"Maaf karena telat mengunjungimu,"
Itu adalah suara Dirga yang tengah berdiri di depan makam sang kekasih dengan tangan kanan membawa buket bunga mawar putih—kesukaan kekasihnya. Dirga berjongkok, menatap dalam sayu batu nisan yang tertera jelas nama sang pujaan. Jemarinya bergerak, mengusap lembut nama cantik dalam pahatan berwarna emas itu. Selalu saja pribadi itu melihat ke belakang, mengingat semua waktu yang mereka habiskan. Hatinya semakin sakit mengingat semua itu. Dengan satu tarikan nafas panjang, Dirga memilih untuk menyudahi dan bangkit dari tempatnya. Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu juga meninggalkan senyuman seraya membayangkan cantik dan manisnya senyuman sang wanita. Selepas sepuluh menit berlalu, kedua tungkainya kembali digerakkan menjauh dari makam.
Kedua tangannya masuk ke dalam saku mantelnya, langkahnya melewati para pengunjung lain yang juga tengah menjenguk orang terkasih di tempat peristirahatan terakhir yang begitu tenang dan damai ini. Diam-diam membuat senyumannya merekah, Dirga merasa bersyukur pada mereka-mereka yang masih mengingat sosok yang telah pergi. Mereka yang pergi juga sangat merindukan sosok terkasih, namun tak bisa melakukan apapun selain menunggu kedatangan orang-orang yang mereka tunggu. Bahkan, mereka juga rela mendengar keluh kesah. Walau kehadirannya tak nyata, tapi bisa menjadi pendengar setia tanpa mengkhawatirkan pengkhianatan.
Selagi berjalan menuju pintu keluar, secara tiba-tiba pucuk kepalanya merasakan tetesan air hujan. Selama tidak hujan deras, Dirga tetap akan mempertahankan kecepatan langkahnya, terlalu malas untuk bergerak cepat—dia tidak sedang dikejar waktu. Hanya saja, tanpa dia duga jika hujan deras mendadak menyerang, mau tidak mau Dirga berlari guna mencari tempat untuk berteduh sementara. Pun ia menjumpai gubuk kecil, tanpa pikir panjang dirinya mengarah ke tempat tersebut guna melindungi diri dari hal yang dia benci. Pribadi itu duduk dengan menghilangkan buliran air yang menempel pada serat mantelnya. Langit yang tadinya tak begitu mendung, kini tampak semakin gelap yang membuat hujan juga semakin deras. Tidak tahu berapa lama Dirga harus menunggu di sini, tak ada sesuatu yang membuatnya bisa menerobos hujan. Lantas kedua tangannya segera dilipat di depan dada, menoleh ke segala arah hanya untuk melihat orang-orang yang berjalan di bawah payung. Tak sedikit juga dari mereka yang memilih untuk menerobos, menimbulkan suara percikan air dari alas kaki. Dan salah satu dari mereka yang menerobos, justru turut berteduh bersamanya—Dirga hanya melihat dari ekor matanya.
"Nggak mau nerobos?"
Dirga rasa, presensi itu melemparkan pertanyaan padanya, pasalnya hanya ada mereka berdua di gubuk ini. Lantas dia berdeham singkat sebelum menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan dadakan itu. Kedua tangannya juga masih setia di tempatnya sedari tadi, begitu juga dengan kepalanya yang tak berniat menoleh. "Gue nggak suka,"
"Basah atau hujan?" tanyanya lagi.
"Dua-duanya,"
Terdengar suara kekehan sebelum disambung dengan kalimat. "Padahal, hujan salah satu hal yang gue syukuri,"
Tepat setelah jawaban itu, kepala Dirga perlahan menoleh ke arah wanita yang duduk tepat di sebelahnya. Beberapa detik Dirga menatap wajah wanita itu sebelum kedua maniknya bergerak dan mendapati sesuatu yang membuatnya penasaran. "Lo terluka?" tanya Dirga pada akhirnya.
Wanita di sebelahnya itu mengulum bibirnya sebelum mengangguk, dia juga sedikit mengangkat tangannya yang diperban guna menunjukkannya pada Dirga. Tatapan wanita itu langsung tersorot pada tangannya yang terluka. "Gue dapet ini dua minggu yang lalu, pas kecelakaan motor," jedanya, wanita itu menyematkan senyuman datar dengan pandangan yang terarah pada Dirga guna membalas tatapan laki-laki itu. "Emang udah takdir gue dihari itu. Gue cuma perlu nerima dan ngobatin," imbuhnya.
"Di mana lokasi kecelakaannya?"
"Persimpangan jalan yang terkenal sepi," jawabnya tanpa penuh ragu.
Mendengar jawaban itu, lipatan tangannya terlepas begitu saja dan membuatnya bangkit dengan cepat guna menghindari wanita di sebelahnya. Kendati tak memiliki bukti yang pasti, tapi Dirga sangat yakin jika wanita ini adalah pengendara motor yang menjadi korban kecelakaan di lokasi itu. Tunggu dulu, dia sama sekali tak mengetahui apakah korban itu masih hidup atau tidak, tapi lokasi dirinya saat ini sangat sulit mendukung keyakinannya jika korban tersebut masih hidup. Pribadi itu sampai kehabisan semua kalimatnya, tidak tahu harus berbuat apa ketika dipertemukan dengan korban kecelakaan beberapa hari lalu. Tatapan dari mata karamel wanita itu tampak kebingungan dengan tingkah Dirga barusan, dibalik itu terdapat makna tersirat yang mempertanyakan alasan laki-laki itu menatapnya dengan mata membola.
"Gue minta maaf, karena keberadaan gue di sana justru ngebuat lo ngalamin kecelakaan," ucap Dirga yang merasa menyesal.
"Hei, lo bukan dewa kehancuran. Gue ngalamin ini karena kelalaian gue sendiri yang nggak hati-hati,"
Keduanya saling terdiam, wanita itu menatap langit yang sama sekali belum memiliki tanda-tanda untuk menghentikan hujan. Sekilas ia melirik ke arah jam di tangannya, dia sudah keluar terlalu lama dan harus segera kembali menuju tempat kerjanya. Dia sempat menggaruk alisnya ketika berpikir untuk mengambil keputusan yang akan dia lakukan saat ini. Dirinya menatap Dirga, mengajak laki-laki itu untuk ikut lari bersamanya dengan mengatakan jika hujan bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Hanya saja, Dirga tidak bergerak sama sekali dengan penuturannya itu, membuatnya menarik pergelangan tangan laki-laki itu agar berlari bersama. Meski sempat mendapat penolakan, tetapi dia berhasil membawa Dirga pergi dari gubuk itu.
"Gue nggak mau bikin lo luka lagi," kata Dirga ditengah-tengah kegiatan mereka yang sedang menerobos derasnya hujan.
"Kalau begitu, tolong antar gue ke tempat kerja gue. Dan akan gue buktiin kalau lo bukanlah orang yang bikin gue terluka," balasnya.
Hanya kurang dari lima menit keduanya berlari menuju keberadaan mobil Dirga. Tanpa banyak bicara pun, wanita itu juga turut masuk ke dalamnya. Pakaian mereka setengah basah, masing-masing sibuk guna menghilangkan buliran air. Di balik roda setir, Dirga menatap wanita di sebelahnya dalam diam, dalam benaknya terdapat rasa takut untuk melajukan mobilnya. Namun, diamnya ini justru disadari oleh wanita tersebut, dirinya mendapat lambaian tangan tepat di depan wajahnya. Masih ragu akan tindakannya ini, alih-alih membuktikan justru malah bencana yang akan mereka dapati.
"Nggak perlu takut, lo cuma perlu nyetir dengan hati-hati dan memastikan kalau gue selamat sampai tempat kerja gue,"
Dengan hembusan nafas panjang, akhirnya Dirga melajukan mobilnya meninggalkan area pemakaman. Sesuai dengan yang dikatakan oleh wanita tersebut, dirinya benar-benar melakukannya dengan sangat hati-hati. Bahkan, tanpa menyentuh dadanya secara langsung, Dirga mampu merasakan debaran jantung yang tak karuan. Sejujurnya, mendengar kalimat wanita itu membuat dia merasa penasaran dengan dirinya sendiri yang terlalu menjauh pada lawan jenisnya selama beberapa tahun belakang ini.
"Omong-omong," kata Dirga yang akhirnya bersuara. "Waktu itu lo bilang kalau ada benang merah yang terhubung diantara gue sama perempuan itu. Kalau gue boleh tau, siapa perempuan itu?" tanya Dirga.
"Ternyata dia inget gue," gumamnya.
Lantas wanita itu menoleh ke arah Dirga. Dia menggeleng, lantaran tak ada petunjuk lebih yang dia ketahui tentang perempuan itu, selain ciri-ciri dari perempuan itu sendiri. Anehnya, hari ini wanita itu sama sekali tak melihat keberadaan perempuan yang sempat bersama dengan Dirga. Bahkan, Sakura juga tak melihat adanya benang merah yang terhubung. Hanya ada sarung tangan yang menutupi tangan laki-laki itu.
"Lo kenapa pakai sarung tangan?" tanyanya.
"Biar nggak dingin," jawab Dirga.
Sakura hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali tanpa berniat menimpali lebih jauh. Hal semacam ini wajar dialami oleh seseorang—entah itu perempuan atau laki-laki. Toh, Dirga sendiri juga lebih sering tidak menggunakannya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments