Dalam kesedihan manusia hanya mampu berserah diri akan takdir hidupnya. Hidup adalah jalan, ujian adalah proses pendewasaan diri, sedang bersabar adalah waktu. Di mana ketiga hal tersebut tidak lepas dari kerasnya kehidupan. Bila seseorang merasakan sedih bahkan hampir menyerah satu satunya jalan hanyalah bersabar, karena semua tinggal terserah pada waktu. Biarkan Waktu mencari jalannya sendiri. Sekuat apa kita menolak takdir jika ketentuan Tuhan telah menetapkan bahu kita sebagai penerima ujian, maka kita tidaklah mampu mengelak dari semua itu. Menerima adalah satu jalan terbaik selebihnya serahkan semua urusan dunia hanya pada Sang Maha Pencipta. Ketahuilah di balik semua derita, akan banyak pelajaran hidup.
Manusia hanya sebatas tokoh utama dalam sebuah drama kehidupan, di mana para menusia harus berperan sesuai skenario Sang Pencipta. Dalam sebuah problem kehidupan kita di perbolahkan menangis dan mengeluh, tapi tidak untuk menyerah. Sesungguhnya manusia tercipta untuk belajar, bersabar, berusaha, dan yakin. Setiap orang memiliki masalah masing masing, hanya saja kita tidak di posisi mereka. Kita terlalu sibuk mengeluhkan pendetitaan kita sendiri tanpa melihat bagaimana orang lain berjuang melawan masalahnya. Begitulah manusia, ketika sedang menerima ujian seolah hanya dia satu satunya orang yang menderita, padahal di saat kita di uji di sanalah Tuhan memberikan kepercayaan kepada kita untuk mampu melewati segala cobaan, dan ketika itu perasan tidak adil terselip di benak kita.
"Di mana wanita itu, sedari tadi tidak terluhat batang hidungnya?" Lirih ibu mertua. Sejak pertengkaran pagi tadi Syifa memilih berdiam diri dalam kamar, air matanya terus menetes tanpa henti. Setiap hari akan ada air mata membasuh wajahnya, semua karena perlakuan suami dan mertuanya. Sejak ia tinggal di rumah suaminya seolah dunia menjadi gelap, tidak ada sedikit pun bahagia menyentuh dirinya. Sinar mentari saja ikut bersedih melihat nasibnya.
"Emang dasar janda murahan sampai kapan pun tidak akan pernah berguna...." Sang mertua terus ngedumal dengan apa pun yabg Syifa lakukan. Semua hal terlihat salah di matanya, tidak pernah sekali saja tidak meyalahkan Syifa.
"Ya Allah, hamba mohon bukalah pintu hati suami dan mertua hamba, sejujurnya hamba ingin mengabdikan sisa hidup ini kepada mereka. Ya Allah....kuatkan hati hamba menerima semua perlakuan buruk mereka, jika sudah menjadi takdirku maka perkuat hati ini untuk menerima takdir yang telah Engkau gariskan. Sesungguhnya maha benar Enagkau dalam segala galanya. Hamba serahkan seluruh jiwa raga ini hanya pada-Mu, kokohkan kakiku, kuatkan langkahku, serta ikhlaskan hatiku menerima semua ini." Menengadahkan tangan memohon pertolongan kepada zat paling sempurna di alam semesta. Setiap kali dalam kesedihan Syifa akan berkeluh kesah kepada tuhannya selaku pemilik hidup manusia. Debagai manusia hanya bisa menjalani tanpa bisa merubah ketentuan sang Maha Esa.
"Cih....sok suci" Ketika ibu mertua lewat depan kamarnya, beliau melihat Syifa tengah tersedu memohon kepada Tuhan Semesta Alam. Melihat Syifa bersimpuh di hadapan Tuhan tidak akan membuat hati beliau melunak, justru semakin membencinya. "Sampai nangis darah pun dia tidlk akan pernah mendapatkan haknya di rumah putraku" Sebagai ibu mertua beliau lupa bahwa seorang menantu memiliki kedudukan setara dengan anaknya, biar bagaimana seorang menantu rela meninggalkan keluarga hanya demi mengikuti fitranya sebagai seorang istri dan menantu. Namun, kebanyakan dari mertua justru memperlakukan menantunya dengan tidak manusiawi. Jarang ada ibu mertua menyayangi menantunya, hanya satu di banding seratus.
"Heh.....menantu tidak tau diri, jangan bermalas malasan saja, sekarang kamu angkat jemuran di luar, dari tadi asik duduk saja. Enak sekali hidupmu, Nyonya" Celetuk beliau sambil melipat kedua tangan menatap ke arah Syifa dengan tatapan tidak menyenangkan.
Setelah salam Syifa melepas mukena lalu melipatnya "Iya, bu" Segera keluar kamar melakukan perintah sang ibu mertua. Sekarang ini ia sedang tidak mau berdebat lagi.
"Eh mbak Syifa ngankat jemuran, mbak?" Sapa tetangga sebelah rumah.
"Iya, bu. Jemuran kemarin sudah kering. Hari ini begitu terik sekali kalau pakaian do biarkan terus di luar maka kainnya akan mudah rusak" Sambil mengusap keringat bercucuran.
"Astaga....mbak itu tangannya kenapa sampai mereh begitu?" melihat pergelangan tangan Syifa. Semua akibat suaminya tadi pagi hingga pergrlangan tangannya memerah dan tergores kuku sang suami.
"Ah...ini bukan apa apa, bu. Tadi nggak sengaja jatuh jadi agak merah" Berusaha menutupi semua kenyataan yang ada. Biar bagaimana masalah rumah tangga jangan sampai orang luar tau.
"Jatuh? Tapi mbak Syifa tidak bohong, kan? Kalau ada kekerasan dalam runah tangga saya siap membantu kok. Kita sebagai wanita punya hak bersuara, kita hidup di negara hukum, mbak. Setiap perbuatan ada hukumannya" Para tetangga sudah tau semua penderitaan Sfiya selama ini. Namun, apalah daya mereka hanya sebagai tetangga tak mampu berbuat banyak untuk ikut campur dalam urusan runah tangga orang lain.
"Heh....tetangga kepo nggak usah ikut campur urusan orang lain deh, urusa saja urusan kamu sendiri" Sambil berkacak tangan ibu mertia Syifa menatap tajam ke arah tetangga samping rumah.
"Syifa, masuk kamu"
Syifa pun segera beegegas masuk ke dalam rumah "Maaf bu saya masuk dulu, ya" Ucapnya pada tetangga selebah rumah.
"Mbak Syifa yang sabar ya mengadapi nenek lampir ini, kalau tidak kuat mbak lempar saja pake kemenyan biar setannya minggat" Sengaja menyindir dengan kata kata kurang baik, sebab selama ini ibu mertua Syifa terkenal galak dan jahat. Tidak hanya mulutnya yang pedas tapi dia juga suka mengadu domba para tetangga supaya saling berselisih paham.
"Berani sekali kamu ngomong begitu sama saya....." Memgambil salah satu sandal lalu melempar ke arah tetangga tersebut "Berani bacot tak robek mulutmu"
Menjulurkan lidah sambil memukul pantatnya sendiri "Nih kentut, makan tuh biar kenyang" mengejak adalah hal biasa baginya demi meuaskan hati telah bisa membalas kemarahan beliau.
Dari balik tirai Syifa terkiki melihat aksi ibu mertua dan tetangga sebelah rumah, mereka seperti kucing dan tikus tidak pernah akur.
"Semoga ibu mertuaku lekas di berikan hidayah..." Lirihnya sambil kembali menutup tirai jendela.
Tak lama kemudian ibu mertua masuk "Kamu pasti sudah mengadu yang bukan bukan kepada tetangga kepo itu, kan?" Dengan kasar beliau mencubit lengan Syifa.
"Aw......sakit, bu. Sumpah demi Allah aku tidak mengadu apa pun kepada siapa pun. Aw....sakit bu lepaskan"
Semakin mengencangkan cubitan "Kalau kamu tidak mengadu mana mungkin mereka mengejek ibu, dasar kamu mantu tidak tau di untung" Mendorong badan sampai terbentur bahu sofa. "Kalau bukan karena anakku, sekarang ini kamu masih bergelar janda" Setiap saat beliau terus mengungkir masalah status masa lakunya.
Sambil berderai air mata Syifa menjawab "Astagfirullah....Ya Allah, kenapa ibu selalu menyalahkan aku dalam berbagai hal? Kalau ibu tidak percaya ibu bisa tanya sama tetangga kita tadi, kalau memang aku tidak mengadu apa pun padanya." Beusaha membela diri saling tidak kuat menahan sakit atas segala tuduhan.
"Halah bulsit, emang dasar janda jaman sekarang kalau nikah lagi udah kaya naik tahta, sok jadi putri padahal gembel" Dengan teganya ibu mertua sampai meludah di depan Syifa.
"Ya Allah kuatkan hati hamba" Harga diri sudah di injak berulang kali oleh ibu mertaunya, namun ia berusaha kuat demi mempertahankan rumah tangganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Mbak Thor...
sampek kpn nih penderitaan syifa???
2023-09-12
0