Jika boleh digambarkan kriteria wajah udik seperti Narmo. Kulit warna kuning seperti sawo busuk, telinga lebar, hidung pesek, rambut ikal yang hanya satu bulan sekali tersentuh oleh shampo, kutu-kutu berpesta ria di atas kulit kepalanya. Seakan sudah digariskan untuk menjadi orang miskin.
Pernah mencoba berbagai merek minyak rambut dari yang murah hingga sedikit lebih mahal, bahkan minyak rambut legenda milik para orang ganteng, Tancho. Tidak bisa mengubah style alami dari rambut Narmo yang keriting sampai ke akarnya.
Termasuk tinggi badan sahabatnya itu hanya 163 centimeter, atau sebatas daun telinga Askar. Sudah membuktikan betapa nasib kemelaratan sudah terpahat di wajah lelaki kampungan bernama Narmo.
Perjalanan dengan alat transportasi darat murah meriah roda empat, berupa truk pickup milik bapak Tarmad yang sering mengirimkan kambing dan hewan ternak lainnya dari desa pakulaut ke Jakarta.
Tidak lupa pula dengan truk kesayangan itu yang diberi nama Munawaroh, keahlian bapak Tarmad sudah melanglang buana, Surabaya-merak dia libas satu hari satu malam tanpa istirahat.
Karena kursi penumpang di depan truk sudah terisi penuh oleh supir dan kenek. Askar dan Narmo duduk di tempat kehormatan, bersama dengan penumpang kehormatan pula.
"Oi, kalian berdua pada yakin sanggup hidup di Jakarta, Jakarta itu berat coy, kau tak kuat mental, bisa pulang jadi gila." Ucap Tarmad selaku supir yang membawa mereka berdua ke Jakarta.
Memang benar adanya, Askar dan Narmo, mereka berdua hanya berpikir terlalu sederhana. Datang ke Jakarta, mencari pekerjaan, mengumpulkan uang, pulang kampung sebagai orang sukses, menikah, memiliki keluarga, dua anak sudah cukup dan menaklukkan dunia. Sungguh pemikiran seorang anak muda yang baru pertama kali merantau sungguh naif.
"Bapak ini, sudah berkali-kali merantau ke Jakarta, dari kalian berdua belum lahir, sampai jadi bujangan."
Askar mendengarkan begitu seksama setiap perkataan Bapak Tarmad sembari melihat betapa lihainya dia mengemudikan munawaroh tercintanya, meliuk-liuk melibas mobil-mobil mahal di jalanan.
"Bapak beritahu kalian, jangan mudah percaya terutama sama orang yang menawarkan jasa untuk berkerja dengan jas dan dasi."
Askar mengangguk tidak lazim, mencoba mengerti perkataan dari Bapak Tarmad yang tersenyum dan menghembuskan asap rokoknya saat memberikan mereka petuah.
"Kenapa pakde, kami lihat orang sukses itu pakai jas dan dasi."
"Di Jakarta sana, penipu saja pakai jas dan dasi kalian tahu."
Ini jelas menjadi pandangan baru untuk Askar, harus berhati-hati dalam mencari pekerjaan, tidak boleh tertarik hanya dengan penampilan menarik, segala untung rugi di hitung baik-baik, karena di Jakarta sana siapa pun orang bisa saja berbuat jahat ketika mendapat kesempatan.
Lepas dari segala macam petuah Tarmad....
Melihat Narmo, sejak kepergian dari desa dia hanya tertidur setelah berlama-lama menangisi foto Namira. Usut punya usut Namira itu seekor ayam betina yang dia tinggalkan. Lantaran sudah dirawatnya dengan baik, penuh perhatian dan kasih sayang sejak dalam telur hingga dewasa.
Sepanjang jalan Narmo peluk kencang sebingkai foto ayam montok dengan seluruh hiasan pernak pernik di sayap hingga ekornya. Bukan bermaksud untuk Askar menertawakan sahabatnya satu ini.
Hanya saja alasan dari tangisan Narmo itu adalah takut Namira berselingkuh dengan ayam lain. Seperti ada ikatan takdir antara dia dan ayam betina kesayangannya.
Sedangkan yang harus Narmo takuti adalah Namira ayamnya itu, di potong oleh Mak Kijah dan dijadikan semur kecap, karena sudah tidak ada lagi lauk untuk menemani nasi di atas piring.
Sebenarnya Askar merasa kasihan saat melihat perpisahan antara Narmo dengan Mak Kijah yang begitu mengharu biru. Bagaimana tidak, walau Narmo sering kali curhat tentang betapa ibunya sangat cerewet. Tapi cinta ibu adalah nyata.
Setiap hari Askar bisa mendengar segala perkataan Mak kijah yang memarah-marahi Narmo karena terlalu memanjakan Namira, ayam kesayangannya. Sedangkan untuk dia sendiri sebagai seorang pengangguran empat tahun, seperti tidak terlalu pusing memikirkan masa depan.
Sebab menurut Narmo.... "Masa depan cerah itu untuk orang kaya yang bisa menyekolahkan anaknya sampai unipersitas, coy. Bukan untuk kita yang lulus SMP saja sudah untung dan tidak tahu menahu soal bahasa Inggris, I ....I.... am fine, understand."
Semakin pusing kepala Askar saat mengingat perkataan bahasa inggris yang di campur logat jawa Tegal. Sedangkan Narmo hanya mengatakan apa yang dia tahu. Walau salah kaprah, asal sebut, tanpa tahu arti, atau memang bodoh dari lahir. Askar pun hanya memikirkan kalau dirinya bertetangga dengan orang yang salah.
Teringat pula, ketika Narmo sedang menikmati waktu untuk memandikan kekasih tersayangnya. Dia melucuti semua pernak pernik yang menutupi bagian vital dari tubuh Namira. Sedangkan dia pun terlihat malu-malu untuk melihat seekor ayam.
Lebih seperti, Askar sedang melihat pasangan pengantin baru yang baru saja ijab khobul pagi tadi, dan sekarang sudah siap untuk malam pertama, padahal hari masih siang.
Sungguh memalukan...
*******
Merasa kalau Jakarta itu dekat, hanya beberapa kilometer saja dari kampung mereka. Tapi setelah berjam-jam, hingga bosan Askar melihat jam lagi. Masih saja Munawaroh terkurung di tengah kemacetan jalan.
Kemacetan itu sendiri, disebabkan karena masa perbaikan aspal lama yang sudah banyak lubang berserakan. Sedikit miris saat Askar tidak sengaja mendengar perkataan dari truk sebelah mereka. Supir buncit itu dengan wajah masam seperti menelan jeruk nipis yang di tambah cuka, mulai menggerutu kesal sembari menekan klakson sekuat tenaga.
"Tahun kemarin pengaspalan jalan, sekarang perbaikan jalan, mungkin tahun depan peninggian jalan dan nanti perubahan jalan." Masih menggerutu saat menyalakan rokok dan dia jepit ke bibirnya.
Terbayang berjam-jam lamanya mobil tidak bergerak, sekali bergerak, hanya beberapa senti, itu jelas menguji kesabaran semua supir dari belahan dunia mana pun.
"Pemerintah kerjanya apa sih, setiap tahun persoalannya cuma tentang jalan pantura, berlobang lah, bergelombang lah, kurang lebar lah, kurang miring lah, kurang cakep lah, kurang menegangkan lah, harus diperbaiki lah, kemacetan pas mudik lah, setiap tahun gak ada habisnya."
Lanjutnya menggerutu setelah menghembuskan asap rokok dari mulut yang mengatakan segala masalah pikirannya. Tangan menunjuk-nunjuk tegas, masih terus memaki pemerintah tentang jalan yang tidak khatam, bahkan sampai tahun depan setelah pergantian periode masa jabatan.
Sedangkan untuk sang asisten, hanya terdiam melihat supir tua bertubuh buncit di samping tidak henti-hentinya berkhotbah. Menceritakan segala macam masalah dari persoalan pemerintah tentang korupsi, kemerosotan ekonomi, pembekuan PSSI atau pun masalah bea cukai tidak presisi. Hingga masalah seperti ban bocor dipermasalahkan pula, karena kualitas aspal membuat ban truk tidak tahan dengan kualitas murahan yang di beli pemerintah.
Tapi tetap sang asisten masih mengangguk tidak lazim dan mengaminkan kotbah si supir. Mengetahui itu, Askar menyimpulkan, bahwa persoalan tentang kemacetan karena kualitas aspal murahan bisa membuat seseorang menjadi tempramental.
Setelah Askar melihat dengan kepalanya sendiri, tentang betapa kinerja pemerintah yang masih terus dipermasalahkan oleh masyarakat. Bahkan seorang supir pengangkut ternak seperti bapak Tarmad, terkenal sabar dan bersahaja.
Dia akan marah, mana kala ada yang mengatakan jika ternak dibawanya, terindikasi penyakit antraks, dan untuk bisa lolos dari pemerikasaan harus membayar upeti, dia selipkan antara surat-surat akte lahir hewan ternak itu.
Tapi sejurus kemudian Bapak tarmad akan mengoceh sejadinya... "Bagaimana kinerja petugas pemerintahan sekarang, asalkan punya uang semua lancar, gimana nasib bangsa ini."
Padahal Bapak Tarmad pun ikut melestarikan budaya itu saat bermain tawar menawar dengan petugas di ruang khusus yang mereka sediakan.
Mereka bertiga, Askar, narmo, termasuk satu keneknya hanya melihat dari jauh, betapa senyum di wajah Bapak Tarmad merayu-rayu.
Mendengar semua ocehan pak Tarmad sepanjang jalan, bahkan tidak akan habis hingga kembali ke kampung. Menceritakan kembali kisah dalam perjalanan dengan tetangga sekitar. Mereka yang begitu senang mendengarkan seseorang bercerita apa pun. Sedangkan saat ini Askar hanya mengaminkan kotbah panjang sampai lupa apa yang sedang di bicarakan.
Nyala satu batang rokok kembali dia hembusan asapnya dengan yang begitu menikmati.
"Apa kau paham...." Tanya pak Tarmad.
"Ya pakde..."
Semalaman penuh Askar menghabiskan waktu untuk berbincang tanpa arah tujuan bersama bapak Tarmad. Dia sangat suka menceritakan tentang kehebatan saat dirinya mengemudikan Munawaroh.
Ketika Askar memberi sedikit pujian, senyum di wajah pak Tarmad akan melengkung dan semakin bersemangat untuk banyak hal yang dia ceritakan selama hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments