Cahaya lampu adalah objek pertama yang tertangkap kedua manik Dirga, pandangannya masih cukup kabur saat dia berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Di sisi kanannya terdapat sang ibu yang memasang air muka begitu khawatir, namun juga terdapat senyuman penuh kelegaan ketika pandangan keduanya saling bertemu. Dirga berusaha untuk duduk, dibantu dengan sang ibu yang bangkit dari kursinya. Netra rusanya berpendar ke segala arah saat melihat ada peralatan rumah sakit, pun ia kembali menatap sang ibu dengan kedua alis yang tertekuk. "Ini kenapa, bu? Kenapa aku ada di sini?" tanyanya.
"Orang-orang nemuin kamu nggak sadarkan diri di dalam mobil," jawab sang ibu. Wanita itu melihat putranya yang diam tanpa berniat menimpali kalimatnya. Genggaman tangan sang ibu semakin erat, ada sedikit rasa kesal lantaran Dirga tak mendengarkan kalimatnya sebelum memutuskan untuk meninggalkan rumah. "Ibu udah mencegahmu, tapi kamu nggak dengerin ibu," ucapnya lagi.
Laki-laki itu masih membungkam mulut, mengalihkan pandangannya dari ibunya yang masih memarahinya lantaran tetap nekat untuk mendatangi dua tempat yang menjadi rutinitasnya tiap tahun. Secara tiba-tiba tatapannya begitu lekat saat ia baru menyadari jika dirinya belum mendatangi makam kekasihnya itu. Bola matanya bergerak guna melihat waktu yang ada pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Namun, tanpa menjelaskan secara gamblang, ibunya langsung melarangnya untuk tidak pergi ke makam tersebut. Sang ibu pasti sudah mengerti, Dirga ditemukan di lokasi kecelakaan, yang mana selalu menjadi tempat pertama sebelum tempat pemakaman. Pun dengan hembusan nafas panjang, Dirga mengikuti apa yang dikatakan oleh ibunya—kendati dia tetap ingin pergi.
Beberapa jam berada di rumah sakit, akhirnya ibu dan anak itu memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Sedari tadi Dirga hanya diam saat berjalan keluar dengan tangan yang terus digandeng oleh ibunya. Tahun ini adalah yang terparah daripada yang sebelumnya, Dirga pulang bukan dalam keadaan basah kuyup, melainkan kondisi yang baru saja keluar dari rumah sakit. Tentu saja, beberapa hari kedepan, sang ibu tak akan memberikan izin untuk putranya itu meninggalkan rumah lagi. Hal ini juga sudah menjadi rutinitas tahunan ibunya, setiap jamnya harus memastikan keadaan Dirga yang tetap terjaga kehangatannya. Hanya Dirga yang dimiliki wanita paruh baya itu. Pun keduanya telah memasuki taksi, namun sempat mendapat protes dari Dirga jika ia bisa mengendarai mobil. Tetap saja sang ibu memberikan larangan dengan begitu tegas agar sopir sewaan yang akan membawa mobil putranya itu.
Sejujurnya, diusia yang telah menginjak kepala tiga itu cukup membuatnya merasa malu karena semua sikap sang ibu. Bukannya Dirga menyepelekan kasih sayangnya, tetapi semua perlakuan yang ia dapat, justru membuatnya terlihat seperti anak manja, yang apa-apa selalu ada campur tangan ibunya. Walau begitu, hanya ibunya yang menjadi satu-satunya wanita yang tak pernah mendapat kesialan apapun walau setiap hari selalu bersama dia. Setidaknya, ada hal yang bisa dia syukuri dari kehidupan malangnya ini.
"Dokter bilang kalau kamu pingsan karena trauma," ucap sang ibu tiba-tiba, ia menjeda kalimatnya bersamaan dengan Dirga yang menoleh. "Tapi, ibu mau tau dari ceritamu," katanya lagi.
"Aku cuma di lokasi kecelakaan kayak biasanya, tapi saat aku mau pergi dari sana, suara benturan keras bikin aku kaget. Seorang pengendara wanita yang menjadi korbannya, dan saat itu juga aku mulai ngerasain pusing," jelas Dirga.
Keduanya sama-sama terdiam, kembali pada pikiran masing-masing sebelum akhirnya Dirga kembali menatap jalanan luar yang masih tertutup oleh derasnya air hujan. Akan dia akui, jika hujan adalah salah satu hal yang dia benci. Semua kenangan buruk itu terjadi kala hujan turun, bahkan disaat ia ingin mendatangi makam kekasihnya, Dirga harus berurusan dengan hujan—tanggal kematian yang tepat pada musim hujan. Anehnya, kebanyakan orang justru menyukai jutaan tetesan air langit itu. Sebenarnya apa yang membuat hujan begitu istimewa untuk orang-orang yang menyukainya? Dirga masih mempertanyakan akan hal itu.
Hingga akhirnya mereka berdua tiba di rumah, sang ibu segera membawa putranya itu menuju kamar, menutup rungu dari celotehan Dirga yang menolak pertolongannya. Itulah seorang ibu, tetap akan melakukan sekalipun mendapat penolakan dari anaknya. Apalagi wanita paruh baya itu juga sangat mengetahui kondisi anaknya, ditambah cerita yang tadi diceritakan putranya itu juga membuatnya berpikir jika Dirga masih menganggap dirinya pembawa sial untuk wanita—walaupun Dirga tak saling mengenal dengan wanita itu. Sebagai ibu, wanita paruh baya itu juga merasa tak yakin jika apa yang dialami putranya itu adalah sebuah kutukan akan kesalahan masa lalu. Pasalnya, tak ada kesalahan fatal apapun yang membuat Dirga harus menanggung penderitaannya selama beberapa tahun ini. Sang ibu juga tak ingin menganggap ini adalah kutukan untuk anaknya, ia hanya perlu mencari tahu penyebab pasti yang membuat Dirga mengalami hal buruk ini. Kutukan itu tidak ada.
Suara debuman itu terdengar jelas, menandakan jika sang ibu baru saja menutup pintu kamarnya. Tepat setelahnya, helaan nafas panjang terbuang begitu saja, lagi-lagi ia kembali pada kursi cokelat ini, memandang hujan dari balik jendela kamar. Memangnya apa yang bisa dia lakukan di kamar ini? Hanya duduk sembari menatap kendaraan berlalu-lalang. Hal ini terjadi memang terjadi beberapa hari ke depan. Membujuk sang ibu juga tak ada gunanya. Hingga dihari kelima, laki-laki itu baru mendapat izin untuk beraktivitas di luar rumah. Bukankah hidupnya semakin terlihat menyedihkan dibawah tangan sang ibu?
...****************...
Cuaca pagi ini cerah dengan sedikit awan mendung, Dirga berkendara seorang diri guna menuju tempatnya bekerja. Dalam perjalanannya, laki-laki itu menyempatkan diri membeli sedikit makanan untuknya menyarap. Terdengar suara denting dari lonceng yang menempel di pintu minimarket, kedua tungkainya bergerak, membawa diri pada rak yang terdapat banyak makanan pengganjal perut. Tak perlu lama sampai ia berjalan ke kasir, tangannya merogoh dompet di dalam mantel barunya guna mengambil beberapa lembar uang untuk melakukan pembayaran atas makanan yang telah ia ambil. Namun, saat lembaran bernilai itu akan diletakkan, mendadak tubuhnya membeku melihat penjaga kasir itu kerepotan mengurus semua barang yang ada di bawah meja kasir, apalagi hanya dia seorang di minimarket ini. Pun dengan satu tarikan nafas, Dirga meletakkan uangnya tanpa meminta kembalian—akan memakan banyak waktu untuk menunggu penjaga kasir itu memberikan uang kembaliannya.
"Saya lakuin sendiri. Uangnya ada di bawah staples. Mbaknya selesaikan itu dulu," katanya dengan menunjukkan jumlah barang yang dia ambil seraya berjalan keluar minimarket.
Laki-laki itu telah membawa diri masuk ke dalam mobil guna melanjutkan perjalanan menuju showroom mobil sebagai tempat kerjanya yang menjual dan rental mobil. Baru beberapa meter mobilnya melaju, mendadak kedua alisnya mengerut, kepalanya sedikit dimiringkan lantaran sesuatu yang familiar baru saja ia rasakan. "Wajah itu nggak terlihat asing," gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments