paguyuban

Banyak cerita terjadi di dalam kota Jakarta, tentang para pejabat, pengusaha, pedagang, supir, pengacara, seles, pemulung, gelandangan, pengamen, preman, calo, tukang tipu, tukang jahit, tukang sol, tukang cuci, cuci tanpa setrika, tukang setrika tanpa cuci. Tidak lupa kuli tinta, kuli bangunan, kuli angkut, angkut sembako, hingga angkut barang orang dan kuli-kuli lainnya. Mereka selalu memiliki kisah yang menggmbarkan betapa uniknya ibu kota Jakarta.

Bercerita tentang orang kaya yang mengambil uang dari rakyat miskin, atau pun rakyat miskin yang menggibah orang kaya yang dengan sengaja mengambil uang mereka. Mungkin juga tentang orang udik dari kampung yang mengadu nasib di Ibu kota untuk mencari pekerjaan, hingga pada akhirnya berakhir sebagai supir bus kopaja.

Warju bin Suherman, nama yang cukup terkenal di Desa pakulaut, lantaran dia berkontribusi besar dalam memajukan perekonomian desa, dengan membawa pemuda-pemuda pengangguran untuk bekerja di kota.

Bekerja di bidang transportasi, pulang pergi antar Terminal, terima sewa pariwisata, dan antar jemput barang, ya Warju adalah supir Kopaja itu.

Dan saat ini, diantara penatnya jalanan kota yang macet, aspal panas meluap-luap, klakson kendaraan saling bersautan, kenalpot-kenalpot mengumbar karbon monksida dengan sombong, atau pertengkaran dua pengemudi baku hantam karena saling senggol kaca spion.

Bagi Warju semua itu hanya sebuah episode kecil karena di dalam hidupnya sendiri sudah terlalu banyak Drama. Dia menggenggam erat stir bulat kemudi bus Kopaja yang mulai berkelak-kelok melewati sempitnya kemacetan di persimpangan lampu merah jalan Daan Mogot.

"Bang kiri bang." Saut penumpang hendak turun.

"Siap." Banting stir Supir Kopaja itu menepi dengan lihai.

Warju Bin Suherman, lahir di desa kecil nun jauh di belahan bumi antah berantah bernama Pakulaut, seorang supir Kopaja kawakan. Usia yang menginjak 38 tahun dan sudah menghabiskan separuh kehidupannya untuk coba bekerja di Jakarta.

Menitih karir mulai dari berkerja sebagai penjual asongan, tukang semir sepatu, pengamen, pedagang gorengan, tukang cukur dan profesi terbarunya adalah seorang supir kopaja yang telah digelutinya selama 10 tahun terakhir.

Asam garam kehidupan kota Jakarta dan pahit manis pengalaman, itu menjadikan Warju sebagai orang yang dihormati dari kalangan perantau muda, atau lebih tepatnya, dia adalah seorang perantau senior yang sering memberikan petuah bijak sesama orang jawa. Termasuk Warju Bin Suherman juga menjadi salah satu staff tinggi di paguyuban perantau jawa yang disingkat menjadi PAPERJA.

Malam yang telah larut membawa bus Kopaja bertulisan kalideres - Grogol, ditambah keterangan-keterangan dari stiker tempel 'Ra kerjo ya Rekoso...', 'Doa Ibu sepanjang masa.' dan 'Wani Sengsoro'... terparkir di rumah tipe S3 (selonjor saja susah) pinggiran desa Semanan.

Warju yang baru turun sudah disambut oleh sosok wanita dengan senyum penuh kebahagiaan, dialah sang istri, Siti Maemunah, dan biasa dipanggil oleh Warju, Mae.

Melihat senyum menawan Mae itu, Warju kembali tegak berdiri seakan rasa lelah sirna tertiup angin, atau pantat panas setelah duduk berjam-jam di kursi, hilang tanpa memberi kabar. Merasa lebih mulia dari seorang presiden yang disambut tabuhan Drum band, parade militer, dan karnaval siswa SD dalam acara tujuh belas agustusan, Warju tersenyum sumringah.

Sedikit kebahagiaan setelah Warju seharian membanting tulang diantara kerasnya aspal jalanan kota Jakarta, ada di dalam rumah sederhana yang dia miliki ini. Semua yang dia dapatkan sekarang bukanlah berasal dari kantong ajaib, bukan pula hadiah dalam bungkus kopi. Tapi perjuangan nyata puluhan tahun, keringat, darah, air mata, waktu dan harga diri.

Kisah hidup Warju, berawal dari tekad kuat untuk menjadi orang kaya dan memperbaiki keekonomian keluarga yang miskin tujuh turunan. Warju datang ke Jakarta tanpa kenal siapa pun, tidak ada sanak saudara, tidak ada pula kawan seperjuangan.

Menumpang truk barang yang berangkat dari kampung untuk mengirimkan berbagai macam barang kerajinan dari desanya. Tapi kenyataan selalu berbeda dari ekspetasi, berbekal ijazah SD negeri pakulaut 05 dan surat tanda khatam Al Qur'an dari Madrasah Al Muttaqin.

Semua itu tidak berarti apa pun untuk mencari kerja di kota, dimana kekuatan orang dalam dan uang sogokan jauh lebih efektif.

Pada akhirnya Warju hidup di Jakarta yang keras dan harus menggelandang ke sana kemari sebatas mencari tempat tidur dan kerja serabutan untuk mencukupi biaya makan.

Sesekali pun Warju harus mengambil makanan sisa dari warung-warung dan saling berebut dengan anjing borokan yang melihat dia mencari di tong sampah dalam wilayah kekuasaannya, tekad kuat demi keluarga masih digenggam erat.

Tidak lama setelah Warju datang ke Jakarta, itu adalah jaman reformasi di tahun 1998, demo, kerusuhan, penjarahan, pembunuhan atau pun segala macam tindakan anarkis yang ingin melengserkan takhta Presiden. Warju melihat berbagai macam peristiwa buruk dan membuatnya sadar kalau wajah dari Jakarta adalah rakyat itu sendiri.

Wajah-wajah yang rakus, wajah yang kecewa, wajah kelaparan, wajah marah, wajah bersedih, wajah tertawa, wajah polos tanpa tahu apa pun, dan wajah yang ingin tahu makna perkataan di spanduk para pendemo. Itu semua adalah wajah Jakarta yang di lihat Warju selama berada di tanah perantauan.

Wajah polos yang bicara dengan preman sangar penuh luka codet, menipu mereka untuk diiming-imingi cara cepat menjadi kaya seperti penggandaan uang, itu pun sering dia lihat. Atau juga wajah-wajah penuh wibawa yang berpidato di atas podium kehormatan, memberi janji-janji, menggenggam cita-cita, dan pada akhirnya lupa alasan mereka.

Tentang kemerosotan ekonomi di Indonesia di tahun itu, sebenarnya tidak begitu di pikirkan oleh Warju. Hanya saja cukup berdampak kepada dagangan yang dia jual. Menjadikan permasalahan ekonomi sebagai alasan untuk menawar minuman limun dingin, padahal dia pun tidak tahu menahu soal ilmu keekonomian, karena lulus SD pun sudah bersyukur.

Tapi dengan sedikit senyum meringis menunjukan gigi kuning yang satu minggu tidak tersentuh Odol, Warju berkata... "Lah pak, saya mah nggak tahu persoalan ekonomi, terserah negara mau ambruk atau pun nyungsep sekalian yang penting saya masih bisa makan, ya nggak apa-apa."

Masih dengan campuran logat Tegal yang medok, si pembeli sendiri hanya tersenyum kecut mendengar perkataan dari Warju dan menyodorkan uang seratus perak.

Dari perkataan Warju itu dijadikan pedoman hidup untuk para perantau, hingga melekat menjadi semboyan.

'Seburuk apa pun masalah tentang keekonomian negara, tidak jadi masalah untuk kami, para perantau miskin. Karena memikirkan makan apa esok hari, sudah menjadi masalah di hari ini.'

Tertulis di bawah bendera dengan simbol topi sawah, cangkul, padi dan singkong yang menyilang, seperti gambar bendera bajak laut david jones, berkibar tertiup angin di samping kontrakan 4 x 6 meter sebagai tempat paguyuban perantau jawa saat melakukan kegiatan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!