemanapun suaminya bernaung. Maafkan Umi jika belum siap untuk ditinggal, Husna. Tapi saat ini kamulah yang berhak sepenuhnya pada Husna. Umi nitip Husna, ya!" sesal Umi Salwa.

...***...

Terpopuler

Comments

Jamilah BundawafieYafi

Jamilah BundawafieYafi

cerita yang sangat bagus, pengaturan kata dan kalimatnya juga apik. semangat Thor

2023-10-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!