08 Agustus 2019 ..
"Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari keburukan yang akan menimpa hamba hari ini, terutama dari si mata biru. Aamiin," doa seorang gadis sebelum keluar gerbang rumahnya.
Pagi yang amat cerah untuk seorang Hanifa Salma Khadijah. Siswa SMA yang selalu mengawali harinya dengan tersenyum dan bersyukur. Seakan-akan syukur adalah obat terampuh yang dapat menyembuhkan luka pada dirinya. Kebahagiaannya sungguh selalu tampakkan. Seperti saat ini. Berjalan riang dengan membawa tentengan plastik di kedua tangannya.
Gadis 18 tahun itu terbiasa berjalan kaki ke sekolah. Kesederhanaan dan pelajaran yang diajarkan di panti tumbuh subur dalam kehidupannya. Di dalam hatinya tertanam cita-cita dan impian yang tinggi, sehingga menjadi semangat tersendiri untuknya setiap hari.
Ia memiliki banyak impian dalam doanya, salah satu impiannya adalah bisa mendapat beasiswa ke luar negeri, kalau perlu ke tempat ayahnya berkuliah dulu.
“Ah, jadi rindu ayah. Semoga aku bisa cepat bertemu dengan ayah," gumamnya tersenyum.
Saat sedang asyik dengan lamunannya, plastik yang ada di tangannya tiba-tiba terjatuh akibat seorang pengendara sepeda motor yang lewat di sampinya dan berhasil menyerempetnya.
“Astagfirullah!"
Beberapa kali Hanifa mengucap kalimat itu sembari memunguti kue-kue yang terjatuh akibat terserempet tadi. Sedangkan pesepeda motor itu berhenti dan langsung menghampirinya. Dia langsung membantu Hanifa memungut beberapa kue yang terjatuh itu.
“Makanya, kalau jalan itu pakai kaki jangan pakai mata! Teledor banget si," omel seorang laki-laki yang kini menatap Hanifa dengan wajah kesal.
Hanifa masih terdiam. Dia tidak ingin mencari masalah dengan laki-laki sekeras batu itu. Namun memilih menggerutu dalam hatinya.
Ya Allah, ini orang udah salah ngomong, nabrak orang, nggak minta maaf lagi. Rupanya doaku belum sampai langit.
Tanpa babibu lagi, laki-laki yang merupakan teman satu sekolah dengannya langsung pergi. Hanifa menarik nafas panjang dan langsung melangkahkan kakinya juga ke sekolah.
***
Baru akan masuk kelas, langkah Hanifa terhenti. Kini matanya fokus pada sosok yang menabraknya tadi yang dia tahu namanya adalah Devanno Ibrahim John.
Menurut cerita yang berkembang di sekolahnya, nama belakangnya ia hilangkan sejak ikut agama papanya di usia 7 tahun. Dari namanya saja, sudah menjelaskan kalau dia bukan asli Indonesia. Lihat saja dari rambutnya yang sedikit hitam ikal kecoklatan dan matanya yang biru gelap, setiap orang yang pernah menatap matanya pasti sudah dapat menebak asalnya.
Devan, si siswa misterius yang selalu menghabiskan waktu lenggangnya di lapangan basket. Entah kenapa kadang Hanifa merasa kasihan terhadap dirinya yang selalu terlihat kesepian.
"Ekhem. Ciee.. yang lagi lirik-lirik. Hati-hati, ntar ketarik." Suara seseorang tepat di telinganya.
Hanifa yang terkejut segera memegang dadanya. "Astagfirullahaladziim. Ayyan. Ngagetin aja."
"Hehe, maaf Fa. Lagian kamu khusuk banget liatin tu cowok. timpalnya. Kayaknya ada yang mau jadi saingannya si Manda nih."
“Apa sih Ayy, jangan ngawur deh. Masuk yuk!"
“Bentar Fa, aku mau kasih tahu, nanti kita kumpul anggota setelah istirahat. Itu kata kak Wafi."
“Kak Wafi? tanya Hanifa masih bingung.
Ayyan mendengus. “Iya Fa, kak Wafi. Mantan ketua OSIS plus ketua PMI itu. Masa kamu sudah lupa sih? Yang jadi pembina Pramuka di sekolah kita."
Hanifa mengangguk pelan. Ia tidak tahu karena memang ia jarang memperhatikan organisasi tunas kelapa itu.
“Oooo. Kumpul apa Ayy?"
“Itu, untuk membahas acara tahunan sekolah kita."
"Acara tahunan yang mana?"
"Lebih tepatnya, acara harlah sekolah kita yang ke-40."
Hanifa mengangguk. Rupanya dia sudah paham.
“Makanya kak Wafi minta kita dan anggota yang lain kumpul untuk membahas acara ini lebih lanjut," jelas Ayyan lagi.
“Oke, nanti kita pergi sama-sama ya," ucap Hanifa dan mendapat acungan jempol dari sahabatnya. Setelah itu mereka pun masuk kelas.
Semua pelajaran pagi ini berjalan lancar. Hanifa dan Ayyan segera bergegas ke aula untuk kumpul. Mereka adalah anggota salah satu organisasi favorit di sekolah, yaitu PMI.
Bukan tanpa alasan Hanifa ikut organisasi ini, melainkan cita-citanya yang ingin menjadi seorang dokter. Sehingga dia bisa melatih dirinya di PMI sebelum menginjak bangku perkuliahan.
“Ayy, aku mau ke kantin bentar ya, mau beli minum. Kamu mau nitip apa? Ntar aku beliin."
Ayyan berpikir sebentar.
“Kamu pergi saja deh Fa, aku nggak ingin nitip apa-apa. Tapi cepetan ya baliknya, takutnya ntar kamu telat."
Hanifa mengangguk dan langsung pergi. Saat sedang mengambil uang kembalian, matanya menangkap sosok Devan yang sedang ikut latihan Pramuka.
“Aku baru tahu kalau dia ikut Pramuka," bisiknya dalam hati.
“Hanifa, kamu nggak ikut kumpul?" Suara seseorang tiba-tiba mengagetkannya, yakni seorang laki-laki yang Hanifa tau adalah kakak Pembina salah satu organisasi yang diikutinya.
“Eh, iya kak. Aku cuman mau beli minum bentar. Kakak lagi apa di sini?"
Laki-laki itu tersenyum. "Aku juga mau beli minum Fa. Nama kamu Hanifa, kan?"
Hanifa mengangguk.
"Syukurlah nggak salah orang. ujarnya. Bi, air minumnya satu ya."
Wanita paruh baya yang menjaga kantin itu tersenyum dan mengangguk. “Dek Wafi kapan ke sini?"
“Tadi pagi Bi."
"Wah, setelah kuliah makin tambah tampan aja Dek Wafi ini."
Yang dipuji hanya tersenyum kikuk.
“Bibi ada-ada saja. Wajah saya masih sama kok, nggak ada yang berubah."
“Iya, terserah Dek Wafi sajalah."
“Oh ya, kamu mau ke aula, kan?" Kini laki-laki yang dipanggil Wafi itu bertanya perempuan yang ada di sampingnya. Dan lagi-lagi Hanifa hanya mengangguk.
“Ya sudah kalau begitu, arah dan tujuan kita sama. Ayo kita pergi! Pasti yang lain sudah menunggu," sarannya.
“Iya kak, jawab Hanifa.
Di tempat yang berbeda, Ayyan yang sedari tadi menunggu Hanifa di bangku depan kelas memicingkan matanya saat melihat Hanifa berjalan dengan laki-laki yang sangat dominan di sekolahnya. Setelah laki-laki itu pergi, Ayyan langsung menghampiri sahabatnya itu sebelum terjadi masalah besar.
Dipandangnya Hanifa dengan tatapan amat serius. “Fa, kok kamu bisa sama kak Wafi sih?" Ayyan menatap sahabatnya serius.
"Ooo, jadi itu namanya kak Wafi?"
"Iya Fa, yang aku ceritain tadi itu. Kamu tahu kan kalau pacarnya kak Wafi itu garang banget, kayak srigala. Kalau dia lihat kamu jalan sama kak Wafi, aduuhh nggak kebayang deh nasib kamu Fa," celotehnya.
Hanifa tersenyum. "Tu, kan suudzon sama orang."
"Aku bukannya suudzon Hanifa, tapi kenyataannya memang begitu."
“Iyaaa, Rahma Narayyan ku yang baik dan perhatian. Tadi aku ketemu kak Wafi juga nggak sengaja kok di kantin. Lagian kak Wafi itu kan mahasiswa, masa sih pacarnya bisa tahu tentang kegiatannya di sekolah?”
"Aku sih kurang tau ya Fa. Tapi kata anak-anak sebelah, pernah ada yang dilabrak sama perempuan yang ngaku pacarnya kak Wafi."
Hanifa geleng-geleng mendengar ucapan sahabatnya itu. "Mungkin itu cuma fansnya kak Wafi Ayy. Kalau dari tampangnya, kak Wafi bukan tipe cowok yang mau pacaran deh."
Ayyan mengangkat bahunya. "Entahlah. Mungkin iya. Tapi apa salahnya sedia gayung sebelum basah."
"Sedia payung sebelum hujan Ayy," tegur Hanifa.
"Iya iya, lidahku keseleo dikit tadi. Hehehe."
"Udah, kamu tenang aja. Aku nggak bakal nyari masalah kok. Tapi bener deh, tadi aku nggak sengaja ketemu kak Wafi."
“Oke baiklah, alasanmu kali ini aku terima. Tapi awas ya kalau aku lihat kamu tercyduk jalan bareng lagi sama kak Wafi."
Bukannya takut dengan apa yang diucapkan Ayyan tadi, Hanifa malah tertawa kecil.
“Kok ketawa sih Fa? Ini aku serius tahu," ucap Ayyan sedikit bingung.
“Kamu itu sudah kayak pacarnya kak Wafi tau gak. Galak. Hahaha."
Ayyan memanyunkan bibirnya kesal.
“Iiiiihhh kok tega sih bilang aku kayak pacarnya kak Wafi yang galak itu?"
“Sudah lah Ayy, itu orang sudah pada kumpul. Yuk!"
Mereka pun mempercepat langkah kakinya. Setelah semua agenda di bahas dengan detail, bel masuk berbunyi. Bagi mereka yang mempunyai pelajaran saat itu diizinkan kembali. Tak terkecuali Hanifa dan Ayyan yang langsung meminta izin untuk ke kelas.
Begitu Hanifa pergi, mata yang sedari tadi memperhatikannya tersadar akan sesuatu. Sudut bibirnya tertarik ke ujung membentuk lengkungan yang indah.
Ternyata kamu masih belum mengenalku Fa, meskipun aku sudah lama menunggu untuk bertemu kembali dengan kamu. Ucapnya dalam hati kemudian melanjutkan diskusinya yang belum selesai.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments