Patah hati.
Adalah kata paling tepat untuk menggambarkan perasaan Clea.
Gadis berparas cantik itu berharap Damian mampu menyelesaikan ini jika memang perlu. Namun seandainya kemungkinan terburuk benar-benar terjadi, jika pada akhirnya ia tetap harus menikah dengan Damian, ia tidak berpikir itu sebagai sesuatu yang buruk. Hanya saja perasaannya mungkin akan sangat merepotkan karena masih terbelenggu dalam masa lalu.
Damian mengusap dagu. "Bukankah kau yang sudah menyiapkan sebuah rencana?"
Clea tertegun sejenak, kemudian menggeleng. "Tidak, kau salah," sanggahnya. "Aku anak yang baik, penurut dan patuh. Aku tidak mungkin memikirkan sesuatu tentang membangkang orang tuaku." Kenyataan bahwa ia sangat patuh, benar adanya. Meski empat dari lima anak ayah dan ibu bisa di bilang patuh semua, yang paling patuh tetaplah dirinya.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan? Bukankah kau membenci perjodohan ini?"
"Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Kenapa kau mengambil pertanyaan ku?" Clea sedikit kesal. Sedari awal, sedari wacana tentang perjodohan itu di umumkan, Clea sama sekali tidak memiliki rencana untuk melawan. Maksudnya, meskipun ia tidak suka, ia masih akan menuruti keinginan orang tuanya.
Jadi satu-satunya harapan, Clea hanya bisa mengandalkan Damian. Tetapi jika Damian tidak bisa di andalkan, mau bagaimana lagi? Jika pada akhirnya mereka memang harus menikah, mereka bisa bercerai setelah beberapa tahun, bukan?
Bibir Damian melengkung secara alami. Gadis itu cukup menggemaskan saat wajahnya memerah karena marah. Rasanya seolah-olah Clea secara tidak sengaja menunjukkan sisi lain yang tidak ia harapkan.
Clea secara tidak sengaja memukul sisi lembut Damian juga. Membuatnya sedikit tertarik. Gadis seperti apa sebenarnya Clea ini? Kenapa ayah dan ibu bersikeras menjodohkan ia dengan gadis itu?
"Sekarang kau diam, kau membuatku semakin bingung." Clea mengeluh. Yang ia butuhkan adalah jawaban, bukan keheningan. Keheningan yang ada membuat kepalanya pusing, giginya sakit dan dadanya sesak.
"Kau hanya terlalu banyak berpikir, Nona." ujar Damian. "Jika aku seorang pembangkang perintah orang tua, aku sudah menolak perjodohan ini sejak awal." Kenyataannya Damian juga tidak berbeda jauh dengan Clea. Terlepas dari seberapa licik dan kejamnya ia, ia tetaplah anak yang berbakti dan penurut perkataan orang tua. Orang tuanya meminta ia menikah dengan gadis pilihan mereka, ia akan menikah tanpa ragu.
Clea diam sebentar. "Penurut orang tua, bukan berarti tidak punya rencana, kan?"
Damian menyentuh dagu. "Kau pikir aku punya rencana?"
"Iya, tentu," Clea menjawab cepat. "Aku yakin dua ribu persen kau punya rencana."
"Um.. karena kau ingin tahu, baiklah, biar ku beritahu sesuatu."
Clea memasang telinganya baik-baik, siap mendengarkan.
"Rencananya adalah bagaimana jika kau pura-pura hamil dengan kekasihmu? Kau bisa mengatakan pada mereka bahwa ayah bayi itu akan bertanggung jawab. Untuk sisanya, aku yang akan mengurusnya. Bagaimana?"
"Apa? Apa kau gila? Pura-pura hamil? Aku bahkan tidak punya pacar. Dan orang tuaku juga tahu itu. Dimana aku bisa mendapatkan pacar yang bisa menghamiliku?" Clea meraung. Ide gila macam apa itu? Segila-gilanya ia, bahkan jika otaknya tertinggal di rahim ibunya saat ia dilahirkan, ia tidak mungkin merencanakan hal bodoh seperti itu.
"Jika tidak setuju, maka jangan pakai rencana itu. Aku hanya menyarankan." Dan itu adalah ide awalnya. Ia pikir Clea gadis yang mudah di manipulasi dengan iming-iming uang. Ia berencana akan membayar Clea dengan harga yang pantas. Tapi sekarang ia menyadari jika gadis di depannya ini mungkin tidak membutuhkan uang lagi, jadi ia tidak mungkin merealisasikan rencana itu lagi.
"Daripada aku, bukankah lebih baik kau yang melakukan rencana itu? Bagaimana jika kau membawa ibu hamil dan bilang itu anakmu? Daripada aku, aku yakin mereka akan lebih percaya padamu."
"Aku tidak akan melakukannya."
Clea mengerutkan kening. "Kenapa tidak? Itu hanya pura-pura."
Damian menyilangkan tangan. "Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang bisa mencoreng nama baikku."
Dahi Clea berkerut. "Kalau kau sangat memikirkan nama baikmu, lalu kenapa kau menyarankan ide gila itu padaku? Apa kau.." Clea berhenti sejenak. "Gila?" lanjutnya dengan nada sedikit lebih rendah.
Tepat ketika Damian hendak mengatakan sesuatu, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia menatap Clea dengan meminta maaf sebelum mengangkatnya untuk menjawab panggilan.
Telepon itu dari ibu, yang menanyakan apakah ia datang tepat waktu untuk janji temu atau tidak.
Ketika Damian mendengar nada cemas ibunya, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengerutkan kening. Ia mendengarkan ibunya menggerutu beberapa saat sebelum ia menjawab dengan lelah dan acuh tak acuh, “Aku sudah bertemu dengannya. Kita akan bicara lagi nanti." Damian diam-diam menutup telepon dan kemudian menatap orang di seberangnya.
Damian memperhatikan Clea saat matanya yang apatis menatap langit gelap di luar jendela. Angin sejuk bertiup dari jendela, rasa dingin tiba-tiba menyerang keheningan mereka. Clea tidak bisa menahan diri untuk tidak menggigil sedikit dan tanpa sadar ia menggenggam tangannya sendiri.
"Jika kau kedinginan, kita bisa meminta seseorang untuk menutup jendelanya," ujar Damian. Pemandangan langit malam, tidak ada yang menarik tentang itu. Dan entah karena alasan apa, jendela itu terbuka. Karena ia yang tidak merasa terganggu, ia membiarkannya begitu saja. Ia tidak pernah berpikir jika Clea mungkin kedinginan.
"Ah, tidak-tidak, tidak perlu." Clea menolaknya dengan cepat. Ia suka pemandangan malam. Langit malam yang penuh bintang. Itu pemandangan yang menyenangkan. Hanya saja, hari-harinya yang kelewat suram, membuatnya jarang melihat keindahan itu.
"Apakah kau tidak kedinginan?"
"Tidak sama sekali."
Damian mengangguk kecil. "Baiklah jika itu yang kau inginkan." Damian mengalah pada akhirnya. "Lalu, apa yang membuatmu tertarik untuk memandang mereka?"
Clea mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin karena mereka sangat indah." Setidaknya bagi Clea seperti itu. Menikmati malam dengan duduk dan melihat langit adalah caranya untuk bersyukur dengan semua yang ada, dengan semua yang ia punya.
Clea bukan orang yang religius namun ia percaya dengan Tuhan. Ia percaya Tuhan pemilik alam semesta. Ia percaya Tuhan yang menciptakan dan menguasai kehidupan.
"Benarkah?" Damian melihat ke luar jendela dan melihat apa yang tadi Clea lihat. Damian tiba-tiba ingat salah seorang astronom Jerman. Pada tahun 1945 menggagas dasar teori-teori modern mengenai asal mula tata surya. Dia membayangkan bahwa planet terbentuk dari kumpulan partikel-partikel debu yang berasal dari sebuah cakram yang terdiri dari materi yang mengelilingi Matahari saat masih muda. Teori ini merupakan perubahan dari teori sebelumnya yang digagas oleh Kant dan Laplace.
Clea mengangguk perlahan.
Tatapan Damian beralih, menatap Clea. "Mari kita lanjutkan perbincangan tentang perjodohan kita."
"Apa lagi yang bisa di bicarakan? Bukankah sudah jelas kita akan menikah cepat atau lambat?" Jika tidak ada solusi, bukankah akhirnya sudah terbaca? Mereka akan menikah. Mau tidak tahu, suka tidak suka, mereka akan menjadi suami istri. Jadi apalagi yang bisa dibahas di antara mereka?
"Sebagai Dokter, sifat pesimistis bukankah tidak dibenarkan?"
Clea terkejut. "Kau tahu?" Ia bertanya dengan penasaran. Namun saat ingat bahwa Damian mungkin menyelidiki tentang dirinya, rasa penasaran segera lenyap dari pikirannya. "Ah, aku tidak pesimis, aku hanya mengatakan kemungkinan terburuk."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Runa💖💓
asyik ceritanya kaka👍👍👍
2023-06-19
0