Setetes embun

Seminggu sebelumnya Yenni merasa ada kejanggalan di rumahnya. Mungkin saja kejadian luar biasa. Takkan ada harinya diselimut oleh kebahagiaan, karena ibunya kerap berikan wejangan mulia. Salah satunya jangan pernah mengambil barang milik orang lain. Termasuk hari ini ia menemukan sebuah tas berwarna merah. Ketika tangannya hendak meraih ada.satu sentakan aneh, ia kerja sebagai ob di kantor ini sebagai karyawan baru.

Kesibukan pagi itu makin terasa, Alda agustin jam lima bangun siapkan sarapan. Mereka biasakan bareng menyantap hidangan di meja makan. Kebersamaan sulit dipisahkan kehadiran ayahnya. Kerap ungkapan bikin Yenni geleng-geleng. Akibat ada saja usulan agar dia mendapatkan pengawalan. Jujur dia ingin protes usulan gila!

"Yen.... Bangun matahari mulai tinggi. Cepet buka pintunya." ibunya bangunkan. "Kamu ini kalo dibangunkan susahnya minta ampun. Yen.... Yen.... Tuh ada temenmu."

"Siapa sih? Rajin banget kelihatannya..." jawab Yenni sambil lalu.

Kebiasaan buruk rupanya, Yenni segan tiap kali berangkat kerja sering diajak bareng. Ibunya masih saja coba untuk merayunya agar menemui dulu tamunya. Sambil menunjukkan muka cemberut Yenni keluar kamar.

"Ibu kan bisa bilang sama tuh orang...." nada bicara Yenni ketus. "Pasti...."

"Ndak boleh berkata begitu. Semestinya kamu hargai orang lain. Karena dia juga berkorban waktu. Boleh ibu kasih masuk?"

Sindiran ibunya membuat Yenni tambah keki, lekas-lekas menghilang ke kamar. Ia nampak hancur lebur hatinya dikoyakkan oleh kelakuan cowok tengil.

"Sayang kamu jangan berlaku kasar. Apalagi selalu memandang rendah atas martabat orang itu. Sebab tidak mungkin lebih baik."

"Duh, apa yang salah? Ibu belum tentu memilih pendapat yang keliru di mata umum."

"Ibu selalu bikin kesalahan, bikin persoalan baru. Buktinya sekarang saya rela menemui siapa tadi, teman?"

Cemas benar atas sikap putrinya. Di rajuknya Yenni habis-habisan agar luluh hatinya. Biar pun begitu dia masih saja sama pendiriannya. Males untuk menemui temannya atas keterangan ibunya. Mana ada kerja baru beberapa bulan sudah kenal akrab, pikir Yenni.

Berkat rasa hormat sama ibunya, ia akhirnya mau jua menemui tamu. Langkahnya sedikit kurang yakin atas firasatnya. Atau anggapan itu sulit diterka. Dengan hati-hati dibuka tirai jendela pelan-pelan supaya tak ketahuan. Ibunya melihat putrinya mau menemui tamu, ada seguratan senyum. Bahwa Yenni anak berbakti menuruti permintaan kedua orang tuanya.

"Lho si cantik masih ragu...."

Yenni menoleh ke sisi kanan. Ya, Tuhan kiranya ibu masih saja mengikuti semua gerak-geriknya. Ada kecenderungan ingin menguasai langkah putrinya. Atau sejenis ingin menjadi satu moment penting dalam kehidupannya kelak.

"Iya..."

"Lekas tamunya kalau dia mau ajak sarapan."

"Baik bu...." jawabnya lirih.

Dekup jantung serasa hendak copot dari sarangnya. Sebelumnya Yenni tidak merasakan demikian aneh nalurinya. Kenapa ibunya sampai memaksakan agar menemui tamu tak tahu diri!?

"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu? Maaf anda ingin bertemu siapa ya?" tanyanya formil.

Lagaknya jumawa benar, ditegur halus dan sopan belum juga membalikkan badan. Apalagi cepat berikan respon atas sapaan gadis itu. Siapa pun pastinya menaruhkan dongkol seribu kali lipat. Seandainya bukanlah permohonan ibunya untuk jumpai orang belum dikenal. Resiko pertama dia akan dipermalukan lagi. Belum juga Yenni alihkan pandangan ke sisi lain. Harapan pertama rekannya jam segini pasti tiba.

"Oh, maaf. Saya tidak tahu, barusan terima telpon. Gimana bisa berangkat sama-sama...?" cowok itu menawarkan diri.

"Duh... Gimana ya? Saya ada janji sama temen. Tapi...?"

Minta ampun, pikirnya sambil cari alasan atas ajakan cowok bertampang sok iya! Diam-diam dia mencibir sinis. Tak semudah itu merayu gadis. Tentunya ada yang harus diperjuangkan. Selain mampu menaklukkan oleh materi. So pasti gadis perlu kasih sayang tiada tarà. Bilamana mudah merayunya arti cowok itu harus berpikir sampai tujuh kali lipat.

"Perkenalkan nama saya Bimbim," cowok itu perkenalkan diri.

Cowok bertampang keren mentereng cap goceng. Gadis itu sampai menahan tawa, takutlah kiranya bila sikapnya acuh tak acuh jadi ketahuan. Ia menyodorkan tangan kanannya kearah gadis itu. Semula mukanya masih tertekuk sepuluh. Males saja bila saling berpandangan. Entah kenapa sikap kebenciannya kembali menyeruak. Seminggu lalu ibunya menerima lelaki, dilihat dari penampilan kurang menarik untuk ukuran pria seusianya.

"Hey.... Kau masih ragu sama penampilanku?"

"Tidak juga..." jawabnya gaya formal. "Apa kau punya tujuan baik? Karena aku belum punya keyakinan sepenuhnya."

"Tunggu...."

"Buat apa? Aku jelas nggak banyak waktu. Nanti takut lambat masuk kerja."

Jelas ada segumpalan kedongkolan bercampur kagum. Baru pertama kalinya dipertemukan gadis bertendensi keras. Sukar di taklukkan! Ia ibaratkan disatukan oleh hutan belantara. Tentunya penghuni hutan belantara sangat garang. Beruntung ada ibunya keluar dengan berikan penjelasan tentang putrinya.

"Saya tidak perlu menjelaskan lebih detail. Tapi kami sekeluarga sangat tersanjung....." seru ibunya seolah sanjungkan tamu. "Kamu harusnya persilahkan masuk, setidaknya disuruh makan bareng."

"Iya..."

"Nah, itu jauh lebih baik. Ketika sedang berhadapan sama tamu. Maafkan anak saya mas, maklumlah masih usia muda. Jiwanya masih labil dan tentunya perlu bimbingan."

Lelaki bertampang keren itu hanya tersenyum simpul. Seakan-akan dia sudah dipastikan mendapatkan tempat khusus di mata gadia nan menawan. Ia tentunya punya misi agar nantinya bisa memperoleh peluang atas dirinya.

Terbayang sore harinya jalan sore-sore. Tentunya sepanjang jalan dilewatkan oleh cerita-cerita kecil. Satu misal dia bawakan setangkài, sayangnya bunga itu tidaklah segar. Malahan kedengeran lucu ibunya ikut ambil bagian. Dalam hati sebagai gadis belia takkan mampu untuk menepis seruan. Bahwa keduanya akan disatukan dalam media pacaran. Mungkin itulah kesepakatan sepihak, so pasti kurang disukainya.

"Bu jangan bikin malu saya."

"Ndak apa kan nak siapa namanya? Ibu ini sering bawaannya pelupaan. Mohon dimaklum...."

Tanpa disadari anak gadisnya pelan-pelan beringsut pergi. Tentunya sembari senyum mencibir pada lelaki masih mematung. Keduanya saling berhadapan dengan salah presepsi atas kejadian lucu tersebut.

"Ya ampun anak satu ini bikin malu saja...." suara ibunya lirih. "Yen...."

Cepet banget menghilangnya, belum juga dikasih nasehat. Tidak tahunya audah raib ditelan bumi. Pantesan kebelet kabur dulu, lagi pula buat apa lebih lama lagi nungguin orang tidak jelas kehidupannya. Begitu sampai di depan pintu pagar gadis lebih dulu lambaikan tangan ke arah cowok itu. Di wajahnya serupa di gelayuti amukan emosi. Dengan berat hati dia harus lebih dulu melangkah pergi.

"Da..... Saya berangkat dulu....!" sambil melambaikan tangan. "Nanti pulangnya sore."

"Duh, anak satu ini..." gerutu ibunya.

Kekesalan itu jelas terlihat sewaktu ibu muda menatapnya. Penuh rasa sungkan untuk memohon diri demi menutupi rasa malu. Apa mungkin dirinya tetap mematung dengan harapan ada tanggapan dari gadis tambatan hati.

"Kamu nanti bisa lain kali ke sini. Sekali lagi ibu sangat menghargai atas kesabaran dan keiklasannya. Makluk saja masih anak muda, tentunya sukar dikendalikan pemikirannya.

"Oh, ndak apa-apa. Baiklah kalo begitu sayamohon diri. Karena masih ada kerjaan lain. Ya, nanti mohon disampaikan sama putrinya."

Kiranya harapan kedua orangtua Yenni pupuslah sudah. Pagi ini macam diamukan ombak demikian kerasnya terjangannya. Seumpama dia mampu jelaskan sama suaminya, pastilah ada pertengkaran kecil. Ketika suaminya mengetahui istrinya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Lumayan menyita waktu pak Jaka untuk berpikir keras.

Pantas saja pak Jaka kelihatan menaruh curiga. Sekali pun dia belum punya keberanian buat menuduh istrinya ingin menjerumuskan putrinya.

"Lho mana sarapan sudah siap, bu. Saya sebentar lagi pasti terlambat."

"Ya sebentar...." jawabnya lumayan keras.

Kiranya bukan waktu yang tepat untuk menyinggung masalah putrinya. Sebagai seorang istri tentu punya hak dan kewajiban. Oleh karena itu posisinya jauh lebih kuat sewaktu dia makin pertanyakan perihal pertanggungan jawab mengenai dapur ngebul. Ia canggung untuk menegur suaminya yang termangu-mangu memikirkan suatu kejadian di kantor. Beruntung hari ini istrinya tidak juga menaruhkan kecurigaan.

Sambil tersenyum simpul Alda agustin persiapkan hidangan pagi. Menu ini pagi tidak ada istimewanya. Cukup sayur kangkung dan tempe goreng, bahkan terkesan sangat biasa. Bukan saja senandungnya bikin tiap lelaki akan terus menggandrungi dari cengkok dangdut.

"Kelihatannya kamu pagi ini tampak bahagia? Tidak seperti biasanya....." cerdiknya memuji.

Pantes kaum Hawa akan bertekuk lutut dihadapannya. Satu saja keinginanya yakni putrinya dapat menemukan jodoh sesuai atas pilihan mereka. Ada kebenaran bisa diterima sama akal sehat. Belum jua jahilnya juga digantikan oleh kejengkelan.

"Bapak ini, apa tidak merasa ada perubahan atas anak kita. Akhir-akhir ini bisa menyimpulkan sikap saya.."

"Sini....!"

Sebagai ayah tentunya punya andil besar terhadap anggota keluarga. Jaman now jauh dari ekspetasi yang dilihat pada kehidupan. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi. Lupa akan hubungan di keluarga, tiap mengambil keputusan didasarkan atas pribadi. Itulah kejengkelan makin menorehkan sangkaan miring.

"Saya lihat tadi kamu nampak serius? Kenapa kelihatannya ada sengaja kamu sembunyikan dihadapanku." selidiknya penuh hati-hati.

Istrinya hanya sepintas mengulum senyum tipis. Cerdiknya bila mana sembunyikan apa saja sedang dirahasikan dari pengawasan suaminya. Cekatan Alda Agustin alihkan pembicaraan. Lebih sadis lagi ia menuntur suaminya agar bisa memenuhi seluruh permohonannya. Kecil kemungkinan pak Jaka mampu mewujudkan impian istrinya jauh melambung keawang-awang.

"Sejak kapan saya sembunyikan sesuatu. Cobalah untuk di renungkan kembali. Sebelum permasalah kecil saja masih diselidiki. Terus apa untungnya saya tetap pada pandangan pertama."

"Tapi..."

"Tidak usah bersangka buruk! Toh pada gilirannya kamu sadar keluarga masih dikatakan kurang dari cukup. Saya dari dulu tidak pernah meminta macam-macam. Justru sebaliknya kamu jauh meminta saya berpenampilan enjoy...."

"Tunggu...!" emosi juga.

Langkah pertama istrinya ajukan permohonan untuk kesekian kalinya. Ada sejumlah pandangan kosong, sejujurnya dia turut prihatin lihat penampilan istrinya bergaya dasteran. Walau pun begitu pak Jaka masih beruvap syukur pada Tuhan. Selama ini dia masih diberikan keyakinan guna membimbing pucuk pimpinan keluarganya.

Ia menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskan perlahan dengan kesempurnaan dambaan tiap insan. Yakni hidup selalu berdampingan tanpa saling menyudutkan satu sama lain. Cukup dengan meletakan nilai-nilai kasih sayang.

"Kamu bisa menerima ini semua. Kurasa jauh lebih baik, daripada terus perdebatkan permasalahan yang belum tentu terselesaikan baik-baik saja."

"Ini saya belum bisa sepenuhnya menerima pemikiranmu. Karena tidak semuanya mengandung kebenaran."

Aroma hidangan cepat hapuskan emosinya. Pak Jaka benar-benar mencinta pasanganya. Untuk menyentuh ujung hatinya sangat peka.

"Makanlah dulu...."

"Kira-kira nanti sore pulang jam berapa?"

"Saya akan pulang lebih cepat dari biasanya. Ya, saya tandaskan, belum tahu...." jawabnya santai.

Kehidupan suami istri terkadang dibumbui oleh sikap cuek. Walau pun tanpa disadari arti.cinta sering muncul bersama berjalannya waktu. Ketika hari makin terasa sepi. Maka dia akan hadir dalam bentuk perhatian. Agaknya Alda sangat menyayangkan tutur kata suaminya bernada merendahkan. Seolah-olah perempuan hanya disamarkan dalam kehidupan semu.

"Saya benar-benar tak habis sama kecurigaanmu."

"Sudahlah! Kapan saya bisa selesai makan. Tentu masuk kerja akan terlambat."

"Baiklah..."

Seyogyanya perempuan menuruti saja perintah suaminya. Tanpa disuruh lagi Alda beringsut berdiri hendak ambilkan tas kerja. Sampai di pintu kamar hatinya macam disentakkan oleh pemandangan tak lazim dalam pandangannya. Ada sehelai sapu tangan, lagi pula sejak kapan suaminya hobi sama sapu tangan. Biarpun dia memiliki tentu warnanya serasi atas pemiliknya sekalipun sedikit berat jemarinya meraih.

"Apa mungkin dugaanku selama ini!? Ngak ada ceritanya saya musti menuruti permintaan konyol." Batinnya berusaha menghindari ajakan untuk mengungkap lebih detail.

Sekuat tenaga Alda berupaya tegar hadapi cobaan hidup. Kalau saja dia masih punya orang terdekat, tentu segala unek-unek dicurahkan tanpa pertimbangkan kemunduran hubungan keduanya. Hingga melepas keberangkatan suaminya ke kantor. Seraya merapikan dasi dan mengecup tangan kanan pak Jaka. Romantis sekali keduanya, layaknya burung-burung terbang rendah di antara bunga.

****

Benar adanya Yenni sebagai gadis lugu. Gayanya tidaklah menjadikan kantor kelihatan lebih rapi. Bukankah itu merupakan tugas si kepala pimpinan di ruang pantry. Dia belum punya keberanian buat melawan sesama rekan kerja. Di hari perama dia masih canggung. Ada saja kesalahan di perbuatnya disengaja atau tidak. Sekembali dari ruangan pak Candra.

"Luar biasa....." suara aneh.

Yo.... Kapan saja boleh melontarkan seruan. Langsung nyemplak Yenni ke sadel motor. Dia tadinya mau berangkat jalan kaki, sebab jarak rumàh ke kantor cukup dekat. Kebiasaan Yenni cuma jalan kaki daripada terjebak macet bila naik angkot. Pilihan kedua dia nebeng sama rekannya kebetulan lewat depan rumah.

"Cepetan tunggu apalagi sih, aku sudah kesiangan nih. Takut terlambat...?"

"Nona cantik. Mana ada kata terlambat?" bantahnya.

Pastinya karyawan lainnya juga tahu persis. Bila mana Yenni terlambat masuk atau melakukan kesalahan atas langsung intruksikan jangan diambil tindakan. Waktu rekannya jadi rewel sok kepo. Akibatnya Yenni diberondong pelbagai pertanyaan bertubi-tubi.

"Cepetan..."

"Sabar apa. Ini lagi berusaha hidupkan motor." sanggah rekannya tak mau kalah. Pasti.... Kalo aku tidak salah tebak mau nemui salah seorang staf baru."

"Jangan banyak cingcong. Turuti saja permohonanku. Nanti saya ganti bensinnya."

Motor melaju makin kencang, kuat-kuat Yenni pegang pinggang pengemudi motor. Hatinya sedikit menarik nafas lega. Biar sesekali dia menoleh kebelakang, tentunya punya harapan lelaki brengsek itu mengurungkan niat jahatnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!