Kerlingan mata

Cuaca sore belum jua bersahabat. Saluran radio di sudut masih saling bersahutan sama burung kenari. Setahun lebih gadis itu dengan susah payah kumpulkan uang untuk beli kenari di pasar tradisional. Kerap ayahnya kasih nasehat, tidaklah baik anak gadis pelihara hewan. Berkat kenekatan dia berhasil merajuk ayahnya pergi ke pasar burung.

"Apa kamu tidak malu...?" tanya ayahnya suatu sore. "Kamu setidaknya persiapkan diri bisa merawat hewan."

"Buat apa meraaa malu ketika kita merasa nyaman. Ayah biar begini menghasilan cuan. Sebaiknya kita buang jauh-jauh sifat pemalu." balas Yenni.

"Ya menurut kamu. Terus kamu punya anggapan orang lain tidak berikan penilaian."

"Sampai kapan kita harus menuruti apa kata orang? Ketika kita merasa kesulitan, apa mereka juga ambil bagian? Kan tidak, makanya saya malas melibatkan diri."

"Kamu kalau diberi nasehat selalu punya pemikiran sendiri. Cobalah lebih bijaksana lagi dalam mendengar pendapat orang lain."

"Males...!"

"Oleh karena itu buang jauh-jauh rasa males. Dengan sendirinya kamu terbiasa hidup disiplin. Anggapan remeh soal waktu itu adalah pendapat keliru."

Ujung daripada perdebatan sengit. Tentu saja pak Jaka jauh lebih berpengalaman dibandingan putrinya. Sebab itulah dia berhak mengatur dan mengarahkan dua anak gadisnya. Di usia dua puluh tahun sebenarnya banyak kerawanan dalam pergaulan. Dia akan kesulitan menilai kepribadian lawan bicaranya, selain mudah larut kondisi lingkungan.

"Papa musti mencari tahu dulu. Jangan menilai saya tanpa alasan pasti. Maaf bila perkataan Yen singgung permasalah papa. Jujur saya tidak punya tujuan apa-apa...."

pak Jaka sagara kali ini sulit menerima kenyataan pahit. Untuk melangkah saja dirasakan sangatlah sukar diajak kompromi. Tubuhnya serupa bergetar sendiri. Matanya kembali berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung terduduk. Ia kiranya tak mampu berdiri tegak.

"Pa.... Papa...." pekik Yenni seolah minta tolong.

Hitungan menit tubuh papanya sudah terduduk lemas. Nyaris...tersungkur ke lantai. Tanpa di suruh Yenni menopang papanya. Sekuat tenaga dia menyangga bahu kekar di posisi yang benar.

Selang beberapa saat ibunya ikutan bantu. Dengan suara histeris lihat suaminya sudah terbaring. Air matanya tiada henti menyertai rasa sakit suaminya. Sukarlah membendung kepedihan mereka alami, seharusnya kebahagiaan itu sudah berada di depan mata.

Lirih suara mamanya, bahkan Yenni tidak memiliki keberanian untuk melawankan. Apalagi menuduh mamanya telah melakukan kesalahan atas kesehatan ayahnya. Benar adanya kebugaran ayahnya dalam sebulan ini mengalami kemunduran. Sambil terduduk lemas, jarinya tak pernah berhenti memijit kakinya.

"Kita tidak bisa melihat ini, rasa sakit ayahmu. Cobalah kamu bisa lihat betapa pedihnya....:

Makin terpuruk Yenni atas ucapan mamanyà. Kata-katanya terkesan menyudutkan dirinya dari segala sisi. Yenni tak kuasa menahan linangan air yang terus deras mengalir. Tangisnya makin menjadi ketika melihat ayahnya nyaris menemui ajalnya. Keras tangannya memukul-mukul pintu. Ia lari ke halaman untuk meminta pertolongan sama orang lain.

"Tolong....!"

Kali ini dia tidak perdulikan sama kebenciannya. Buat tenangkan batinnya saja susah bukan main. Nalurinya kini tergantikan akan kehilangan orang sebagai panutan di rumahnya.

Benar saja suara keras itu hinggap di telinga pemuda. Kegilaan Yenni jarang pula digantikan dengan cara berpikirnya terlalu rumit. Bahwa kesederhanaan gadis itu menjadikan orang disekitar juga menaruhkan simpatik. Wajar saja. Tidaklah berlebihan bila dia beranikan diri memanggilnya dengan sebutan teman.

"Ya, ada yang bisa aku bantu...?" balas suara dari dalam rumah. "Siapa ya? Tunggu biar kubuka pintunya."

Kepanikan itu tergambar jelas di raut muka gadis di depannya. Dia tidak punya keberanian tetlalu berbuat lancang sama anak gadis orang. Kegugupan itu benar-benar menjalari bagian dari langkah batinnya.

"Ada apa ya? Tarik nafas dulu.... Nah begitu akan membuat hatimu kembali tenang..."

Kegugupan di wajahnya makin menjadi-jadi. Terutama dia telah banyak melakulan kesalahan, seharusnya peristiwa kecil itu tidak perlu ditonjolkan kepermukaan. Baiknya harus berlapang dada sewaktu dia berupaya hindari tudingan miring.

"Lekas katakan saja. Kamu tidak perlu menimbang terlalu lama. Pasti kamu sedang hadapi pilihan sulit."

"Aku...." kata Yenni masih terbata-bata. "Aku tidak percaya kenapa hal ini masih..."

"Ayolah.... Kamu tidak perlu sungkan. Saya siap dengarkan ceritamu. Mulai saat ini kamu jangan punya pikiran macam. Baiklah tunggu sebentar...!"

Lekas langkah lelaki itu ke dapur. Di ambilnya segelas air putih. Baru juga melangkah ke depàn, bahunya mendadak bahunya ditarik ibunya.

"Hey... Anak mama sibuk sekali...." cegah ibunya.

Berbalik badan sambil sahut cepat. Dia tidak mau perlakukan orang lain tambah kesusahan. Itulah sebabnya sikap cueknya kembali nongol tanpa diminta melawan larangan mamanya. Tidak biasa anak lelakinya melawan semua seruan dan nasehatnya.

"Bentar mama... Ada tamu..."

"Oh... Ya?" sahut mamanya.

Semenit kemudian ia sudah berada di depan gadis berbasahi air mata. Di sodorkan segelas air putih. Ada keyakinan dia mengalami trauma. Semula Yenni segan bebani orang lain atas masalah di rumahnya. Jikalau dalam kondisi darurat boleh saja, pikirnya. Tergesa di minumnya segelas air putih. Nafasnya kini tambah lebih tenang. Tarikan nafasnya sekarang tidaklah tersengal-sengal menahankan kepedihan kian mendalam. Berkat kebaikan pemuda nan tampan itu merubah segalanya.

"Terima kasih atas kebaikkanmu.:

Lelaki itu senyum bangga. Semisalnya dia bisa melakukan lebih baik lagi tentu ada titik penyemangatnya. Alangkah bahagianya memiliki anak gadis perhatian. Di usianya tidaklah muda lagi, sekurang-kurangnya anak nilai lebih.

"Lekas berikan pertolongan pertama. Tolong angkat bagian leher. Atau kamu ambilkan minyak gosok." serunya.

"Sebentar ya..."

"Cepat sedikit....." suara pemuda itu lebih keras. "Lekas ayahmu butuh pertolongan.... Kalau tidak kita harus bawa ke rumah sakit terdekat."

Serba panik. Yenni ikutan lebih panik lagi, sekembalinya ambil minyak gosok. Kondisi ayahnya belum membaik juga. Papanya belum juga siuman, obat gosok tidak merubah keadaan. Sekarang pilihan terakhirnya, musti di bawa ke rumah sakit.

"Sebaiknya ibu cukup mendampingi saja. Biar kami akan segera menangani pasien," salah seorang petugas ambulance berujar. "Silahkan untuk duduk disamping pasien. Agar kami bisa memantau lebih insten."

Pak Jaka sagara terbaring di kereta dorong tak berdaya. Seraut mukanya pucat pasi. Secara umum kondisinya membutuhkan penangan lebih baik lagi.

"Papa.... Bangun pa," istrinya mengguncangkan tubuhnya. "Maafkan saya karena tidak perhatian. Lain kali saya...."

Alda agustin tiada menyangka kondisi suaminya sampai jatuh. Ketika situasi kurang menguntung bagi keluarganya. Setahun terakhir ini, kesehatan suaminya banyak yang dikeluhkan. Masalahnya tidaklah semudah balikkan telapak tangan. Yenni coba berikan semangati mamanya.

"Mama sabarlah dalam hadapi semuanya. Sebaiknya kita banyak berdoa. Supaya papa diberikan kesehatannya dipulihkan kembali."

Keduanya makin larut dalam kesedihan kian menyesakkan dada. Jika di tarik ulur kembali, kesalahan ini jelas bertumpu pada tuntutan ekonomi keluarganya kurang stabil.

Dua perawat terus memantau pasien. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit pak Jaka sagara diberikan bantuan pernafasan. Di tangan kirinya sudah ada selang infus terpasang. Tarikan nafasnya belum stabil benar. sesampainya di rumah sakit tujuan, di sambut oleh dua perawat. Pasien di bawa ke UGD ditangani oleh dokter ahlinya. Kedua perempuan itu ikuti mengiringi kereta dorong sampai ke ruang tindakan. Alda agustin takkan mampu menahan cucuran air matanya. Sukar dipercaya keadaan ini bergitu mendadak. Demikianlah penyakit datangan langkahnya seperti anak muda, sedangkan kesembuhan serupa langkah perempuan tua.

Di ruang tunggu keduanya saling menumpahkan keresahan hati. Sayangnya, Yenni segan menatap wajah mamanya lebih dalam lagi. Saat ini ia mirip dihadapkan sama kepalsuan belaka. Semestinya dia menemukan figur seorang ibu berhati mulia. Di setiap waktu tentunya akan selalu di puja-puja.

Rengkuhan mamanya terasa hambar. Entah kenapa Yenni merasakan ada sedikit ketimpangan hati. Segera ia alihkan dan fokus sama kesembuhan papanya. Permasalahan pribadi kedua orangtuanya tidak wajib mengetahui sepenuhnya.

Di sudut sana sepasang mata terus mengawasi dua perempuan itu. Wajahnya dilandasi rasa suka rela. Sambil menunggu hasil observasi Yenni sekilas melirik. Suaranya, tergantikan oleh hembusan angin cuek. Itu pun kiranya tiada mampu menggantikan suasana hati gundah gulana. Selanjutnya tidak berselang lama muncullah dokter jaga. Lekas-lekas dua perempuan itu menyongsong dengan pertanyaan ingin tahu keadaaan anggota keluarganya.

"Dokter gimana pemulihan suami saya?" sergah Alda agustin bercampur resah. " kami semua sangat mencemaskan keadaannya."

Anak perempuannya tidak mau kalah. Ingin mengetahui lebih jauh lagi papanya. Lama pula menanti keterangan selanjutnya. Keduanya saling berpandangan seolah terbalutkan kesedihan. Pada dasarnya kesehatan itu di tangan Tuhan. Sebab siapa pun tidak berhak menyalah salah satunya. Yenni cukup terpukul atas kejadian telah menimpa ayahnya. Penuh dedikasi pak dokter berikan penjelasan kepada pihak keluarga.

"Ibu dengan pasien ada hubungan apa ya?" tanya dokter penuh santun. "Maaf saya hanya memberikan keadaan pasien pada keluarganya. Sebab itulah saya ingin tegaskan lagi. Takutnya disalah penafsiran."

"Saya istrinya. Mohon penjelasannya. Apakah suami saya akan baik-baik saja? Dokter... Lakukan yang terbaik untuk suami saya, dokter."

"Baiklah. Saya hanya bisa melakukan menurut kemampuan di sini. Intinya kondisi suami ibu sock saja. Dan itu bisa terjadi kapan saja. Saran saya sebaiknya ibu lebih bersabar."

"Selain itu. Sakit menurun medisnya."

Alda agustin kelihatan gusar lihat kondisi suaminya. Bagaimana mungkin dokter mengatakan suaminya terlalu banyak tekanan. Sehingga serangan jantungnya akan kambuh dalam situasi tidak menentu.

"Sejauh ini kami belum mengambil kesimpulan. Tapi ada baiknya ibu ajak suaminya untuk rileks saja. Karena itu jauh memungkinkan akan terkendala sama ibu. Mulai hari ini ibu musti bisa mengendalikan emosi anda."

Selepas memberikan arahan dokter balik kanan menuju ruang kerjanya. Sambil lepaskan senyuman tipis kearah dua perempuan itu.

"Maaf saya harus kembali. Saya kira itu saja yang bisa saya sampaikan. Semoga suami ibu lekas diberikan kesembuhan," kata dokter penuh wibawa.

"Amin," jawab keduanya.

Penuh ketabahan direngkuhnya pinggang mamanya. Yenni ingin dapatkan ketenangan saat bersama mamanya. Segala kepenatan segera tergantikan oleh kebahagiaan. Satu misalnya dia ingin menepiskan permohonan mamanya. Walau pun ada rasa keberatan untuk menelantarkan saja. Dia harus berpikir jernih sewaktu melihat kesehatan papanya mengalami kemundiran.

"Mama jangan punya perasaan bersalah. Sebagaimana kita ketahui, tidak akan merubah keadaan. Justru membuat papa drof lagi kesehatannya."

"Terima kasih sayang," nada bi!cara Alda terkesan dibuat-buat. "Mama berharap kamu jangan mengecewakan kami. Sama artinya kamu akan angkat martabat keluarga ini."

Walau pun getir Yenni berupaya tersenyum dengan sepenuh hati. Untuk kali ini dia tak ingin menyakiti kedua orang tuanya. Tak berapa lama muncul pria berstelan celana jeans dan kaos putih. Penampilannya sedikit saja dia segan untuk menerima niat baiknya.

"Terima kasih nak. Kami belum bisa balas kebaikanmu. Kalau saja tidak ada anak ganteng...! Tentu saya kerepotan bawa papanya berobat ke rumah sakit."

Pria itu tersenyum simpul, sepintas senyum tipis mampir ke Yenni. Yang sedari tadi berdiri cuek. Ia males beramah-tamah sama orang belum dikenalnya dengan baik. Sikap waspada sama orang baru dikenal semestinya dibuang jauh-jauh. Karena tidak selamanya lelaki bertampang nakal, rambut gondrong. Pakai celana sobek dibagian dengkul, atas dasar itulah Yenni menarik kesimpulan sendiri.

"Sama-sama tante.... Lagi pula setiap orang juga berhak berbuat baik."

Kiranya pemuda itu cerdik pula lemparkan misinya. Ia tentu memiliki harapan khusus dari gadis yang sedari tadi bikin jantungnya berdekup kencang.

"Duh mama...." pekik Yenni lirih. "Apa kita musti balas kebaikannya."

"Kan nggak ada salahnya," kata Alda sambil angkat bahunya. "Bukan begitu nak....?"

Kini peluang untuk mendekati Yenni tinggal selangkah lagi, artinya dia pergunakan sebaik-baiknya. Sebelum nantinya ada orang ketiga merebut kesempatan emas.

Justru berbanding terbalik sama gadis itu, ia mencibir atas keputusan mamanya. Sebab keputusan terakhir ialah di tangan Yenni.

"Yen... Mama mau cari makan dulu ya. Kamu sekalian mau titip makanan apa? Terus nanti kalo papa sudah siuman kabari ya." Alda agustin berpesan sama putrinya.

"Saya masih kenyang, ma," jawab Yenni.

Sepeninggal mamanya, Yenni jadi tambah kikuk duduk berdekatan sama orang lain. Biar pun rumah mereka berdekatan belum saling kenal. Setahunya, pemilik rumah baru itu. Belum lama menempatinya jaxi masuk akal bila keduanya tidak saling kenal.

"Saya turut prihatin atas kejadian di rumah tadi...."

"Justru kami telah merepotkan, terima kasih."

"Sama-sama. Boleh saya berkenalan, ya itu pun kalau kamu bersedia."

Gadis itu sampai tertegun, lidahnya mendadak jadi kelu ingin berikan jawaban. Sejujurnya tidak mau bikin kecewa ibunya.

Yenni terngiang ucapan papanya. Sangatlah menumbuhkan ketrenyuhan sentuh hàtinya.

"Kamu kerjanya hari ini masih ada kendala? Siapa tahu papa bisa kasih masukan?" papa masih menawarkan jasa, walau pun masih menahan sakit."Lho kenapa.hanya diam saja. Sudahlah, kamu tidak usah cemas. Semua akan baik'baik saja. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi setiap permasalahan."

"Nggak ada pap..." jawab Yenni datar.

Hari itu benar-benar luar biasa untuk diungkapkan. Dia boleh saja berandai-andai melanjutkan kembali studynya di salah satu universitas favoritnya. So pasti hari-harinya penuh dengan keceriaan.

"Hallo...." suara kejutkan. " Bolehkan? Saya berharap kamu tidak keberatan. Rasanya tidak elegan rumah kita berdekatan tidak saling kenal."

"Untuk apa?"

" Kalo saling kenal enak. Kenalkan nama saya Rio

kamu siapa....?" si pria sodorkan tangannya.

"Panggil saja. Gadis itulah namaku."

.

..

..

Terpopuler

Comments

Afiya Safitri

Afiya Safitri

tetap semangat kak dalam penulisannya. ceritanya makin memikat

2024-01-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!