(Bukan) Peri Cantik
“SELAMAT datang di Jakarta…”
Seorang gadis berambut panjang dan berkacamata tercengang melihat rumah megah bagai istana.
“Kok bengong?” seorang wanita paruh baya berpenampilan elegan tersenyum padanya. “Ayo masuk.”
“Mama?” gadis itu menunduk.
“Ma, sudah datang?” muncul seorang pria paruh baya berjas. “Jadi ini yang namanya Sashi?”
“Iya.”
“Selamat datang. Kita pernah bertemu, tapi belum sempat mengobrol.”
“Tidak apa-apa.”
“Tidak usah canggung. Saya kan Papa kamu juga.”
Gadis itu tersenyum kecil. “Baik, Pa.”
“Ma, Papa ke kantor dulu.”
“Iya Pa, selamat bekerja.”
“Yuk, Sashi, Papa pergi dulu. Yang betah ya di sini.”
“Iya, Pa.”
Pria paruh baya itu berlalu.
“Bi, barang-barang Sashi tolong dibawa ke kamarnya.”
“Eh enggak usah, Ma… biar aku bawa sendiri.”
“Udah nggak pa-pa. Kamu kan capek abis perjalanan jauh.”
“Tapi…”
“Sudah… sekarang kamu istirahat dulu, kamar kamu ada di atas. Nanti Bi Daruh yang mengantar.”
Tiba di kamarnya yang mewah dan wangi, ia menitikkan air mata.
***
“Neng… Neng Sashi.”
Sashi kaget dan menyimpan foto yang dipegangnya. “Iya masuk aja, Bi.”
Pintu terbuka. “Neng Sashi, dipanggil Ibu.”
“Ngg Bi.” Sashi menghampiri Bi Daruh. “Ada apa ya kira-kira?”
“Waktunya makan malem, Neng.”
“Oh.. ya udah, nanti aku turun ya, Bi.”
“Baik, Neng.”
Setelah Bi Daruh keluar, Sashi memandang foto tadi. Aku cuma nggak mau bikin Ibu khawatir. Aku akan jaga diri, batinnya.
“Sashi, bagaimana tidurnya?” Mama menyambutnya di ruang makan.
Sashi duduk di salah satu kursi. “Alhamdulillah badanku udah enakan, Ma.”
“Bagus kalo gitu.”
“Papa kok nggak ikut makan, Ma?” tanya Sashi sadar mereka cuma berdua.
“Papa masih di jalan. Malah Papa jarang makan di rumah karena sibuk bekerja.”
"Mama jadi suka makan sendirian dong?"
Mama tersenyum. "Sekarang kan ada Sashi yang nemenin Mama."
Sashi balas tersenyum. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.
“Itu anak-anak Mama ya?” tanya Sashi melihat foto keluarga.
“Iya. Anak Mama ada tiga. Semuanya laki-laki. Yang pertama sudah menikah dan sedang melanjutkan S2 di Jerman. Yang kedua bekerja di Singapore. Dan bungsunya Mama tinggal di sini. Masih kuliah,” jelas Mama.
Sashi mengangguk-angguk. Seneng ya punya saudara, batinnya.
Terdengar suara mobil.
“Kayaknya Dev sudah pulang.” Mama berdiri.
“Siapa Dev, Ma?” Sashi bertanya.
“Oh anak bungsu Mama. Namanya Syaher Dev Pragandi.”
Sashi mengangguk-angguk.
“Hai, Ma!”
“Hai Sayang… gimana acara kampusnya? Seru?”
“Seru dong, Ma.”
Sashi mendongak melihat cowok bertubuh tinggi berwajah ganteng cipika-cipiki dengan Mama.
Ini yang namanya Dev?
“Papa mana, Ma?”
“Kayaknya masih di jalan. Oh ya ini kenalin.”
Mata Dev menghujam Sashi yang menatapnya terkesima.
“Ini siapa, Ma? Pembantu baru? Kenapa diajak makan bareng kita?”
Ups! Pembantu?
Wajar disebut pembantu, penampilannya lusuh.
Rok selutut kuningnya sudah kusam karena bertahun-tahun dipakai. Kaos birunya sudah pudar warnanya. Tambah lagi rambutnya yang kurang terawat dan diikat sekenanya.
Bener-bener enggak enak dilihat.
“Bukan, Nak. Ini Sashi. Anaknya teman Mama. Baru pindah dari Tasik. Dan sekarang Sashi akan tinggal sama kita,” jelas Mama.
“Apa?” suara Dev meninggi. “Yang bener aja, Ma? Cewek kayak dia mau tinggal di sini?”
“Jangan begitu, Nak. Sashi sudah Mama anggap anak sendiri.”
Sashi diam saja. Dev tidak menyukainya.
Jelas aja, cowok sekeren Dev mana mungkin tertarik padanya.
Sedangkan Dev, Papa Gandi yang blasteran Indonesia-India-Pakistan, dipadukan dengan Mama Rosa yang asli Bandung, melahirkan komposisi sempurna menjadi cowok ganteng kayak Dev.
“Terserah Mama deh.” Dev menenteng tasnya pergi.
Mama geleng-geleng kepala. “Maafin sikap Dev ya, Sashi.”
“Iya nggak pa-pa kok, Ma.” Sashi tersenyum masam.
“Ya mungkin karna Mama terlalu manjain dia. Setelah kakak-kakaknya tinggal masing-masing, cuma Dev yang nemenin Mama, jadi Mama nggak ijinin waktu Dev pengen kuliah di Inggris.”
“Lho memangnya kenapa, Ma? Bukannya bagus ya bisa belajar mandiri?”
“Mama nggak setuju Dev ke Inggris karena Dev punya penyakit asma sejak kecil. Kalo mesti kuliah jauh-jauh, Mama nggak tenang karena nggak ada yang jagain dia. Tapi Dev malah marah katanya Mama nggak percaya sama dia.”
Sashi paham. Pantes aja Dev ngambek. Keinginannya tidak terpenuhi.
“Tapi, setelah Mama dan Papa keluar dari rumah sakit, Alhamdulillah Dev lupa sama keinginannya kuliah di luar negeri, dan tetap tinggal bersama Mama.”
Yang Sashi dengar Mama Rosa dan Papa Gandi sempat sakit parah. Wajar Dev takut meninggalkan orangtuanya.
Mama membaca SMS di HP-nya. “Waduh Papa nggak jadi pulang, ada meeting mendadak. Ya sudah kita makan saja duluan.”
Sashi menurut, dan membalikkan piringnya.
“Ayo makan yang banyak.” Mama menyodorkan piring berisi lauk. “Habis ini kita ke mal beli keperluan kamu.”
“Aduh Ma, enggak usah.”
“Lho kamu kan mulai kuliah dan banyak keperluan. Baju, sepatu, tas, dan banyak lagi. Pokoknya kuliah yang serius. Kalo perlu apa-apa, jangan sungkan bilang ke Mama.”
Diperlakukan begini membuat Sashi sungkan. Mama Rosa sampe segininya ngemanjain dia.
“Baik, Ma,” jawab Sashi akhirnya.
Mama tersenyum.
Sambil makan, Sashi diam-diam melirik Mama Rosa. Dia jadi merindukan almarhum ibunya. Bersama Mama membuatnya merasakan kehadiran ibunya.
***
Ibunya Sashi meninggal karena kecelakaan.
Sashi tidak tahu karena saat kejadian ia sedang berlibur ke Pulau Seribu bersama teman-temannya merayakan kelulusan SMA. Ketika di pulau, karena tidak ada sinyal HP, Sashi tidak menerima kabar kecelakaan ibunya.
Hingga ketika tiba di rumah, dia diberi tahu tetangganya bahwa ibunya sudah dikebumikan dua hari sebelumnya karena tidak mungkin menunggunya pulang. Sashi shock mendengar ibunya meninggal tertabrak mobil.
Mama Rosa dan Papa Gandi adalah teman ibunya yang mengangkatnya jadi anak selepas ibu meninggal, karena ia sebatang kara tak ada saudara yang tersisa.
***
“Ini hari pertama kamu kuliah. Jangan lupa pesen Mama ya, jaga diri kamu. Apalagi kamu baru di Jakarta.” Mama berpesan ketika sarapan.
“Iya Ma.” Sashi mengangguk patuh.
Muncul Dev langsung mencomot roti selai. “Ma, hari ini aku pake motor ya?”
“Motor?” Mama khawatir. “Aduh Sayang… Bawa mobil aja ya?”
“Yah Mama…” Dev merajuk.
“Pake mobil aja, kan ada Sashi. Tolong bantu Sashi daftar ulang juga ya, dia kan baru di Jakarta. Kamu harus jagain dia. Ya, Sayang?”
Dev mendelik ke Sashi yang menggigit rotinya gelisah. “Yang bener aja, Ma? Apa kata temen-temen aku nanti? Aku pergi sama cewek nggak jelas.”
“Bersikap baik lah sama Sashi, Dev.”
Dibela begitu, Sashi bisa merasakan Dev menatapnya sinis abis.
“Ya udah, yuk berangkat!” seru Dev ketus.
Sashi menuntaskan sarapannya dan meminum susu. “Ma, aku berangkat dulu ya?” ia menenteng tas dan mencium tangan Mama. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Berbieliza
swmangt klu bwrkwnan mpit juga
2023-05-28
0