Menjadi Guru Lagi

Krik... Krik....

Sayup-sayup terdengar suara jangkrik, udara terasa dingin menyegarkan. Bulan menyinari gemerlap malam, bintang-bintang bertaburan dengan kerlap-kerlipnya, sungguh indahnya malam ini.

Amavista menengadahkan kepalanya ke langit. Tak terasa mata yang sedari tadi memanas menahan tangis, akhirnya air mata itu mengalir di pipi lembutnya.

Mengingat kejadian ketika dikeluarkan oleh sekolah Amanah dengan cara tidak baik dan di-ghosting perusahaan yang dicita-citakan sejak kecil. Trauma dari kegagalan dalam karir hidupnya membuat Amavista frustasi.

Di balik rasa trauma dengan kegagalan ini, Amavista ingin memiliki rumah 150 juta rupiah.

''Bagaimana aku bisa membeli rumah itu, jika tidak ada penghasilan?'' Batin Amavista. ''Aku harus percaya dengan diriku sendiri, aku mampu melewati masa sulit ini.'' Tambah Amavista

.

***

Makan malam adalah waktu yang berharga di mana momen makan bersama dengan Ayah, Ibu dan Amavista.

Seperti biasa Ibu yang memasak, Amavista yang menata alat makan, dan Ayah menuangkan air minum ke gelas masing-masing.

Seusai makan, Ayah memberi tau bahwa ada lowongan guru baru di dekat rumah.

''Nak, tadi pagi ayah ditawarin lowongan kerja di sekolah dasar. Lagi butuh cepat tenaga pendidikan, jam kerjanya part time pukul 12 siang sudah pulang. Apakah kamu minat?'' Ujar Ayah.

Amavista sangat tertarik dengan tawaran Sang Ayah. ''Mau dong Ayah, kebetulan aku sampai saat ini masih nganggur belum punya penghasilan.'' Sambil memelas.

Sang Ayah ingin memastikan keyakinan atas pilihan anaknya, ''Tapi untuk gaji memang tidak sebesar tempat kerjamu sebelumnya, bagaimana? Kamu bersedia tidak? Jika kamu minat, ayah akan menghubungi pihak yayasan.'' Tanya Sang Ayah lagi.

''Iyaa ayah aku siap kerja di sekolah itu.'' Jawab Amavista meyakinkan Sang Ayah.

Amavista tidak mau meninggalkan kesempatan emas ini. Mengingat rumah seharga 150 juta rupiah ingin segera Ia miliki, Amavista pun langsung mengiyakan tawaran Sang Ayah.

***

Keesokan harinya, Amavista dan Sang Ayah pergi ke sekolah untuk bertemu dengan pihak yayasan yang sebelumnya sudah memiliki kesepakatan untuk bertemu.

''Nak, ayo!'' Ajak Sang Ayah.

''Okee, Ayah. Aku sebentar lagi selesai.'' Teriak Amavista di balik pintu garasi motor.

Amavista sedang merias wajah untuk mempercantik diri sebelum pergi ke sekolah. Gerakan tangan dengan cepat mengambil map di atas meja coklat yang sudah disiapkan dari kemarin malam.

Menyusul Sang Ayah di garasi motor, Amavista tidak melihat batang hidung Sang Ayah.

''Ayaahh, Ayah di mana kamu?'' Memanggil ayahnya sambil mencari.

''Iyaa, Nak.'' Sahut Sang Ayah.

Sang Ayah sudah ada di luar rumah, motor merah Beat siap untuk dikendarai. Amavista dibonceng oleh Sang Ayah dengan motor Beat itu.

***

Terlihat suasana cerah di mengitari perjalanan kami, pagi-pagi buta kami sudah ke luar rumah. Jarak rumah dengan sekolah memakan waktu lumayan.

Tidak pelan dan juga tidak kencang, kendaraan ini melaju dengan kecepatan rata-rata 20-40 km/jam.

Sepanjang jalan, pepohonan tinggi nan rindang membuat nuansa sejuk sangat terlihat indah. Amavista memandangi, menengok ke kanan dan menengok ke kiri.

Saking menikmati pemandangan alam, tidak terasa Amavista dan Sang Ayah sudah tiba di tempat tujuan.

Tiba di pintu utama masuk sekolah, Sang Ayah memarkir motor Beat merah di depan pintu. Sedari tadi ditunggu oleh seseorang di sekolah itu, Ia menyambut baik kedatangan Amavista dan Sang Ayah.

''Benarkah ini dengan namanya Amavista?'' Sapa orang itu.

''Benar, saya Amavista.'' Jawab Amavista.

''Oh ya, perkenalkan ini Ayah saya.'' Lanjut Amavista memperkenalkan Sang Ayah.

''Perkenalkan saya, Raisa. Saya akan menuntut kalian untuk menuju rumah pemilik yayasan sekolah ini.'' Ungkap Raisa memperjelas identitasnya.

Raisa adalah assisten pribadi pemilik yayasan yang mendapat tugas untuk menjemput Amavista dari pintu utama sekolah dan mengantarkan mereka ke rumah pemilik yayasan sekolah itu.

Mereka berjalan kaki bersama-sama dengan satu dan lainnya. Menikmati suasana sekolah yang penuh dengan keindahan.

Perjalanan ini mengantarkan mereka ke sebuah rumah. Suasana asri dan sejuk membuat orang yang melihat rumah itu terpesona.

Sesampai di rumah tersebut, Amavista dan Sang Ayah menghampiri pintu depan rumah. Diketuknya pintu itu oleh Ayah.

Tok... Tok....

Keluarlah dari rumah tersebut, laki-laki berbadan tinggi sekitar 170 CM, wajahnya yang bersih, di dagunya dihiasi rambut pendek.

Sambil membuka pintu dengan senyuman yang tulus.

''Oh Pak Mirwan, silahkan masuk.'' Ajakan seorang lelaki mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah.

Lelaki itu menduduki sofa coklat setelah membuka pintu. ''Silahkan duduk Pak Mirwan.'' Seru lelaki itu.

Mata Amavista melirik ke area ruangan tempat di mana Ia duduk. Bunyi kipas angin yang memutar di atas langit-langit rumah mendinginkan ruangan.

Setiap dindingnya dihiasi motif ornament dan lukisan bangunan Timur Tengah, menjadi ciri khas rumah milik lelaki tersebut.

''Anu Pak Yayasan, ini anak saya. Dua hari lalu yang sudah pernah kita bicarakan sebelumnya.'' Kata Ayah untuk memulai pembicaraan serius.

''Bolehkah saya melihat Curiculum Vitae anak Pak Mirwan?'' Pinta lelaki itu.

Amavista memberikan map yang berisikan berkas lamaran kerja. ''Ini Pak,''

Lelaki itu memulai membuka isi map, melihat dari lembar satu ke lembar berikutnya.

''Oke Pak, siap. Saya sudah sreg dengan anak bapak. Tolong, nanti bapak bertemu dengan kepala sekolah untuk tahap selanjutnya yaa.'' Ujar seorang lelaki tersebut.

Setelah bertemu dengan lelaki itu, mereka disuruh bertemu dengan kepala sekolahnya. Amavista baru menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan pemilik yayasan sekolah itu. Sosok yang sederhana dan rendah hati menutupi identitas pemilik yayasan.

Tahap selanjutnya mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Jarak rumah pemilik yayasan dengan kantor kepala sekolah hanya 5 menit. Saat sampai di depan kantor kepala sekolah, sosok yang kami berdua cari sedang tidak ada di sekolah.

Ayah Amavista inisiatif meminta nomer kepala sekolah kepada guru sekitar, setelah berhasil meminta nomor tersebut, Sang Ayah segera menelpon kepala sekolah tersebut.

Errdhhh ... erdhhh ....

Panggilan berdering keluar tanda memanggil dari whatsapp nomor kepala sekolah, akhirnya diterima.

''Hallo, Bu saya Mirwan. Saya disuruh Bapak Yayasan, Saya dan anak saya untuk menghadap ibu. Saat ini posisi kami sudah di depan pintu kantor kepala sekolah. '' Kata Ayah menjelaskan maksud daripada menghubungi Ibu Kepala Sekolah.

''Ouhh iya Pak, saya saat ini ada di luar sekolah. Bapak Yayasan barusan juga sudah menelpon saya. Begini pak, saya sudah tau maksud bapak bertemu dengan saya. Anak bapak akhir bulan sudah boleh mengajar di sekolah kami.'' Kata Ibu Kepala Sekolah.

Mata berbinar sekilas tampak ceria mendadak menghilangkan wajah tegang itu, ''Terima kasih banyak Bu. Sudah mau menerima anak saya untuk bekerja di sini.'' Ungkap Ayah dengan terharu.

''Iyaa pak, sama-sama. Semoga betah ya, anak Pak Mirwan.'' Balas Ibu Kepala Sekolah dengan harapan Kanziya betah selama bergabung dengan sekolah yang dipimpinnya.

''Iya bu, Aminn.'' Ujar Ayah sambil mengaminkan harapan Ibu Kepala Sekolah.

Sangat berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa dalam waktu satu hari pemilik yayasan dan kepala sekolah membuka hati untuk menerima Amavista.

Mereka tertarik dengan Amavista karena pengalaman dan prestasi yang dicantumkan di lembar Curiculum Vitae.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!