Warju bin Suherman yang tidak pernah tahu seberapa pahitnya kehidupan di Jakarta, hanya sekali mendengar kicauan dari orang yang pulang merantau dan kembali ke kampung bergaya seperti sukses menggunakan jas dan dasi.
Padahal kenyataan yang tidak diketahui oleh Warju saat itu, jika orang berjas dan berdasi adalah Tarmad, berkerja sebagai Salesman makanan ringan kuaci dan berakhir PHK karena tidak laku satu biji pun yang di jual olehnya.
Mungkin karena itulah, Tarmad seperti kesal dan trauma dengan mereka-mereka berkerja sebagai Salesman. Dia pula memberi banyak petuah untuk berhati-hati dengan semua ucapan mereka. Terlebih Salesgirl, kata Tarmad memiliki rayuan maut sehingga untuk orang udik perantau jawa polos selalu menjadi korban.
Datang dengan tatapan mata tajam, seperti rakus untuk mencari rupiah, erat tangan mengepal, penuh keyakinan, tidak gentar langkah kaki menapaki jalan aspal yang panas.
Tapi di hari pertama Warju melihat dan hanya bisa melihat betapa ramainya Ibu kota Jakarta, mulut ternganga walau begitu tidak ada seekor pun lalat yang ingin hinggap. Mungkin lalat memiliki gengsi untuk hinggap di sekitar Warju yang baunya tidak seperti sampah berkualitas dari Jakarta.
Berjalan di pinggiran trotoar jalan, memandangi gedung berkilauan yang hanya bisa dia lihat lewat poster atau pun baliho terpampang di pinggiran jalan. Semua hanya mengumandangan 'pembangunan untuk perubahan ', 'Indonesia bangkit'. Atau 'Langkah cepat dan tepat, mengatasi masalah Tanpa masalah.'
Tapi sekarang seperti tidak terpercaya dengan apa yang dilihatnya sendiri. Hingga tanpa sadar satu orang menatap warju aneh, ekspresinya serupa dengan orang yang menahan mules tidak tertahan.
Sebenarnya Warju bisa paham, jika orang itu sedang mengatakan sesuatu dari dalam hatinya, seperti.... "Orang udik mana ini, cepat lah loe pulang ke habitat loe, bikin Jakarta penuh aja .".
Dan seorang pedagang gorengan, yang melihat Warju dengan tatapan menyedihkan, entah sedih karena dagangannya tidak laku atau pun sedih yang di sebabkan oleh pemilik kontrakan menaikkan harga sewa, tapi di dalam hatinya dia mengatakan,
"Bocah, loe lebih baik pulang dan mengasuh kerbau aja sana, kota ini berat, orang kayak loe banyak, tambah loe lagi, makin sesak ini kota ."
Begitu yang terbaca dari pandangan mata orang itu, tentu Warju tidak ambil pusing tentang tatapan siapa pun. Karena dirinya sendiri masih seperti orang ling lung dengan mulut terbuka memandangi gedung puluhan lantai ciptaan besar peradaban modern yang tidak pernah di lihatnya di desa pakulaut.
Gedung yang paling hebat dari desa pakulaut pun hanya sebatas kantor kelurahan dan kecamatan, tempat para pejabat desa menghabiskan waktu untuk berangan-angan tentang pembuatan halte bus di samping jalan yang tidak beraspal. Padahal jangankan bus untuk lewat, truk ternak sekali pun, hanya datang satu minggu sekali.
Tatapan setiap orang melihat seperti mengejek, tapi itu tidak mengubah keadaan warju, matanya masih terkagum untuk sekian jam saat berkeliling melihat gedung tinggi di sekitarnya, bahkan terkejut hanya karena melihat pintu palang pintu kereta yang tertutup dan terbuka sendiri.
Terkagum-kagum mata Warju seperti bertanya seperti apa cara kerja alat moderen yang bisa naik turun.
Setelah sekian jam berkeliling hingga lelah, beristirahat di samping penjual Es keliling dan di pegangnya sekantong plastik air es seharga seratus perak untuk menghilangkan dahaga.
Tapi masih dengan pikiran warju yang masih terbayang betapa hebat kampungnya kalau seperti kota dengan segala macam gedung dari peradaban moderen ini, termasuk memikirkan kalau pintu rumahnya bisa terbuka sendiri hanya dengan sekali tepukan tangan.
Selagi khayalannya masih hangat untuk terus di bayangkan, seorang lelaki berjalan sempoyongan, berhenti dan duduk di samping Warju yang tampak tidak perduli untuk menyapa lelaki di sampingnya, menarik kaos warju dan menodongkan pisau di bawah perut.
"Serahin uang lu." Bicara dengan berbisik.
Wajah warju pucat dan tangan gemetar, betapa tidak, walau sekian banyak orang yang lewat, mereka semua tampak tidak perduli dengan kejadian yang dialami oleh lelaki kampung ini, masih terdiam dan menggenggam kuat tas di tangan.
"Oh Elu orang baru yah, gua omongin, kalo elu berani teriak, jangan harap bisa ngelihat emak lu di kampung kalo mudik ."
Ancam orang itu dengan berbisik, mungkin di mata setiap orang melihat kalau Warju adalah saudaranya yang telah tertukar bertahun-tahun dan bertemu hanya karena melihat tai lalat di punggung Warju. Keduanya melepas kerinduan penuh dengan akrab.
Tentu warju sudah lemas, bahkan untuk melawan pun adalah pilihan salah, karena ujung pisau sudah menempel di perut, tanpa bisa tawar menawar, hanya diam dengan takut.
"Tidak ada mas, saya cuma orang miskin yang tidak punya uang mas, datang ke Jakarta untuk mencari kerja." Ucap Warju terbata-bata.
"Jangan banyak omong."
Rebut tas warju dan dia buka paksa, memang apa yang preman itu lihat di dalam tas, hanya beberapa pakaian, itu pun sudah lusuh serta bolong, sajadah kusam, buku Yasin yang sudah lama dan beberapa uang receh senilai seribu perak.
Kesal preman melemparkan tas warju ke tong sampah dan di ambil pula uang Warju seribu perak, berjalan pergi dengan mengoceh...."Orang kampung, serebu doang cuma dapet rokok 3 batang, cih ."
Walau pun wajah Warju masih pucat, tangan tidak berhenti gemetar dan bibir yang terus menyebutkan nama Allah. Dia mengambil kembali tas yang tercampur sampah kotor.
Warju mulai ingat tentang orang yang pulang dari kota dengan jas dan dasi itu pernah mengatakan... "Jangan salah, Jakarta itu tidak ada kasihan, gelandangan sekali pun tidak ada ampun di Jakarta sana, selalu berinisiatif untuk melindungi diri sendiri."
Begitu ucap Tarmad yang sedang berbincang di pos kamling layaknya talk show tengah malam dan masih menggunakan style salesman jas dan dasi itu.
Bibir mengucap beribu syukur karena dari petuah Tarmad membuat Warju menyimpan uang di ****** *****, walau itu hanya sebelas ribu lima ratus perak, tapi jika sampai diambil orang maka habislah sudah.
Berselang beberapa menit setelah merasakan kejadian pahit dari kejamnya ibu kota untuk pertama kali. wajah pucat kemudian berubah saat melihat di jalan raya. Lebih dari sekedar takjub, dia melihat sekumpulan mobil mewah dengan sirine polisi, membawa seseorang yang berdiri tegak melambai ke arah kerumunan orang-orang. Warju mengenali wajah orang itu, dia adalah seseorang yang selalu di lihat warju di poster pinggir jalan.
Bapak kepala presiden indonesia, orang nomor wahid tidak ada duanya, yang mengatur seluruh penduduk indonesia di Jakarta ini. Matanya berbinar, berlari ke arah kerumunan orang yang melambai ke arah iring-iringan bapak presiden itu, warju berteriak lantang,
"Pak presiden, saya pasti sukses ."
Tidak ada tanggapan, bapak presiden tersenyum dan melambai, hanya tatapan aneh setiap orang melihat Warju begitu menyedihkan. Tapi kuat kepalan tangan Warju membuktikan seberapa besar tekad untuk mengubah urat takdir kemelaratan dari dalam nadi.
Tatapan mata itulah yang akan menjadi salah satu mata dari orang paling berpengaruh kepada para perantau kampung untuk mencari nafkah di Ibu kota ini, Warju bin Suherman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments