"Yey! Udah nggak sabar, deh, Fa, ikut latihan buat acara sekolah nanti. Pasti acaranya bakalan ramai," kata Ayyan sambil memasang wajah penasaran seperti yang ada di sinetron.
"Kebayang enggak, sih, Fa? Ribuan siswa kumpul di satu tempat, di satu acara lagi. Ya Allah, terima kasih. Semoga Engkau menyediakan satu saja dari hambamu untuk jadi pasangan hidup hamba." Gadis itu berucap sambil menengadah ke langit.
Hanifa tersenyum kecil dan geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya. Kini mereka tengah berjalan menuju ruang kelas.
"Kamu mau cari jodoh ceritanya?" tanya Hanifa melirik ke arah samping.
"Hehe ... Enggak juga sih."
Hanifa mengangguk. Begitu langkah mereka tinggal beberapa meter dari sebuah ruangan, Hanifa menghentikan jalannya. "Ikut aku bentar, yuk!" ajaknya tiba-tiba.
Sosok yang diajak sontak menaikkan alisnya bingung. "Kemana?"
Hanifa tidak langsung menjawab. Dia malah menarik tangan Ayyan ke suatu tempat yang jarang disukainya. Mereka mengurungkan niatnya sebentar untuk sekedar berkunjung ke perpustakaan. Hanifa baru ingat jika ia harus mencari buku.
Bukan Ayyan namanya jika tidak punya alasan untuk ikut ke perpustakaan. Entah hal apa yang membuatnya pergi ke perpustakaan tanpa Hanifa rencanakan terlebih dahulu.
“Fa, sementara kamu cari buku, aku mau ke toilet bentar ya," ujarnya meyakinkan.
“Bilang saja mau kabur Ayy. Enggak usah cari alasan ke toilet segala," cicit Hanifa yang sudah mempan dengan semua alasan sahabatnya.
“Aku serius, Fa. Aku janji nggak bakalan lama kok. Ya, ya," pintanya.
Hanifa hanya mengangguk pelan. Memilih untuk cepat-cepat mengiyakan sebelum Ayyan memasang wajah memelas seperti sebelum-sebelumnya.
Begitu bayangan sahabatnya pergi, Hanifa langsung melangkah dari satu rak buku ke rak yang lain. Kini, hanya dia seorang diri tengah mencari beberapa buku yang kiranya bisa melengkapi catatannya.
Saat sedang mencari buku, ia kembali menangkap sosok yang tak asing di ingatannya. Sosok tersebut tengah duduk menyendiri di pojok ruangan dengan buku yang menutupi setengah wajahnya.
Hanifa memperhatikan sejenak untuk meyakinkan apakah penglihatannya tidak salah tangkap. Begitu hatinya yakin bahwa sosok itu adalah laki-laki yang dikenalnya, ia pun memilih untuk kembali melanjutkan aktifitasnya. Namun, fokusnya kembali tersita saat Hanifa tidak sengaja melihat gelagat aneh dari sosok itu.
Hanifa semakin memicingkan matanya ketika melihat tubuh laki-laki itu seperti akan jatuh ke lantai.
Dia kenapa? Batin Hanifa.
Benar saja, tidak lama setelah mengatakan itu, tubuh laki-laki yang ia tahu adalah Devan tiba-tiba ambruk ke lantai. Hanifa yang melihatnya langsung terkejut dan segera berlari ke arahnya.
“Astagfirullah, dia kenapa?" Hanifa panik dan langsung meletakkan buku yang sedari tadi dipegangnya.
"Van? Kamu bisa dengar aku, kan?" tanya Hanifa. Berharap teman sekolahnya itu akan menyahut. Sayangnya, apa yang diharapkan gadis itu tidak terjadi. Devan tidak bergerak sama sekali. Bahkan, wajahnya pun terlihat begitu pucat.
"Apa yang harus aku lakukan?" Hanifa semakin bingung dibuatnya.
Pasalnya, di tempat itu hanya dia dan Devan. Beberapa menit sebelum Ayyan pergi, petugas perpustakaan sempat menitipkan perpustakaan sebentar. Selain itu, bel masuk kelas yang sudah berbunyi, membuat tempat itu sudah sepi. Mungkin ada beberapa siswa yang masih di sana, tapi Hanifa tidak tahu.
Tiga detik berlalu ketika Hanifa masih tidak tahu harus berbuat apa. Jika sosok yang di depannya ini adalah seorang perempuan, mungkin ia sudah memberikan pertolongan sejak tadi. Akan tetapi, ini Devan. Ia tidak mungkin menyentuh kulitnya untuk sekedar mengecek kondisinya seperti yang pernah ayahnya ajarkan dulu.
Cukup lama berpikir, akhirnya Hanifa memberanikan diri untuk sekedar menempelkan punggung tangannya ke dahi laki-laki itu.
"Astagfirullah!" Hanifa terkejut karena kening Devan yang terasa sangat panas.
"Ya Allah, maaf ..." lirihnya kemudian memeriksa pergelangan tangan Devan. Terasa sangat dingin. Denyut nadinya pun terasa begitu lemah.
"Dia harus dibawa ke rumah sakit," putus Hanifa langsung meliarkan pandangannya. Karena tidak mendapati siapa pun di sana, ia lantas bangun dan berlari ke luar demi mencari bantuan.
Seolah takdir berpihak padanya, Hanifa berhasil menemukan sosok yang baru saja keluar dari ruang OSIS. Lantas, ia pun segera memanggil nama tersebut.
"Kak Wafi!" panggilnya sambil melambai.
Mendengar suara panggilan, laki-laki berseragam hitam dilengkapi jas hitam itu langsung menoleh. Keningnya bergelombang ketika melihat Hanifa tengah berlari panik ke arahnya.
“Ada apa? Kamu baik-baik saja kan?" tanya Wafi sedikit khawatir melihat wajah gadis itu.
Sesampainya di sana, ia tidak langsung menjawab. Hanifa mencoba mengatur napasnya agar bisa berbicara dengan normal. "Aku butuh bantuan, Kak. Ada yang pingsan di perpustakaan, wajahnya pucat dan aku nggak tahu harus bagaimana?"
“Oke, sekarang bawa aku ke tempat dia. Kita harus membawanya ke UKS dulu. Kalau kondisinya parah, baru dibawa ke rumah sakit." Laki-laki itu memberikan saran. Sebelum mereka kembali ke ruang perpustakaan, ia terlebih dulu memanggil seorang siswa yang bertugas jaga di UKS untuk membawa tandu.
Setelah itu, mereka langsung berlari ke tempat kejadian. Dipimpin Hanifa, mereka berhasil sampai di tempat Devan tidak sadarkan diri.
"Ini, Kak." Hanifa menunjuk ke arah laki-laki yang tergeletak di lantai.
Wafi mendekat dan duduk di sampingnya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bibir laki-laki itu mulai membiru.
Devan? panggil Wafi dalam hatinya.
“Apa kamu tau dia kenapa?" tanya Wafi.
Hanifa menggeleng tidak tahu. Tadi, ia hanya melihatnya memegang kepala sebentar, kemudian tiba-tiba pingsan.
“Ya sudah, sekarang kita bawa dia ke UKS. Ayo, Rik!" titah Wafi pada Riko, siswa yang juga menjadi pengurus di ruang UKS.
Sekarang, Hanifa hanya bisa melihat sosok itu dibawa ke ruang UKS tanpa ingin mengikuti. Selain bukan siapa-siapanya Devan, dia juga harus masuk kelas. Kebetulan, petugas perpustakaan sudah kembali dari urusannya.
Sepanjang perjalanan menyusuri koridor sekolah, Hanifa terus saja kepikiran dengan keadaan Devan.
Kenapa dia bisa tiba-tiba pingsan? Apakah dia sedang sakit? Dia sakit apa sampai kondisinya seperti itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu kini sedang berputar-putar di otaknya. Kemudian ia berinisiatif untuk melihat kondisi Devan setelah pulang sekolah nanti.
***
“Ayy, kamu pulang duluan saja, ya. Aku ada urusan bentar," kata Hanifa ketika mereka baru keluar kelas.
Ayyan hanya mengangguk tanpa bertanya lagi. “Ya sudah, Fa. Aku balik duluan, ya. Daaah ... Assalamualaikum."
"Hati-hati, Ay. Wa'aalaikum salam."
Setelah bayangan Ayyan menghilang, Hanifa langsung melangkahkan kakinya ke ruang UKS tempat Devan di bawa tadi. Namun sayangnya, petugas UKS mengatakan bahwa Devan sudah dilarikan ke rumah sakit.
“Rumah sakit?" Hanifa terkejut mendengar jawaban siswa yang berjaga di sana.
Astaga, semoga dia baik-baik saja, batinnya. Ia kemudian pergi. Sebelum itu, Hanifa menanyakan alamat rumah sakit tempat Devan dilarikan.
Setelah mendapat alamat tersebut, Hanifa langsung pergi dengan menggunakan ojek yang kebetulan mangkal di sekitar sekolahnya. Beruntung, rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh dari kompleks rumahnya, sehingga dia bisa segera sampai rumah sebelum ummi mengkhawatirkannya.
“Ini jalan ke ruangannya bener, kan?"
Hanifa bertanya pada dirinya.
Sesampainya di rumah sakit beberapa menit yang lalu, ia memberanikan diri untuk bertanya pada salah perawat di tempat administrasi. Barulah ia pergi ke ruangan yang dijelaskan perawat tadi.
Ketika langkahnya hanya berjarak beberapa meter dari ruangan Devan, tiba-tiba terhenti ketika ia melihat Devan keluar dari ruangannya bersama seorang wanita muda.
Melihat laki-laki itu sudah sadar, Hanifa menghela napasnya.
Alhamdulillah dia sudah membaik. Tapi wanita itu siapa? Apa dia pacarnya? tanya Hanifa dalam hati.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments