"Gue dimana?" tanya Devan setelah beberapa jam ia tidak sadarkan diri. Hal terakhir yang dia ingat adalah dia pergi ke perpustakaan bersama Arjun, tapi temannya itu kembali ke kelas, dan juga seorang siswa berhijab panjang.
Devan melihat ke sekeliling. Matanya hanya menangkap seorang laki-laki berbaju putih dengan teleskop tergantung di lehernya.
“Kamu ada di rumah sakit," jawab dokter yang sudah kenal lama dengannya.
“Dokter Arif?" tanya Devan masih tak percaya.
Pria itu tersenyum padanya. “Devan, kamu harus banyak istirahat. Kondisi kamu belum pulih untuk ikut kegiatan-kegiatan yang akan mempengaruhi kesehatanmu. Kamu tahu itu kan?"
Devan tak menjawab. Ia memilih untuk mengalihkan pandangan agar tidak bertatapan langsung dengan dokter yang sudah seperti ayahnya itu.
“Ya sudah sekarang kamu istirahat, ya. Saya permisi dulu," kata pria itu tersenyum ramah sebelum pergi.
Setelah bayangan dokter Arif menghilang, Devan menghela napasnya berat. Matanya kembali menyapu ruangan serba putih itu. Sungguh dia sangat membenci tempat ini.
“Arghhh! Ini tangan gue kenapa dililit kayak gini lagi sih?!" omelnya ingin mencabut infus di tangannya dan berusaha bangun agar bisa keluar dari ruangan itu.
Saat akan beranjak, gerakannya terhenti tatkala melihat seseorang wanita masuk ke ruangannya.
“Kamu mau kemana?" tanya seorang wanita yang baru masuk. Ia langsung berlari ke arah Devan yang berusaha melepas infus di tangannya.
Devan tak menghiraukan apa yang diucapkan wanita tadi dan tetap berusaha melepas lilitan di tangannya yang sangat tidak ia sukai. Wanita itu segera memegang lengan Devan, mencoba menghentikan keinginannya untuk mencabut infus tersebut
“Kamu mau kemana?" tanya wanita itu lagi. Kini, dengan nada yang sedikit meninggi.
Devan menoleh ke arah wanita itu. "Gue mau pulang. Ngapain sih lo kesini?” balasnya dengan tatapan menajam, menunjukkan rasa tidak sukanya.
Wanita tadi masih memegang tangan dengan Devan kuat dan menghentikan keinginannya untuk keluar dari rumah ruangan ini.
“Devan, kamu masih sakit. Kamu nggak boleh kemana-mana sebelum keadaanmu pulih total," ucapnya memperingatkan.
“Apa pedulinya lo sama gue? Urusin saja kantormu yang mewah itu, dan nggak usah urusin gue!" bentak Devan.
Mendengar itu, wanita yang memakai jilbab pashmina itu mengeluarkan napasnya panjang. “Devan, kakak peduli sama kamu. Kakak nggak mau kamu kenapa-kenapa."
Devan tersenyum sinis mendengar ucapan wanita yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. "Sejak kapan kakak kayak lo peduli sama adiknya? Kakak mana yang tega misahin anak dari mamanya?"
“Kakak punya alasan melakukan hal itu Van."
“Alasan apa? Hah? Sekarang gue mau tanya alasannya apa? JAWAB!" Suara Devan sedikit meninggi.
Belum sempat membuka suara, mata wanita itu sudah basah dengan air matanya.
“Arrggh!" Devan mengerang seraya memegang kepalanya yang terasa sangat sakit.
Wanita itu mengusap air matanya, dan segera memegang tubuh laki-laki yang sangat disayanginya. “Devan Devan, kakak mohon. Tolong dengerin kakak kali ini saja, please. Kakak nggak mau kamu kenapa-kenapa," pintanya dengan penuh permohonan.
Devan mengalah. Ia kembali membaringkan tubuhnya lemas. Wanita itu segera duduk di sebelah brankar Devan dan memegang tangan adik kesayangannya.
“Devan, kakak tahu kamu marah sama kakak. Tapi apa yang kakak lakukan itu untuk kebaikan kita bersama."
Devan membuang muka, seakan tak ingin mendengar apapun dari wanita yang ada di dekatnya.
“Kakak sayang sama kamu, Van. Kamu adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kakak punya. Jadi kakak mohon, kamu mau mendengarkan kakak kali ini."
“Oke, gue bakal dengerin lo kali ini. Tapi lo harus janji bakal ngasih tahu gue alasan lo ngelakuin semua itu, jawabnya kali ini dengan tatapan sendu.
Wanita itu menghela napas lega. Setidaknya dengan cara ini keadaan Devan akan sedikit membaik.
“Ya, kakak janji."
“Tapi gue nggak mau dirawat di tempat ini, gue mau pulang. Pintanya lagi."
“Oke, kita akan pulang. Tapi kamu janji bakal dengerin apa kata dokter, terutama minum obat dengan teratur."
“Hm," jawabnya singkat.
Setelah mengurus biaya administrasi dan mendapat persetujuan dari dokter Arif yang akan merawat Devan di rumahnya, wanita yang bernama lengkap Jihanna Amelia Zufa itu segera membawa adiknya pulang.
Selama keluar dari rumah sakit sampai ke parkiran, ia tidak pernah melepaskan pegangan tangannya. Jihan memegang lengan adiknya dengan kuat agar tubuh Devan tidak jatuh, karena kondisinya masih sangat lemas.
Begitu sampai parkiran, ia langsung melajukan mobilnya agar sang adik bisa segera istirahat.
Sepanjang jalan, keduanya hanya diam tanpa ada niat untuk memulai obrolan. Dari kaca mobil, Jihan sempat melirik adiknya sekilas.
Dalam sorotan mata itu, terlihat bongkahan luka masa lalu masih segar menganga di matanya yang sayu.
Jihan menarik napas panjang. Beragam pikiran mulai bergelayut di otaknya. Dia tak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaan sebenarnya. Jihan khawatir kalau Devan tahu cerita sebenarnya, akan membuat kondisi Devan semakin memburuk.
Ya Allah, sembuhkanlah dia, bisiknya dalam hati tatkala melihat tubuh sang adik yang sudah tertidur dengan wajah yang pucat pasi .
......
“Assalamualaikum. Hanifa pulang," ucapnya ketika baru masuk rumah.
“Waalaikum salam," jawab seorang wanita paruh baya tapi masih nampak muda yang keluar dengan membawa beberapa tumpuk pakaian.
“Kenapa wajahmu seperti itu, Nak?" tanya sang ummi.
Hanifa tersadar. Kenapa dia masih memikirkan keadaan laki-laki itu? Sampai wajahnya berubah di depan Umminya.
“Hanifa nggak apa-apa kok, Ummi. Cuman sedikit kecapean soalnya tadi ada latihan buat acara sekolah nanti," jawabnya sedikit berbohong.
Astagfirullah, ya Allah maafin Hanifa karena sudah bohong sama ummi. Batinnya.
Sebenarnya Hanifa tidak murni berbohong, dia benar-benar lelah mengikuti latihan untuk acara sekolah yang akan digelar sebentar lagi.
Ummi Fatimah tersenyum menanggapinya. "Ya sudah kalau begitu, sekarang Ifa istirahat, ya."
“Iya Umm," angguknya cepat dan langsung masuk ke kamarnya.
Setelah meletakkan tasnya, Hanifa membuka pelajaran yang tadi diterimanya di sekolah. Hal itu sudah ia biasakan sejak duduk di bangku SD. Hanifa meyakini bahwa jika ilmu yang sudah diterima di sekolah, kalau tidak diulangi maka semuanya akan hilang.
Hanifa ingat kata ummi, "Ilmu itu seperti kekasih. Kalau tidak diperhatikan, maka dia akan pergi. Kalau sering diperhatikan, maka dia akan tetap bersama kita. Ilmu itu akan semakin melekat kuat kalau kita sering mengulang membacanya, Nak."
Namun, entah kenapa kali ini nasehat tersebut seakan tak berperan. Matanya memang menatap buku, tapi hatinya menerawang entah kemana. Rupanya bayang-bayang tentang kondisi Devan tadi masih berkeliaran di otaknya.
“Ya Allah, aku kenapa masih mikirin dia?" gumamnya sambil menggelengkan kepalanya sebentar. Mencoba menghilangkan semua yang mengacaukan pikirannya.
“Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja. Toh juga sudah ada wanita yang menjaganya," ucapnya lagi pada dirinya sendiri.
Untuk menghilangkan segala kegundahannya, Hanifa memutuskan untuk mengambil air wudhu. Setelah berwudhu dia yakin kalau hatinya akan kembali tenang.
“Assalamualaikum, Hanifa!" Panggil Ayyan dari depan pintu.
Mendengar ucapan salam dari luar, ummi Fatimah yang kebetulan sedang membuat kue di dapur langsung membuka pintu. “Waalaikumussalam. Ayyan?"
Ayyan tersenyum dan langsung mencium punggung tangan ummi Fatimah.
“Hanifanya ada, Umm?"
“Ada kok. Dia ada di kamarnya."
“Ayyan boleh masuk nggak, Umm?"
“Boleh, dong. Ayyan, kan, sahabatnya Hanifa sejak kecil. Ya sudah cari saja gih ke kamarnya," titah ummi Fatimah.
Ayyan mengangguk bersemangat. “Terima kasih Ummi."
Setelah diberi izin masuk, Ayyan langsung melaju cepat ke kamar sahabatnya. Sesampainya di sana, ia tidak melihat seorang pun disana. Sembari menunggu, Ayyan merebahkan tubuhnya di kasur kecil dengan sprei Doraemon. Betapa terkejutnya Hanifa yang baru keluar dari kamar mandi melihat sahabatnya itu tiba-tiba ada di kamarnya.
“Ayyan? Kamu kok tiba-tiba disini? ngapain?"
Ayyan terbangun dari rebahannya. “Ya ampun, Fa. Hari ini kan kita ada latihan. Masa kamu lupa sih?"
Hanifa menepuk jidatnya. "Ya Allah. Aku baru inget Ayy, bentar ya aku mau siap-siap dulu."
“Cepetan, ya."
“Oke!"
Tak butuh lama bagi seorang Hanifa untuk bersiap-siap, karena memang Hanifa adalah tipikal gadis yang sederhana dalam segala hal, terutama dalam hal penampilan. Meskipun demikian, dia tetap terlihat anggun bagi siapa yang melihatnya.
“Sudah. Ayo berangkat!"
Ayyan mengucek matanya. Ditatapnya sahabat yang sudah berdiri dengan senyum mengembang di bibir tipisnya dari kepala sampai kaki. Pakaiannya sungguh sederhana, baju olahraga lengkap dengan warna balutan hijab panjang senada dengan warna pakaiannya.
“Ayo Ayy! Ntar kita dihukum karena telat," katanya langsung menarik tangan Ayyan dan bergerak cepat.
“Iya iya. Yang lama siapa, yang ngomel siapa. Dasar Hanifa aneh," gerutu Ayyan.
Mereka berdua segera pergi ke sekolah dengan sepeda setelah berpamitan pada Ummi Fatimah. Sesampainya di sekolah, mereka langsung berbaris karena kegiatan latihan sudah akan dimulai. Setelah upacara pembukaan selesai, semua anggota baik PMI maupun Pramuka yang hadir dalam kegiatan latihan itu segera kembali ke tempat latihan masing-masing.
Anggota PMI melakukan latihan di lapangan olahraga, sedangkan anggota Pramuka di lapangan utama. Sebelum ikut bergabung dengan anggota yang lain, Hanifa ditugaskan untuk mengambil alat di koperasi. Namun langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Devan.
Nampaknya Devan juga akan mengambil alat latihan, tenda, tandu dan sebagainya. Sama dengan dirinya. Mata mereka sempat bertemu saat tubuh Devan tepat berada di samping Hanifa.
Entah mengapa Hanifa melihat ada banyak luka dari sinar matanya yang sekilas dia lihat tadi. Meskipun tatapan Devan tadi setajam silet, namun Hanifa yakin hati Devan saat ini serapuh kayu keropos.
Hanifa membalikkan tubuhnya sebentar saat bayangan Devan menghilang di telan lorong kelas.
“Apa dia sudah benar-benar sembuh?" Hanifa berpikir sebentar.
“Apa aku langsung tanya ke orangnya saja ya?" pikirnya lagi. Cukup lama berpikir, ia akhirnya mengambil sebuah keputusan.
"Devan!"
Akhirnya Hanifa benar-benar memanggilnya.
Mendengar ada yang memanggilnya, Devan langsung berbalik. "Lo panggil Gue?"
Hanifa mengangguk. Sebenarnya dia merutuki dirinya sendiri karena tidak mengikuti hatinya.
"Emang lo kenal sama Gue?"
"Kamu Devan, kan?" Hanifa bertanya balik.
"Nggak nanya," ketusnya.
Astagfirullah, sabar Hanifa.
"Ada apa lo panggil gue? Lo mau minta ganti rugi?"
Hanifa lantas menggeleng. Sebenarnya bukan itu tujuannya memanggil laki-laki itu. Masalah kemarin sudah dia lupakan.
"Bukan. Bukan itu."
"Terus apa?"
Baru akan mengatakan sesuatu, panggilan dari orang lain membuat kalimatnya terhenti. Hanifa melihat ke belakang, mencari siapa yang memanggilnya. Ketika akan berbalik lagi, laki-laki yang baru saja ada di depannya sudah menghilang.
"Sudahlah. Tak penting juga aku menanyakan keadaannya," ucapnya kemudian meninggalkan tempat itu.
"Kenapa lo peduli sama gue? Gue udah salah sama lo," kata seorang laki-laki yang berada di balik dinding.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments