"Nyonya." Ranti menegur sang nyonya dengan tatapan heran, saat menemukan wanita itu melongok kanan kiri seperti sedang mencari-cari.
"Edward, di mana?"
"Baru saja pulang."
"Pulang?"
Berarti Edward tidak tinggal di rumah ini, batin Elea.
"Mungkin masih ada di halaman depan. Karena suara mobilnya belum kedengaran," tambah Ranti.
"Aku akan mengejarnya." Elea segera bergegas, namun langkahnya justru mengarah ke halaman samping, bukan ke halaman depan di mana Edward mungkin masih berada saat ini.
"Lewat sini, Nyonya." Ranti menunjukkan arah, sembari mengemas keheranan dalam dada.
"Oh iya, terima kasih, Ranti."
Setelah melangkah melewati beberapa ruang, akhirnya Elea menemukan undakan yang menghubungkan teras dengan halaman. Rumah itu sungguh besar. Sampai membuat napas ngos ngosan untuk bisa mencapai halaman depan dari ruang keluarga, dimana Elea berada sebelumnya.
Edward sudah melangkah menuju mobil yang telah siap membawa sang tuan meninggalkan rumah besar. Ketika Elea tergesa memanggil. Wanita itu melangkah cepat menghampiri, mengabaikan rasa sakit pada kedua kaki akibat kecelakaan kemarin yang sempat ia alami.
Meski tak menjawab panggilan dari Elea, tapi Edward nampak menghentikan langkah dan menatap wanita yang menghampirinya itu dengan seksama.
"Anres itu buta." Elea mengatakan itu dengan napas sedikit terengah.
"Iya, memang buta. Ada masalah?" Edward bertanya dengan nada bicara datar seperti biasa.
"Ada masalah, kau tanya? Harusnya aku yang nanya. Kau suruh aku berbohong pada orang buta?" Elea menatap tajam lelaki di depannya itu.
"Membohongi orang buta itu jauh lebih mudah, dari pada membohongi orang yang bisa melihat. Elena." Edward masih berkata datar-datar saja. Seakan apa yang sangat menjadi masalah buat Elea sama sekali bukan masalah baginya.
"Tidak." Elea menggeleng cepat. "Aku tidak bisa membohongi Arabella yang membutuhkan ibunya. Aku juga tak bisa membohongi Anres yang tak bisa melihat wajah istrinya. Aku mau berhenti dari kesepakatan ini. Aku mau keluar dari sini." Wanita itu sudah membuat keputusan dengan cepat.
"Itu artinya kau akan kembali pada Baron, Elena?" Tanya Edward sambil melipat tangan di depan dada.
"Tidak akan. Aku pasti bisa menghindarinya dengan cara apa pun," jawabnya dengan sepenuh tekad.
"Kau pikir, akan semudah itu membatalkan kesepakatan kita? Kau pikir aku akan diam saja dengan keputusanmu ini?" Edward bertanya dengan suara dingin, dan tatapan matanya setajam elang menyapu wajah cantik yang berdiri di depannya sekarang.
"Edward tolong, aku tak bisa melanjutkan semuanya. Aku akan mengembalikan uang itu dan aku ..."
"Tak ada jalan bagimu untuk mundur, Elena. Selangkah saja kau keluar dari gerbang ini, mobil anak buah Baron yang akan menjemputmu di depan gerbang sana," ancam Edward dengan tatapan penuh intimidasi.
"Kau mengancamku?" tanya Elea dengan suara bergetar.
"Itu hal yang pantas kau dapatkan."
"Tapi aku tidak bisa terus berpura-pura menjadi Elea. Aku Elena. Dan aku tidak bisa terus menjadi Elea. Tidak bisa." Wanita cantik itu menggeleng kuat dengan suara bergetar menahan isak. Berharap Edward iba dan lalu meluruskan permintaannya. Permintaan untuk berhenti dari peran yang sedang ia mainkan. Peran sebagai nyonya Elea, istri Anres Alvaro Tanujaya. Dan sekaligus ibu dari Arabella.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa wanita yang dikenal sebagai nyonya Elea, justru menyebut dirinya dengan nama Elena.
Flash back on
Elena.
Wanita cantik berusia 28 tahun itu berlari sekuat tenaga, demi untuk menghindari kejaran anak buah Baron yang ingin menangkapnya. Ia tak memedulikan apa pun selain selamat dari dua lelaki tinggi besar berkepala plontos yang sangat bernafsu untuk menangkapnya. Hingga ia tak hirau bahwa ada bahaya lain yang sedang mengintai.
Mobil SUV hitam melaju dengan cepat ke arah Elena, sang pengemudi tak sempat menghindar ketika menyadari bahwa ada santapan empuk berupa tubuh cantik di depan. Walhasil.
Brakk. Suara benturan disertai decit rem yang memekakkan telinga pun terdengar.
Dapat dipastikan kalau Elena tertabrak mobil hitam mengkilap tersebut.
Beberapa jam berlalu. Saat wanita itu membuka mata dan mendapati diri berada dalam satu ruang perawatan sebuah rumah sakit di Ibukota.
"Kau sudah sadar?" Terdengar suara lelaki bertanya, saat wanita itu memindai tatapan ke sekeliling ruangan yang didominasi warna putih susu.
Elena memutar kepala, mencari arah datangnya suara. Seorang lelaki tampan nan gagah menatapnya dengan pandangan datar.
"Si-siapa kamu?"
"Edward. Aku yang menabrakmu tadi."
Elena menghela napas, setelah kini semua ingatannya terkumpul dengan jelas. Tubuhnya memang hampir saja terlindas, oleh mobil hitam dan hampir tergilas. Beruntung tubuh Elena terhempas, sehingga terhindas dari maut yang hampir merampas.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku."
Lelaki yang bernama Edward itu hanya mengangguk singkat. Selanjutnya ia menyisih untuk menerima panggilan telepon di dekat jendela ruangan yang terbuka. Saat itulah terdengar suara gaduh dari luar. Semula Elena hanya mengabaikan, dan menganggap mungkin ada pasien baru yang datang. Akan tetapi kemudian ia mendengar kalau namanya yang disebutkan, membuat wanita itu segera memasang pendengarannya dengan tajam.
"Suster, saya mencari pesien bernama Elena. Dia dirawat di rumah sakit ini."
"Di ruangan apa, Pak?"
"Kurang tahu juga, Sus."
"Bapak siapa?"
"Keluarganya, saya kakaknya Elena. Dia, dia tadi mengalami kecelakaan hampir tertabrak mobil, Suster."
Mendengar pembicaraan di depan kamarnya itu, Elena terhenyak. Karena wanita itu tidak punya kakak, selama ini ia hanya tinggal bersama ibunya, setelah sang ayah berpulang ke haribaan-Nya. Lalu siapa laki-laki yang mengaku sebagai kakak Elena di luar sana.
Didorong oleh rasa penasaran yang sangat kuat, Elena berusaha untuk turun dari hospital bed, guna menengok keluar dan melihat siapa yang datang. Tapi, rasa nyeri pada kaki kanannya akibat jatuh terhempas tadi menghalangi niatnya. Wanita itu akhirnya hanya bisa melongok melalui kaca pintu kamar perawatan yang berukuran kecil. Dan sekilas saja ia dapat melihat sesosok lelaki yang sudah cukup ia kenal.
"Anak buah Baron," desis Elena dengan muka pucat. "Oh ya Tuhan, jangan sampai ia masuk ke dalam kamar ini dan menemukan aku," harapnya dalam hati.
"Saya ingin masuk ke kamar ini, Sus. Barangkali adik saya yang dirawat di sini." Lagi, terdengar suara lelaki itu dari luar, dan sepertinya tepat berada di depan pintu kamar. Wajah Elena semakin pucat karena ketakutan. Sesaat lagi pasti anak buah Baron alan menemukannya, dan menyerahkan wanita cantik tersebut pada sang atasan.
Elena bergidik ngeri.
"Karena kau sudah sadar. Dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, aku bisa meninggalkanmu sekarang." Itu suara Edward, lelaki tampan itu sudah selesai berteleponan dan kembali menghampiri Elena yang menampilkan raut crmas dan khawatir secara bersamaan.
"Tapi jangan khawatir, kau masih akan terus dirawat sampai pulih. Dan semua biaya perawatan sudah aku selesaikan," lanjut Edward. Dan lelaki itu segera memutar tumitnya hendak berlalu.
"Edward." Elena memanggil tertahan. "Bi-bisakah kau membantuku?" Pinta Elena dengan tatap harap-harap cemas, begitu Edward sudah kembali menatap ke arahnya.
"Di-di luar kamar ini, anak buah Baron sedang mencariku. Tolong, bantu aku jangan sampai mereka tahu kalau aku di sini."
"Siapa Baron?"
"Seorang rintenir. Aku terlibat hutang dalam jumlah besar padanya--"
"Hutang memang harus dibayar," potong Edward sebelum Elena selesai dengan kalimatnya.
"Untuk saat ini aku belum mampu. Tapi ... aku akan cerita nanti saja. Sekarang bantu aku dulu." Elena sampai menyatukan kedua tangannya di depan dada, karena sangat berharap Edward sudi untuk membantunya.
"Ada harga yang harus kau bayar untuk bentuan ini, Nona." Edward ternyata tak memberikan bantuan secara gratis pada Elena.
"Apa pun itu caranya, aku akan bayar. Yang penting sekarang, tolong selamatkan aku, Edward."
Bersamaan dengan titik pada kalimat yang diucapkan oleh Elena, bersama itu pula pintu ruang rawat itu dibuka. Sontak Elena merebahkan diri di atas sofa bednya dengan menutup separuh dari wajahnya memakai selimut.
Dua orang lelaki memasuki ruangan. Mereka mengikuti suster jaga yang hendak memeriksa kondisi Elena.
"Kalian siapa?" tanya Edward.
Kedua lelaki yang sama-sama fokus menatap Elena yang sedang berusaha menyembunyikan wajah itu, terlihat sedikit kaget dengan pertanyaan dari Edward itu.
"Ka-kami ingin mengunjungi adik saya yang mungkin dirawat di sini," jawab salah satu dari kedua lelaki itu kepada Edward.
"Kalian salah kamar. Ini ruang perawatan istri saya," kata Edward dengan tatapan tak ramah.
"Istri?"
"Iya. Itu istri saya. Dan istri saya itu bukan adik kalian," tandas Edward dengan ekspresi selayaknya seorang suami yang tak suka melihat ada orang yang ingin mengusik istrinya.
"Oo maaf. Kami permisi." Kedua lelaki itu pun pergi dan tanpa menoleh lagi.
💐💐💐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ria Diana Santi
🙄 Masih mencoba menebak isi alur cerita kak Naj. Btw, si Edward orang yang spontanitas dan realistis keknya. 🤭 Soalnya dari cara ngomongnya keliatan begitu menurut ku.
2023-06-22
0
Xu_Zhibin🕊️
next secepat kilat kk Najwa Aini🙏
2023-05-08
1
Xu_Zhibin🕊️
kasihan juga yaa liat nasibnya elena gini salah gitu salah, dia harus jadi pembohong dihadapan anres dan arrabella demi keselamatannya yg lagi dikejar-kejar oleh rentenir 😓😪
2023-05-08
1