"Bi, cepetan! Dah telat nih!" teriak Devan di depan pintu.
"Bentar atuh Aden," balas seseorang yang kini tengah berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Mungkin karena berat badannya yang belum kunjung turun, makanya ia terlihat sedikit kelelahan padahal jaraknya hanya beberapa meter.
"Ini obatnya." Wanita paruh baya yang baru keluar dari dapur itu menyerahkan sebuah tas plastik pada laki-laki di depannya.
"Ya udah, aku berangkat dulu Bi. Assalamualaikum," ucapnya sebelum memakai helm.
"Waalaikumsalam. Hati-hati Aden, jangan ngebut! Nanti nabrak orang.”
Dengan jadwal masuk yang tinggal beberapa menit lagi, membuat Devan tak mengindahkan nasehat wanita tadi. Dia terus saja melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Akibatnya, motor ninja hitam miliknya berhasil menyerempet lengan seseorang.
"Astaga. Malah pakai kena lengan orang lagi ni motor, ah!" Ia mengomeli dirinya sendiri. Tak lama setelah itu, ia pun segera turun dari motornya tanpa membuka helm terlebih dahulu.
"Mbak gak papa, kan?" tanya Devan membantu korbannya memungut beberapa plastik yang berserakan karenanya.
Gue jamin nih orang pasti minta ganti rugi. Gumam Devan dalam hatinya.
"Saya nggak apa-apa kok. Lain kali, kalau bawa motor liat jalan, Mas," timpal gadis berjilbab panjang itu.
"Lagian, Mbak juga kalau jalan itu pakai kaki, jangan pakai mata," balas Devan tanpa tahu susunan kata yang baru saja ia ucapkan.
Aduh, gue ngomong apaan sih? Tau ah, gue udah telat banget. Ia bermonolog dalam hati.
Setelah mengumpulkan plastik yang berserakan tadi, Devan langsung menyerahkannya kepada pemiliknya. Tanpa babibu lagi, Devan segera menaiiki motornya kembali dan meninggalkan gadis yang baru saja menjadi korban kecerobohannya pagi ini.
Ia membutuhkan waktu lima belas menit untuk bisa sampai sekolahnya. Begitu motor kesayangannya sudah terparkir rapi, ia langsung berlari ke lapangan.
"Syukurlah pelajaran olahraganya belum mulai," gumam Devan dengan napas yang masih terengah-ngah.
"Terlambat lagi lo?" tanya seseorang yang menepuk pundaknya.
Ia menoleh dan menaikkan kedua alisnya. "Hampir," jawabnya.
"Ya udah. Langsung ke lapangan yok!" ajak laki-laki seusianya itu.
"Oke."
***
Setengah jam berkutat di lapangan, akhirnya semua siswa dibolehkan istirahat dan mengganti pakaian. Arjun dan Devan memilih kantin sebagai tempat istirahatnya, setelah berpindah dari tempat ganti baju.
"Bi, air minumnya dua ya," pesan Arjun kepada si penjaga kantin. Tapi yang datang malah seorang wanita muda yang baru pertama kali mereka melihat wanita itu.
"Ini, Mas," kata wanita itu menyerahkan dua botol air mineral. "Masya Allah."
"Kenapa Mbak?" tanya Arjun heran melihat perubahan ekspresi di wajah wanita tadi.
Wanita yang lebih tua dua tahun dari mereka tidak menjawab. Mulutnya masih menganga sembari memegang pipinya.
"Van, itu si mbak-mbak kenapa?" Sosok yang di tanya hanya menaikkan bahunya.
"Hellow. Mbak?" Arjun mengibaskan tangannya di depan wajah wanita itu.
"Astaga, maafkan saya. Saya sering salfok kalau liat mas-mas cakep. Hehe," balas wanita itu cengengesan. Hal itu membuat Arjun dan teman di sampingnya geleng-geleng kepala.
"Ya Allah mbak, kirain kesurupan tadi."
Wanita itu tersenyum, kemudian beralih pandangan ke arah Devan. "Mas Devan baru selesai olahraga ya?" tanyanya tiba-tiba.
Mendengar namanya disebut, Devan terkejut. "Mbak tau nama saya?"
Wanita itu tersenyum semakin lebar. Ralat. Nyaris tertawa. "Ya tau lah Mas. Itu namanya jelas banget di nametag-nya."
Devan hanya tersenyum kikuk. "Oh, iya. Iya. Saya lupa.”
"Aduh Mas Devan ini, ganteng-ganteng kok pelupa sih?" ucapnya wanita itu menyodorkan tangannya.
"Kenalin Mas Devan. Nama saya Siti Zubaedah. Panggil saja Zu, atau neng Zu atau apalah terserah. Panggil istri juga boleh kok," lanjutnya tertawa kecil.
Arjun dan Devan yang sempat kaget dengan tangan wanita itu yang terulur, kompak menaikkan alisnya.
"I-iya Mbak, salam kenal," jawab Arjun mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Maaf Mbak, sebelum halal laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan saling bersentuhan." Arjun mengingatkan.
"Oh, maaf," tutur wanita itu segera menarik kembali tangannya. "Btw, saya baru berumur 20 tahun lho Mas Devan. Alamat rumah saya di jalan Mekarsari no.03, RT 01, RW 02, kampong Kembang Dua. Pagar rumah warna coklat, dan pintu warna biru."
Arjun yang mendengar hal itu hanya menaikkan alisnya. Ni mbak-mbak udah kayak warga mau nerima bansos aja. Gumamnya.
“Bulan depan saya mau ujian masuk kursus memasak, bulan depannya lagi saya rencananya mau ngelamar jadi istrinya mas Devan. Boleh ndak?"
Devan yang masih bingung hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jujur, saat ini ia tidak tahu mau berkata apa.
"Astaga mas Devan ini gemesh banget, ya. Nggak usah seperti itu wajahnya Mas. Saya cuma bercanda."
"Oh, saya kira Mbak serius tadi."
"Inginnya seperti itu juga Mas Devan." Ujarnya lagi.
Hal itu membuat Devan sedikit tak nyaman. Untung saja, Bi Iyah sang penjaga kantin segera datang menyelamatkannya.
"Zubedah, di sini kamu rupanya?! Sana gantiin jagain kantin. Emak mau keluar membeli beberapa keperluan sebentar."
Wanita itu langsung mengangguk mendengar ucapan ibunya.
"Ni anak, bukannya bantuin emak malah sibuk gombalin orang. Haduh, piye iki?" omel Bi Iyah lagi.
Wanita itu hanya mendengus. "Iya, Mak."
Setelah Bi Iyah pergi, wanita yang bernama Zubedah itu masih berdiri di depan meja laki-laki yang baru saja masuk daftar idolanya. Setelah minuman mereka habis, barulah wanita itu beranjak dari tempatnya.
"Eh, Mas Devan mau ke kelas to?"
Devan mengangguk dan sedikit tersenyum. "Iya, Mbak Zu. Sebentar lagi bel masuk.
"Subhanallah ... Udah ganteng, soleh, disiplin lagi." Zubaedah berdecak kagum. Sebelum dua remaja tadi benar-benar pergi, ia kembali memanggil salah satu dari mereka sampai gerakan mereka terhenti akibat panggilannya.
"Mas Devan, Zu punya teka teki buat Mas Devan."
"Teka teki apa Mbak?"
"Micin, micin apa yang banyak saingannya?"
Devan menggeleng, menandakan dia tak tau jawabannya.
"Micintai kamu. Eaaaa ..." kata wanita itu tertawa kecil.
Arjun yang mendengar hal itu ingin sekali tertawa ngakak. Buset dah, gue jamin abis ini si Devan bakal diare seminggu, haha. Arjun memilih tertawa dalam hati saja.
"Zubedaah!" panggil Bi Iyah dari luar.
"Iya, iya, Mak! Mas Devan, Zu pamit dulu ya."
Devan langsung mengangguk tanpa ekspresi. Kemudian segera berjalan meninggalkan kantin.
"Keren dah lo Van. Jadi incaran mbak-mbak. Hahaha ...," ledek Ajun tertawa terpingkal-pingkal.
"Heh, lucu ya?" kata Devan kesal.
Entah kesialan apa lagi yang akan dialaminya hari ini. Setelah menabrak orang, kini dia harus berhadapan sama mbak-mbak kantin. Semua itu membuat kepalanya terasa sakit.
Tunggu. Itu cewek bukannya yang tadi ya? Batin Devan langsung menghentikan langkah setelah melihat seseorang. Arjun yang masih tertawa pun langsung menabrak punggung Devan yang berhenti tiba-tiba. Tawanya terhenti saat itu juga.
Bruk!
"Aduh!" Arjun mengusap jidatnya. "Liat apa sih sampai berhenti mendadak?"
Devan tak menjawab, matanya masih fokus memperhatikan siswa yang sedang berjalan bersama seorang temannya.
"Lo lagi liat si ketua Rohis ya?" tanya Arjun yang melihat ke objek yang sama.
"Ketua Rohis?"
"Lo pasti heran, kan, kenapa tu cewek bisa jadi ketua rohis?" Tanya Arjun dan langsung mendapat anggukan dari sohibnya. "Tuh cewek ditunjuk langsung sama kepala Sekolah."
Devan cukup kaget mendengar jawaban Arjun tadi. Ia tidak percaya jika gadis yang menjadi korban kecerobohannya tadi adalah seorang ketua rohis.
Astaga, nambah masalah lagi ni gue.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments