BUB 3 Sepenggal Kisah Baim

Balqis Untuk Baim (3)

Arumi menggeser tubuhnya memberi ruang pada pelajar sekolah itu agar bisa duduk.

"Terimakasih, kak." Ucapnya pad Arumi.

"Sama-sama." Jawab Arumi tersenyum.

💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞💞

Di tempat berbeda, Baim sedang tertidur pulas. Setelah ia mengobati lukanya sendiri dengan obat-obatan yang di bawa Balqis tadi, ia pun mengendarai motornya denga perlahan menuju rumah kosan temannya yang selama ini mau menampungnya.

"Bang, aku tinggal ya. Sudah mau berangkat ngampus nih"

" Ya, pergilah. Hati-hati " Jawab Baim dengan mata terpejam.

"Oh iya, tadi Bang Elang nelpon minta Abang ke markas nanti sore." Indra menyampaikan pesan ketua mereka.

"Hmm.. Nanti aku kesana."

Baim melanjutkan tidurnya sementara Indra langsung pergi ke kampus.

Sore itu, Baim pergi ke markas sesuai perintah ketua mereka.

Tiba-tiba terdengar suara adzan berkumandang dari masjid yang sudah cukup banyak di datangi orang-orang yang akan melaksanakan sholat ashar berjamaah.

Baim menghentikan motornya tepat di depan masjid. Keberadaannya sedikit menarik perhatian para jamaah. Celana jins bolong yang warnanya agak pudar dengan atasan kaos putih dan dilapisi lagi dengan jaket jins. Warna jaketnya pun senada dengan celana yang ia kenakan.

Ia memang tidak memakai tindik ataupun anting.Tapi, dengan pakaiannya yang sekarang saja masih tetap menarik perhatian. Apalagi ada lambang elang di jaketnya sekalipun tidak terlalu jelas.

"Dia pasti geng motor kan? Ngapain dia disana? Gak mungkin buat sholat kan?" Seorang pemuda yang sudah rapi dengan Koko putih serta sarung kotak-kotak melihat ke arah Baim.

"Biarkan saja. Asalkan dia tidak mengganggu." Timpal temanya yang berjalan di sampingnya.

" Ah, kamu gak seru, Bar." Ucap Panji.

" Kalau mau seru ajak tuh Andin. Dia kan paling hobi ngegibahin orang. Kalian cocok"

"Haish, nih anak. Kalau sama Andin mah males."

"Aku juga males urusan sama kamu kalau cuma buat gibahin orang." Timpal Akbar masuk ke dalam tempat wudhu.

Panji pun mengikuti langkah temannya.

" Masuk, Im. Sholat berjamaah." Ajak Pak Ahmad salah seorang ustadz yang kenal dengan Baim karena pernah di tolong Baim saat motornya mogok.

Baim hanya cengengesan. "Kapan-kapan saja, Ustadz." Jawab Baim.

" Kenapa tidak sekarang saja?"

"Saya belum siap."

" Kalau di sholatin sudah siap?" Timpal Pak Ahmad.

Jlebb

"Apalagi itu, saya sangat tidak siap, Tadz." Jawab Baim. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Ustadz. Assalamu'alaikum." Baim memilih kabur.

"Wa'alaikumussalam." Pak Ahmad melihat ke arah Baim yang sudah tidak terlihat lagi karena berbaur dengan para pengendara yang lain.

Pak Ahmad pun melanjutkan langkahnya ke arah masjid.

Baim bukanlah orang yang tidak paham agama. Sang ibu selalu mengajarkannya nilai-nilai agama. Dari mulai sholat wajib sampai saum di bulan Ramadhan ia laksanakan.

Namun, kepergian sang ibu saat ia kelas tiga SMA merubah semuanya. Ia tetap harus kehilangan sang ibu karena sakit yang di deritanya. Padahal, saat itu ia selalu sholat malam untuk mendo'akan kesembuhan sang ibu di sepertiga malam. Salah satu waktu mustajab untuk berdoa.

Namun, alih-alih sembuh. Sang ibu malah meninggalkan dirinya untuk selamanya. Disaat itulah, Baim merasa kecewa. Ia sudah melaksanakan apa yang seorang muslim wajib laksanakan. Ia pun sudah berdo'a dan meminta hanya kepadaNya, namun tidak ada hasil sama sekali.

Allah seolah sedang mempermainkannya. Itulah yang ada di benak Baim pada saat itu. Ia lupa, Allah memberikan apa yang terbaik untuk umatnya. Bukan apa yang di inginkannya.

Namun, Baim tidak terpikir sampai kesana pada saat itu. Rasa kecewa sudah menutup hatinya. Ibu yang menjadi sandarannya, penguat hatinya, yang paling mengerti dirinya kini sudah tidak ada.

Ayahnya? Jangan tanyakan ia. Orang yang Baim panggil Papa itu hanya sibuk pada pekerjaannya. Ia memang pekerja keras dalam mencari nafkah untuk anak-anaknya. Namun, ia terlalu keras dalam mendidik. Baginya anak yang bisa di andalkan dan banggakan adalah anak yang pintar di bidang akademik seperti sang kakak. Bukan seperti dirinya yang biasa-biasa saja.

Bahkan orang pertama yang ayahnya salahkan atas kematian sang ibu adalah dirinya. Katanya, Baim hanya anak yang menambah beban pikiran bagi ibunya.

Penilaiannya pada Baim tidak berubah sedikitpun saat ia melihat nilai ujian kelulusan Baim yang cukup bagus. Padahal Baim dibantu sang ibu belajar dengan giat agar mendapatkan nilai yang bagus dan mendapatkan sedikit perhatian serta pujian dari sang ayah.

Namun, lagi-lagi ia harus kecewa. Sang ayah tidak peduli. Bahkan sekedar mengucapkan selamat atas nilai bagusnya saja tidak.

Orang bilang, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Tapi,ia benar kecewa. Karena, usahanya tidak menghasilkan apapun.

Disaat itulah, ia semakin terpuruk. Ia mulai berontak dan tidak mau lagi di atur hingga akhirnya sang ayah murka dan mengusirnya saat ia pulang dalam keadaan mabuk berat.

Baim menghapus air matanya. Ia tiba-tiba teringat pada masa-masa saat ibunya masih ada. Ibu yang tidak pernah membedakan ia dan mendukung apapun pilihannya.

"Mengapa bukan Papa saja yang pergi? Mengapa malah Mama?" lirihnya.

Pertanyaan yang selalu ia tanyakan berulang kali. Namun, tak pernah ia tahu jawabannya. Karena ia hanya menanyakan pada dirinya sendiri. Sementara baginya, sang Papa lah yang harusnya meninggalkan dunia ini. Karena ia tidak pernah bisa adil pada anak-anaknya.

Baim turun dari motornya. Ia masuk ke dalam sebuah gedung tua terbengkalai yang di jadikan markas oleh Bang Elang, ketua mereka.

" Akhirnya, kamu datang. Kamu baik-baik saja?" tanya seorang pria yang lebih tua dari Baim yang juga ketua geng motor tempat Baim bergabung sambil memindai Baim dari atas sampai bawah. Banyak luka lebam yang mulai nampak jelas.

" Seperti yang Abang lihat. Abang sendiri?" Baim balik bertanya.

"Berkat bantuan mu."

Berkat bantuan Baim, Bang Elang baik-baik saja. Ia mengumpankan dirinya dengan berpura-pura sebagai Bang Elang agar para anggota geng motor musuhnya mengejar dirinya. Dengan begitu, Bang Elang bisa menyelamatkan diri.

"Aku berhutang nyawa padamu." Baim hanya diam. "Aku akan membalas pengorbananmu. Mintalah apapun dan aku akan mengabulkannya." Ucap Bang Elang.

"Akan aku pikirkan." Jawab Baim.

"Ya, katakan saja kalau kamu sudah tahu apa yang akan kamu minta." Bang Elang menepuk bahu Baim.

"Baik."

Bang Elang meninggalkan Baim seorang diri. Markas itu memang masih sepi jika hari masih terang. Karena kebanyakan anggotanya yang masih sekolah dan kuliah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Baim kembali menuju ke tempat motornya berada. Ia melajukannya tanpa tahu akan kemana. Hingga ia berhenti di lampu merah.

"Gadis itu.." Baim tersenyum melihat ke arah seorang gadis yang telah menolongnya sedang berjalan dengan temannya.

"Sepertinya aku sudah tahu apa yang aku inginkan. Semoga Bang Elang mau mengabulkannya" Baim berharap.

TBC

... ----------------...

...Dukung terus ya, supaya Author nya tambah semangat upload.....

...Jangan lupa tinggalkan jejak like, komentar dan subscribe...

...Terima kasih atas dukungannya...

...🥰🥰🥰...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!