“SELAMAT datang di Jakarta…”
Seorang gadis berambut panjang dan berkacamata tercengang melihat rumah megah bagai istana.
“Kok bengong?” seorang wanita paruh baya berpenampilan elegan tersenyum padanya. “Ayo masuk.”
“Mama?” gadis itu menunduk.
“Ma, sudah datang?” muncul seorang pria paruh baya berjas. “Jadi ini yang namanya Sashi?”
“Iya.”
“Selamat datang. Kita pernah bertemu, tapi belum sempat mengobrol.”
“Tidak apa-apa.”
“Tidak usah canggung. Saya kan Papa kamu juga.”
Gadis itu tersenyum kecil. “Baik, Pa.”
“Ma, Papa ke kantor dulu.”
“Iya Pa, selamat bekerja.”
“Yuk, Sashi, Papa pergi dulu. Yang betah ya di sini.”
“Iya, Pa.”
Pria paruh baya itu berlalu.
“Bi, barang-barang Sashi tolong dibawa ke kamarnya.”
“Eh enggak usah, Ma… biar aku bawa sendiri.”
“Udah nggak pa-pa. Kamu kan capek abis perjalanan jauh.”
“Tapi…”
“Sudah… sekarang kamu istirahat dulu, kamar kamu ada di atas. Nanti Bi Daruh yang mengantar.”
Tiba di kamarnya yang mewah dan wangi, ia menitikkan air mata.
***
“Neng… Neng Sashi.”
Sashi kaget dan menyimpan foto yang dipegangnya. “Iya masuk aja, Bi.”
Pintu terbuka. “Neng Sashi, dipanggil Ibu.”
“Ngg Bi.” Sashi menghampiri Bi Daruh. “Ada apa ya kira-kira?”
“Waktunya makan malem, Neng.”
“Oh.. ya udah, nanti aku turun ya, Bi.”
“Baik, Neng.”
Setelah Bi Daruh keluar, Sashi memandang foto tadi. Aku cuma nggak mau bikin Ibu khawatir. Aku akan jaga diri, batinnya.
“Sashi, bagaimana tidurnya?” Mama menyambutnya di ruang makan.
Sashi duduk di salah satu kursi. “Alhamdulillah badanku udah enakan, Ma.”
“Bagus kalo gitu.”
“Papa kok nggak ikut makan, Ma?” tanya Sashi sadar mereka cuma berdua.
“Papa masih di jalan. Malah Papa jarang makan di rumah karena sibuk bekerja.”
"Mama jadi suka makan sendirian dong?"
Mama tersenyum. "Sekarang kan ada Sashi yang nemenin Mama."
Sashi balas tersenyum. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.
“Itu anak-anak Mama ya?” tanya Sashi melihat foto keluarga.
“Iya. Anak Mama ada tiga. Semuanya laki-laki. Yang pertama sudah menikah dan sedang melanjutkan S2 di Jerman. Yang kedua bekerja di Singapore. Dan bungsunya Mama tinggal di sini. Masih kuliah,” jelas Mama.
Sashi mengangguk-angguk. Seneng ya punya saudara, batinnya.
Terdengar suara mobil.
“Kayaknya Dev sudah pulang.” Mama berdiri.
“Siapa Dev, Ma?” Sashi bertanya.
“Oh anak bungsu Mama. Namanya Syaher Dev Pragandi.”
Sashi mengangguk-angguk.
“Hai, Ma!”
“Hai Sayang… gimana acara kampusnya? Seru?”
“Seru dong, Ma.”
Sashi mendongak melihat cowok bertubuh tinggi berwajah ganteng cipika-cipiki dengan Mama.
Ini yang namanya Dev?
“Papa mana, Ma?”
“Kayaknya masih di jalan. Oh ya ini kenalin.”
Mata Dev menghujam Sashi yang menatapnya terkesima.
“Ini siapa, Ma? Pembantu baru? Kenapa diajak makan bareng kita?”
Ups! Pembantu?
Wajar disebut pembantu, penampilannya lusuh.
Rok selutut kuningnya sudah kusam karena bertahun-tahun dipakai. Kaos birunya sudah pudar warnanya. Tambah lagi rambutnya yang kurang terawat dan diikat sekenanya.
Bener-bener enggak enak dilihat.
“Bukan, Nak. Ini Sashi. Anaknya teman Mama. Baru pindah dari Tasik. Dan sekarang Sashi akan tinggal sama kita,” jelas Mama.
“Apa?” suara Dev meninggi. “Yang bener aja, Ma? Cewek kayak dia mau tinggal di sini?”
“Jangan begitu, Nak. Sashi sudah Mama anggap anak sendiri.”
Sashi diam saja. Dev tidak menyukainya.
Jelas aja, cowok sekeren Dev mana mungkin tertarik padanya.
Sedangkan Dev, Papa Gandi yang blasteran Indonesia-India-Pakistan, dipadukan dengan Mama Rosa yang asli Bandung, melahirkan komposisi sempurna menjadi cowok ganteng kayak Dev.
“Terserah Mama deh.” Dev menenteng tasnya pergi.
Mama geleng-geleng kepala. “Maafin sikap Dev ya, Sashi.”
“Iya nggak pa-pa kok, Ma.” Sashi tersenyum masam.
“Ya mungkin karna Mama terlalu manjain dia. Setelah kakak-kakaknya tinggal masing-masing, cuma Dev yang nemenin Mama, jadi Mama nggak ijinin waktu Dev pengen kuliah di Inggris.”
“Lho memangnya kenapa, Ma? Bukannya bagus ya bisa belajar mandiri?”
“Mama nggak setuju Dev ke Inggris karena Dev punya penyakit asma sejak kecil. Kalo mesti kuliah jauh-jauh, Mama nggak tenang karena nggak ada yang jagain dia. Tapi Dev malah marah katanya Mama nggak percaya sama dia.”
Sashi paham. Pantes aja Dev ngambek. Keinginannya tidak terpenuhi.
“Tapi, setelah Mama dan Papa keluar dari rumah sakit, Alhamdulillah Dev lupa sama keinginannya kuliah di luar negeri, dan tetap tinggal bersama Mama.”
Yang Sashi dengar Mama Rosa dan Papa Gandi sempat sakit parah. Wajar Dev takut meninggalkan orangtuanya.
Mama membaca SMS di HP-nya. “Waduh Papa nggak jadi pulang, ada meeting mendadak. Ya sudah kita makan saja duluan.”
Sashi menurut, dan membalikkan piringnya.
“Ayo makan yang banyak.” Mama menyodorkan piring berisi lauk. “Habis ini kita ke mal beli keperluan kamu.”
“Aduh Ma, enggak usah.”
“Lho kamu kan mulai kuliah dan banyak keperluan. Baju, sepatu, tas, dan banyak lagi. Pokoknya kuliah yang serius. Kalo perlu apa-apa, jangan sungkan bilang ke Mama.”
Diperlakukan begini membuat Sashi sungkan. Mama Rosa sampe segininya ngemanjain dia.
“Baik, Ma,” jawab Sashi akhirnya.
Mama tersenyum.
Sambil makan, Sashi diam-diam melirik Mama Rosa. Dia jadi merindukan almarhum ibunya. Bersama Mama membuatnya merasakan kehadiran ibunya.
***
Ibunya Sashi meninggal karena kecelakaan.
Sashi tidak tahu karena saat kejadian ia sedang berlibur ke Pulau Seribu bersama teman-temannya merayakan kelulusan SMA. Ketika di pulau, karena tidak ada sinyal HP, Sashi tidak menerima kabar kecelakaan ibunya.
Hingga ketika tiba di rumah, dia diberi tahu tetangganya bahwa ibunya sudah dikebumikan dua hari sebelumnya karena tidak mungkin menunggunya pulang. Sashi shock mendengar ibunya meninggal tertabrak mobil.
Mama Rosa dan Papa Gandi adalah teman ibunya yang mengangkatnya jadi anak selepas ibu meninggal, karena ia sebatang kara tak ada saudara yang tersisa.
***
“Ini hari pertama kamu kuliah. Jangan lupa pesen Mama ya, jaga diri kamu. Apalagi kamu baru di Jakarta.” Mama berpesan ketika sarapan.
“Iya Ma.” Sashi mengangguk patuh.
Muncul Dev langsung mencomot roti selai. “Ma, hari ini aku pake motor ya?”
“Motor?” Mama khawatir. “Aduh Sayang… Bawa mobil aja ya?”
“Yah Mama…” Dev merajuk.
“Pake mobil aja, kan ada Sashi. Tolong bantu Sashi daftar ulang juga ya, dia kan baru di Jakarta. Kamu harus jagain dia. Ya, Sayang?”
Dev mendelik ke Sashi yang menggigit rotinya gelisah. “Yang bener aja, Ma? Apa kata temen-temen aku nanti? Aku pergi sama cewek nggak jelas.”
“Bersikap baik lah sama Sashi, Dev.”
Dibela begitu, Sashi bisa merasakan Dev menatapnya sinis abis.
“Ya udah, yuk berangkat!” seru Dev ketus.
Sashi menuntaskan sarapannya dan meminum susu. “Ma, aku berangkat dulu ya?” ia menenteng tas dan mencium tangan Mama. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya!”
***
Di mobil, Dev tidak banyak bicara.
Sashi di sebelahnya, sesekali meliriknya takut-takut. Ia tahu betul Dev tidak menyukainya.
“Ngapain liatin gue kayak gitu?” tembak Dev dingin, tanpa menoleh, tanpa senyum.
Sashi gelagapan, dan membetulkan letak kacamatanya. Nyalinya ciut berhadapan dengan makhluk dingin ini.
Tiba-tiba Dev membelokkan mobil ke jalan kecil, dan berhenti di bawah pepohonan.
“Kok berenti di sini, Kak?” tanya Sashi takut-takut.
Seketika tatapan Dev menyambarnya, tajam. “Lo sebenernya siapa sih? Tiba-tiba dateng tinggal di rumah gue, dan ambil hati nyokap gue!”
Sashi bingung. “Ngg aku Sashi. Kok Kakak marah sama aku?”
“Gue bukan nanya nama lo, b*go! Gue udah tau nama lo Sashi Lestari, asal Tasik. Yang gue tanya, lo punya hubungan apa sama orangtua gue sampe mereka lebih belain lo daripada gue, anaknya!?”
Dibentak gitu, Sashi makin ngeri. “Yang aku tau, Mama Rosa itu temen almarhum ibu. Gitu aja.”
“Temen? Lo pikir gue percaya?”
“Aku nggak bohong, Kak…” Sashi tergagap takut.
“Kakak.. Kakak! Emang gue Kakak lo?!” bentak Dev sadis.
“Tapi…” Dev kan dua tahun di atas dia. Rasanya kurang sopan kalau memanggil hanya nama. Secara usia Sashi yang paling muda di rumah sekarang.
“Gue nggak peduli siapa lo, tapi gue nggak suka nyokap belain lo! Bahkan ngakuin lo jadi saudara gue aja gue nggak sudi. Jangan-jangan lo niat jahat sama keluarga gue! Hah!”
Sashi menggeleng takut. “Aku nggak maksud buruk sama keluarga kamu, Kak… eh maksudku, Dev.”
“Jangan sok lugu deh lo!”
Dibentak begitu Sashi makin ketakutan.
Dev menatapnya tajam. “Hebat ya lo, baru sehari di Jakarta, udah dapet segalanya. Baju baru, tas baru, sama ini…” Dev mengibaskan rambut Sashi yang rapi hasil salon. “Make over sampai gimana juga, tetep aja di mata gue, lo kampungan…”
“Kenapa kamu benci sama aku?”
“Kenapa? Lo masih tanya kenapa?! Lo ngaca dong, cewek kampung! Gue harus jagain lo! Yang ada lo dikira pacar gue! Nggak banget deh!”
“Kalo kamu malu, kamu bisa pura-pura nggak kenal sama aku. Beres kan.”
Dev mendengus keras dan menyalakan mobil lagi. “Terserah deh!”
Sementara mobil melaju, Sashi berusaha sabar. Walau sakit hati dengan kata-kata Dev barusan.
Tapi masa' iya cuma karena nggak suka dia jagain aku, dia maki-maki aku sampai begitu? Apa aku bikin salah sama dia? Batinnya.
***
“Sas, ke kantin yuk?” ajak Maya, teman barunya setelah mata kuliah selesai.
Sashi agak enggan. "Ngg..."
“Yuk ah.. emang Sashi nggak laper?” bujuk Maya lagi.
“Yuk deh.” Sashi menurut.
Sambil jalan menuju kantin, Maya menjelaskan keadaan kampusnya.
“Mending Sashi ikut Maya gabung di buletin kampus. Di sana kita bisa belajar jadi reporter juga lho.”
“Boleh juga. Berarti bisa mengasah kemampuan komunikasi dong.”
"Bener banget. Maya suka gabung di buletin kampus tapi Maya nggak punya temen."
Maya yang pintar dan kuper ini langsung klop begitu kenalan di kelas barusan. Karena mereka duduk bersebelahan.
“Sashi mau pesen apa?”
“Bakso aja.”
“Wah pas banget Maya juga mau bakso. Maya pesenin ya.” Maya langsung berlalu.
Sashi membuka tas mengeluarkan dompet. Mama memberinya uang saku cukup banyak. Dia berniat mentraktir Maya sebagai tanda perkenalan mereka.
Sambil menunggu, Sashi memperhatikan suasana kampus.
Akhirnya, ia bisa kuliah. Padahal semula ia pikir bangku kuliah hanya mimpi saja. Selain tidak cukup pintar untuk dapat beasiswa, Ibu hanya berjualan sayur di pasar, yang hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan mereka sehari-hari saja.
Dan sekarang bukan mimpi dirinya bisa kuliah.
“Eh udah denger kabar belum?”
“Kabar apa?”
“Dev mau tanding basket sama Nino. Ngerebutin Agnes.”
“Lho? Bukannya Dev pacarnya Caroline?”
“Iya, kok bisa rebutin Agnes?”
“Mereka kan udah putus tadi pagi.”
“Yang bener lo?! Emang kenapa mereka putus?”
“Mana gue tau.. kayak nggak tau aja gimana Dev?”
Obrolan para mahasiswi di kantin, menarik perhatian Sashi. Dia jadi nguping.
Tapi apa Dev yang mereka maksud itu Dev yang dia kenal? Yang ganteng tapi sombongnya selangit.
Apa ada Dev yang lain?
“Sorry nunggu lama, maklum ngantri.” Muncul Maya.
“Neng, ini pesanannya.” Penjaga kantin muncul membawa bakso dan minuman.
“Iya Pak. Bentar ya.”
“Eh biar aku aja yang bayar.” Sashi mengeluarkan uang.
“Eh serius Sashi bayarin?”
“Nggak pa-pa. Sekali-kali. Yuk makan."
Maya pun makan dengan senang hati.
Sashi masih pasang telinga mendengar yang bergosip.
“Jam berapa pertandingannya?”
“Jam satu nanti.”
“Gila ya, si Agnes beruntung direbutin dua cowok keren! Coba kalo gue, nggak perlu mikir gue pasti milih Dev. Lebih ganteng, lebih kaya, populer, lagi!”
“Bloon lo, mau aja dimainin sama playboy kayak Dev.”
“Yang penting dia ganteng dan tajir.”
“Huuuu kegatelan aja lo..”
“Sas, kok nggak dimakan?” tegur Maya.
“Eh dimakan kok.” Sashi mulai makan.
“Ya harus dimakan. Bakso di sini paling top deh.” Maya berbisik. “Abis ini kita ke lapangan basket ya.”
“Ngapain?”
“Kak Dev mau tanding basket.”
“Kak Dev?” Sashi pura-pura nggak kenal. “Siapa itu? Dari jurusan kita?”
Maya menepuk jidat. “Oh iya, Sashi kan baru di sini. Kak Dev dari jurusan Psikologi tahun kedua. Cowok playboy paling populer di kampus. Kerjaannya gonta-ganti pacar melulu.”
Ooooo…. Pantes aja sih, karena Dev memiliki semua syarat yang diperlukan untuk dapet predikat playboy.
“Kalo Sashi liat pasti naksir deh. Gantengnya nggak ada lawan….” Maya menaik-naikkan alis lucu.
Sashi mesem. “Eh nama lengkapnya siapa?”
“Syaher Dev Pragandi.”
Berarti bener.
Pantas saja Dev tidak menyukainya. Pamor Dev bisa turun kalo sampe pada tahu dia -cewek yang biasa saja- tinggal serumah dengannya.
***
“AYO DEVVVVVVV! SEMANGAT!!”
“SEMANGAT DEVVVVVVVVV!!”
“GO GO GO, DEV!!”
“AYOOOO NINOOOO…!!”
Teriakan heboh mengiringi pertandingan antara Dev dan Nino, memperebutkan si cantik Agnes.
“Cepetan, Sas! Tuh liat, yang namanya Kak Dev!” Maya heboh begitu tiba di lapangan basket. Sudah ramai, banyaknya para cewek yang jadi supporter. Semua tak lupa mengarahkan HP mengambil foto cowok ganteng bernama Dev.
Sashi ngos-ngosan karena diajak lari.
“Sini, Sas!”
“Bentar dong, May! Ambil nafas dulu..” sungut Sashi sambil menarik nafas pelan-pelan.
“Pertandingannya udah mulai dari tadi. Ayooooo Kaakkk…!!” Maya ikut-ikutan teriak.
“Emang kamu dukung siapa?”
“Nggak tau, ikutan support aja. Lagian bukan Maya yang direbutin. Ayoooooo Kakkkkkkk…!”
Dasar Maya!
Sashi mengelap keringat dan melihat ke depan. Capeknya langsung hilang melihat Dev berhadapan dengan cowok bertubuh tinggi yang ganteng dan berkulit coklat, namanya Nino.
Dev seperti biasa, wajah angkuh dan sombong, pedenya selangit.
Tanpa sadar Sashi memandangi Dev terus.
Ganteng banget ya, batinnya tak sadar memuji Dev.
Ups! Nggak salah Dev emang ganteng. Lengannya putih mulus terlihat macho. Rambutnya menutupi dahi, tatapan matanya tajam.
“Sashi awassss!!”
Teriakan Maya teredam suara lain, dan…
Bruukkkk!!
Bola basket menubruk bahu Sashi keras, membuatnya terpental jatuh.
“Sashiiii!”
“Duuuuhh!” Sashi memegang bahunya. Kacamatanya lepas dan terjatuh.
“Eh sorry, gue nggak sengaja.” Ternyata Nino yang muncul.
Suasana lapangan langsung riuh karena pertandingan terputus.
“Lo mau kabur dari pertandingan?” todong Dev ketus.
Nino menoleh kesal. “Dev, gue bukan kabur, tapi lo liat sendiri dia kena bola gue!” Nino meraih kacamata Sashi. “Untung nggak rusak. Sekali lagi sorry."
Tatapan Dev beralih pada Sashi yang terduduk di lantai. Sempat kaget, namun Dev berusaha cuek. “Ahh gue kira apaan, cewek kampung doang diurusin?”
Sashi terdiam, walau kesakitan.
Semua bersorak meminta pertandingan dilanjutkan.
Maya membantu Sashi berdiri. “Kita pergi aja yuk, Sas!”
Saat itu Nino melihat jelas wajah Sashi dan terperangah, tatapannya sulit diartikan.
Sashi mengenakan kacamatanya dan bergegas pergi bersama Maya.
Dev mendengus keras dan memalingkan wajah.
***
“GUE mau ngomong!”
Langkah Sashi terhenti. Ia tahu Dev memanggil, eh lebih tepat membentaknya.
Tapi kenapa mesti di depan kamarnya?
Pantas sejak makan malam bersama Mama tadi tatapan cowok ini seperti ingin menelannya hidup-hidup.
“Gue mau bikin perhitungan sama lo!” Dev menunjuk Sashi, rahangnya mengeras marah membuat Sashi takut.
“Aku salah apa?”
“Gara-gara lo! Gue dipermalukan!”
“Maksudnya? Aku nggak ngerti.”
“Lo sengaja kan, diem di pinggir lapangan dan kena bola nyasar Nino? Gara-gara dia nolongin lo, dia nggak mau lanjutin pertandingan, sehingga Agnes jadi pacar gue telak. Semua jadi pada ngeremehin gue, bisa gampang dapetin Agnes gara-gara lo bikin kacau di pertandingan!”
“Aku nggak bermaksud gitu.”
“Nggak usah sok lugu deh lo! Lo pikir gue bangga bisa dapetin Agnes dengan gampang? Itu malah jatuhin harga diri gue!”
“Kalo kamu nggak cinta sama Agnes, untuk apa kamu pacarin dia?”
“Heh! Lo enggak usah sok ngajarin gue! Cewek kampung kayak lo nggak seharusnya ada di sini! Lagian lo ngapain sih pake ikut nonton basket? Mau sok gaul? Apa di kampung lo nggak ada cowok keren yang tanding basket?”
Sashi tidak berani menatapnya.
“Sekali lagi lo bikin ulah, liat aja!” Dev berbalik masuk kamarnya yang berada di depan kamar Sashi dan membanting pintu keras.
Sashi mengelus dada. “Sabar, sabar..”
***
Belum ada seminggu, Dev putus dengan Agnes. Kabar itu mengejutkan seisi kampus. Gelar playboy Dev makin tenar aja.
Sashi mendengar Agnes broken heart diputusin Dev.
“Hai.”
Tiba-tiba Nino muncul di sebelahnya.
“Eh.. hai, Kak.” Ia buru-buru menyelipkan secarik kertas yang sejak tadi dipandanginya dalam buku.
“Kita belum kenalan lho.” Nino mengulurkan tangan. “Nino. Nama kamu siapa?”
“Sashi.” Ia membalas.
“Sorry banget tentang kejadian kemaren, aku beneran nggak sengaja.”
“Nggak pa-pa. Kak Nino kan udah minta maaf.” Sashi mengalihkan perhatian pada diktat kuliahnya.
“Tapi bahu kamu?”
“Udah mendingan.”
“Syukurlah. Aku janji lain kali bakal hati-hati.” Nino tersenyum bersahabat. “Oya kamu udah makan?”
“Belum.”
“Kita makan di kantin yuk? Aku traktir.”
“Hah? Ngg enggak usah.” tolak Sashi.
“Kenapa?” Nino heran. “Takut sama pacar kamu?”
“Pacar? Eh enggak, bukan, aku nggak punya pacar kok.”
“Trus?”
“Aku ada kelas.”
“Oh gitu.. tapi kapan-kapan aku mau traktir kamu, sebagai tanda perkenalan kita. Oh ya, nomor HP kamu berapa?”
Sashi mencatat nomornya di HP Nino.
“Oke, Sashi. Selamat belajar ya. See you.”
Begitu Nino pergi, Sashi termangu. Sampai tidak sadar cewek mungil berambut keriting sudah berdiri di belakangnya.
“Sashi!”
Ia terlonjak. “Maya!”
Maya nyengir sambil merangkulnya. “Ada yang kenalan nih sama Kak Nino? Cieeeee…..”
Sashi mendelik sebel. “Apaan sih, enggak usah gitu mukanya.”
“Lagian, Maya cariin dari tadi malah asyik kenalan sama Kak Nino. Dia ngomong apa sama Sashi?”
“Cuma minta maaf tentang kejadian kemaren.”
“Oooo…. Eh, Sashi udah denger kalo Kak Dev sama Agnes putus?”
“Iya tau. Emang kenapa mereka putus?” ia iseng bertanya.
“Nggak tau. Kak Dev kan emang begitu. Nggak pernah diduga, kapan aja bisa jadian dan putusin cewek.”
“Oh ya?”
“He-eh… itu sih yang Maya denger aja. Walau gitu, tetep aja banyak yang suka sama dia. Bahkan banyak yang mau jadi pacarnya walau cuma sehari.”
“Segitunya sama cowok judes gitu,” gumam Sashi.
“Kok Sashi tau Kak Dev judes? Emang Sashi pernah ngobrol sama Kak Dev?”
Ups! Hampir keceplosan. “Ngg masa’ kamu lupa di lapangan basket dia ngatain aku cewek kampung?”
“Oh iya ya.”
“Ke kelas yuk? Bentar lagi mata kuliah Kewirausahaan.”
Sambil jalan ke kelas, mereka melihat Dev dan Nino di ujung koridor kampus yang sepi. Saling berhadapan dengan tatapan menghujam.
Dua cowok itu berdebat entah apa. Yang pasti Dev terlihat kesal.
***
“Hai Sas…”
Sashi dan Maya kaget tiba-tiba ada motor menghadang mereka.
“Eh Kak Nino, ada apa?”
“Pulang bareng yuk?” tawar Nino. “Aku anterin.”
Sashi saling pandang dengan Maya yang tersenyum jail.
“Udahhhh mau aja.”
Belum dijawab, melintas mobil hitam metalik dan berhenti. Kaca mobil diturunkan. Maya langsung meremas tangan Sashi heboh.
“Kak Dev tuh!”
Sashi diam saja karena Dev menatapnya tajam.
“Hati-hati, No.. cewek kampung kayak dia mana biasa naik motor keren. Yang ada lo bakal malu.” Dev lagi-lagi menghinanya.
Nino mengibaskan tangan. “Cuekin aja, Sas. Yuk aku anter.”
Dev tersenyum sinis dan melajukan mobilnya.
“Ngg aku mau ke mal dulu, Kak.” Sashi hampir lupa Dev mengancam supaya tutup mulut tentang mereka serumah.
“Oh ya udah biar aku temenin.”
Akhirnya Sashi setuju.
“May, aku duluan ya?”
Maya mengangguk.
Sashi memakai helm dan naik ke boncengan Nino.
“Siap? Pegangan aja, biar aman.”
Ragu-ragu tangan Sashi memegang pundak Nino.
Motor melaju cepat meninggalkan kampus.
***
“Jadi kamu baru di Jakarta?”
Setelah menemani Sashi berbelanja kebutuhan pribadinya, Nino langsung mengajaknya makan di kafe.
“Yah belum seminggu juga.”
“Oh jadi di lapangan basket itu hari pertama kuliah dong?”
“Iya.” Sashi mengaduk-aduk minumannya. “Kakak nggak malu jalan sama aku?”
“Kenapa mesti malu?”
“Aku dari kampung. Nggak pantes aku ada di tempat begini.”
“Siapa bilang? Ini kan tempat umum. Nggak ada yang salah sama kamu.”
Sashi membetulkan letak kacamatanya. “Emang Kakak mau berteman sama aku?”
Nino tertawa pelan. “Sashi .. Sashi, apa ada alasan aku enggak mau berteman sama kamu?”
“Ya Kakak kan populer. Punya temen kayak aku…?”
“Eh udah enggak usah mellow gitu. Aku berteman bukan liat fisik. Tapi aku nyaman ada di deket kamu. Enggak usah canggung gitu.”
Sashi agak lega. Tapi….. “Kak, aku boleh tanya?”
“Tanya aja.”
“Emang beneran ya Kakak sama Dev rebutin Agnes?”
Nino geleng-geleng kepala. “Perlu aku jelasin. Aku udah nembak Agnes duluan. Tapi Dev nggak mau kalah dan nantangin. Apalagi Agnes udah lama suka sama Dev. Girang banget tuh Agnes begitu tau kami tanding buat dia. Sekarang giliran udah putus, baru deh nangis-nangis sama aku. Tapi aku udah ilang feeling sama dia.”
“Emang segitunya teganya ya Dev, sama cewek-cewek?”
“Emang gitu sifatnya. Aku kan sahabatan sama dia dari SMP.”
“Oh ya? Kalian sahabat kok malah saingan?”
Nino terdiam sebentar dan tersenyum. “Namanya juga persahabatan. Ada saatnya ribut supaya makin akrab dan saling percaya. Yah aku sih berharap dia berenti mainin perasaan cewek-cewek. Eh kok kita malah ngomongin Dev?”
Sashi mesem-mesem.
“Jangan-jangan kamu naksir dia?”
“Enggak kok. Cuma pengen tau aja. Soalnya tadi aku nggak sengaja liat kalian berdua kayak mau berantem gitu.”
Nino mengibaskan tangan. “Masalah cowok. Eh di Jakarta tinggal sama siapa?”
“Sama orangtua angkatku.”
“Angkat? Emang orangtua kandung kamu ke mana?”
Sashi tersenyum kecut. “Orangtuaku udah meninggal.”
Nino kaget. “Duh sorry, aku nggak maksud...”
“Nggak pa-pa. Kan aku punya Mama dan Papa yang sayang sama aku. Itu udah cukup.”
“Syukur deh kalo masih ada orangtua, meski angkat. Tapi kamu bener nggak punya sanak saudara, gitu?”
Sashi menggeleng namun raut wajahnya agak ragu.
Nino menggenggam tangannya. “Mulai sekarang kamu bisa anggap aku abang kamu.”
“Makasih Kak.” Sashi terharu ada yang perhatian padanya.
“Santai aja. Aku anak tunggal. Papa Mama cuma sibuk kerja. Mereka jarang banget ada di rumah. Aku nyaris nggak pernah ketemu sama mereka.”
Sashi kasihan. “Kakak pasti kangen mereka.”
Nino tersenyum kecut. “Aku udah buang jauh-jauh perasaan mellow gitu. Lagian, aku juga kan masih menikmati fasilitas yang mereka kasih.”
“Tapi yang penting, orangtua Kakak masih ada.”
“Ya mungkin aku cuma perlu belajar bersyukur aja.” Nino menghela nafas. “Yang penting, sekarang aku punya adik yang ingin aku jaga.”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!