Brakk.
Terdengar suara keras, seperti suara tangan yang menggebrak meja, disusul suara benda pecah yang frekuensinya lebih rendah dari suara gebrakan meja sebelumnya.
Elea berjengit kaget. Wanita itu sampai meraba dadanya. Tatapannya lalu memindai asal datangnya suara, yang sepertinya berasal dari salah satu ruang dalam rumah besar itu juga, tapi entah di bagian yang mana. Namun, saat ia menoleh pada Arabella, nona kecil itu tak menunjukkan kekagetan yang sama. Ia bahkan tetap fokus dengan mainan di tangannya, dan tak ada hal apa pun yang dapat mengusiknya. Tidak dengan suara keras yang ia dengarkan baru saja.
Elea sedang memenuhi janjinya untuk menemani Arabella bermain, saat suara gebrakan itu terdengar jelas. Bahkan wanita cantik itu masih celingukan mencari asal suara. Tiba-tiba saja,
"Itu papa," kata Abel. Ia yang semula terlihat tak terusik malah kini memberikan jawaban atas pencarian Elea.
"Hah? Papa?" Elea masih bertanya.
Arabella mengangguk.
Anak ini seperti sudah sangat hafal dengan suara tersebut, dan ia terlihat tak merasa terganggu. Apa memang si tuan Anres punya kepribadian temperamen yang terbiasa menggebrak meja seperti barusan?
Bukankah itu kurang baik, untuk psikologi anak yang sedang bertumbuh seperti Arabella. Pikir Elea.
"Nyonya!"
Ranti memanggilnya dengan suara pelan, seakan takut kalau suaranya akan terdengar sampai ke ruangan yang lain. Wanita yang berdiri di sebelah Indah--pengasuhnya Arabella--itu memberikan isyarat tangan.
Elea menghampiri, memenuhi isyarat tangan yang diberikan oleh Ranti.
"Apa benar, papanya Abel yang menggebrak meja barusan?" tanya Elea.
"Iya. Tuan Anres sedang bersama dengan dokter Hangga, di ruang baca," jawab Ranti masih dengan suara pelan.
"Dokter Hangga?"
"Dokter keluarga, Nyonya."
Elea memgangguk paham. "Ada apa dokter Hangga datang sepagi ini, apa kesehatan tuan Anres sedang dalam masalah?"
"Saya kurang tahu," jawab Ranti.
"Jika Nyonya ingin kesana, silakan!" lanjutnya lagi.
"Tidak apa-apa jika aku kesana?"
"Iya. Mungkin jika melihatmu, kemarahan tuan Anres bisa reda, usul Ranti yang mendapat anggukan persetujuan dari Indah.
"Baiklah." Elea mengangguk setuju. Karena telah hadir rasa penasaran yang begitu kuat tentang apa yang terjadi pada tuan Anrres itu.
Wanita itu pun mengayun langkah, namun hanya tiga langkah saja ia berhenti. Terlihat bingung sendiri, namun bentuk kebingungannya tidak ia lafadzkan sama sekali.
"Perlu kuantar, Nyonya?" Ranti menawarkan diri di saat yang tepat.
"Terima kasih, Ranti."
Mereka kemudian melangkah melintasi ruang keluarga yang cukup luas, dan melewati satu koridor yang tak seberapa panjang, barulah tiba di depan ruang baca. Ranti segera berpamit pergi kala pintu yang tertutup itu terkuak sedikit dari dalam. Dan terdengar suara laki-laki dengan nada berat, "kau boleh pergi "
Dalam hitungan menit, seseorang keluar dari balik pintu yang terkuak sedikit. Ia nampak kaget mendapati seorang wanita cantik berdiri di depan ruangan. "Nyonya Elea?!"
Dokter Hangga.
Elea segera bisa mengenali lelaki itu sebagai dokter Hangga. Meski lelaki kisaran usia 40 tahun tersebut, tak bersneli dokter seperti biasanya.
Elea tersenyum singkat, yang dibalas serupa oleh dokter Hangga sebelum kembali meneruskan langkah untuk pergi. Wanita itu kemudian mengatur napasnya lebih dulu, sambil mengumpulkan keberanian untuk masuk ke ruangan. Namun, sebelum Elea meneruskan langkah, keluar seorang lagi dari dalam sana. Seorang lelaki yang kini berdiri di depan Elea, dan menatapnya dengan tanpa ekspresi seperti biasanya.
"Aku ingin masuk," ujar wanita itu, karena Edward hanya tetap terdiam.
"Silakan." Lelaki itu menggeser tubuhnya memberi jalan. Dan ia tetap di posisi semula saat Elea memberanikan diri melangkah masuk ke dalam ruangan.
Di dalam ruangan baca tersebut, terlihat seorang Lelaki yang berdiri di depan jendela yang terbuka. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Dan Elea dapat melihat kalau dua tangan itu mengepal kuat, meski ruangan ini tak memiliki lampu penerangan yang cukup jelas, sebagaimana ruangan yang lain dari rumah besar ini. Sedikit aneh, mengingat ini adalah ruangan baca, tetapi tak dilengkapi dengan lampu yang terang menyala.
"Kau sudah datang?" Lelaki itu bertanya, dengan tanpa membalikkan badan.
"Eh i-i-iya." Elea menjawab gugup, bahkan sangat gugup, seiring suara dug dug dug, bak ada orang yang sedang menabuh bedug. Dan dengan konyolnya, wanita itu menoleh kanan kiri untuk mencari asal suara itu. Kemudian ia pun menelan ludah getir, saat menyadari kalau itu adalah suara denyut jantungnya sendiri. Yang jelas sudah di luar batas normal.
Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa ia menjadi segugup ini, hanya karena mendengar suara suaminya sendiri.
Bahkan wanita itu masih berdiri terpaku, dan tak segera duduk dengan anggun, sebagaimana biasanya tiap kali ia menemui Anres di ruang baca.
Hingga,
"Duduklah, Elea!" Anres pun menyuruhnya duduk.
Wanita itu hanya mengangguk dan mengedarkan pandang untuk memilih tempat duduk. Dia merasa harus duduk dengan nyaman untuk menetralisir perasaan. Dan satu-satunya tempat duduk yang tersedia ada di depan lelaki itu sendiri. Yang membuat Elea menahan diri dan tetap bertahan di posisi berdiri.
Lelaki itu membalikkan badannya, dan kini tepat menghadap ke arah posisi berdiri Elea. Ampun, wanita itu harus menahan napas dan menahan suara. Karena indah nian pahatan tuhan pada seraut wajah yang terlihat begitu rupawan di depannya. Tampan, rupawan dan menawan secara bersamaan. Semakin terlihat pesonanya, karena pria itu seperti sudah tiba pada masa keemasan usianya.
"Kabarnya, kau mengalami kecelakaan." Masih Anres yang memimpin topik pembicaraan. Karena Elea telah bertransformasi jadi perempuan bisu dengan seketika. Kalau pun bisa bicara malah gagap dan tak segera membentuk kata sempurna.
"Iya," jawab Elea singkat.
"Apa kau baik-baik saja?" Anres terlihat maju satu langkah. Dan satu langkah darinya itu mendatangkan puluhan detakan di dada Elea. Dan pasti karena hal itulah, wanita itu menjawab dengan suara sedikit gugup.
"Ba-baik."
"Kau terdengar gugup," tukas Anres. Dan ucapan itu bak ketokan palu di jidat Elea Walhasil, kesadaran yang pergi, kini datang lagi.
"Ma'af, Tuan Anres. Kita harus bicara," kata wanita itu cepat.
"Tuan Anres?" Lelaki tampan itu bertanya heran.
"Mak-maksudku, Anres. Aku mau bicara." Elea meralat ucapannya dengan cepat.
"Mau bicara?" Anres pun masih balik bertanya. Mungkin ia heran dengan sikap dan cara Elea bicara.
"Iya, ada hal yang harus aku bicarakan," tegas Elea.
"Kalau begitu, duduklah!" Anres memberi isyarat pada kursi tak jauh di depannya. Elea mengangguk dan segera mengambil langkah untuk meraih posisi duduk. Namun, wanita itu tak melihat kalau ada pecahan gelas yang masih berserakan begitu saja di atas lantai. Bahkan suara pecahan gelas itu juga didengar sendiri olehnya barusan.
Namun, saat Elea memasuki ruangan dan melihat sosok Anres, maka tak ada apa pun dalam ruangan ini yang menjadi perhatiannya, selain sosok suaminya itu. Apalagi hanya pecahan gelas di lantai. Akibatnya kini, ia tergores pecahan itu di telapak kakinya yang memang tak sedang menggunakan alas kaki.
"Aduuh." Wanita itu berdesis singkat.
"Apa yang terjadi?" tanya Anres sigap.
"Pecahan beling, aku terkena pecahan beling."
"Apa kau terluka?" Dari pertanyaan Anrres ia terdengar kawatir dan ada terkesan memberi perhatian. Tapi, kenyataannya lelaki itu tetap berdiri saja di posisi semula. Walau satu inchi ia tak menggeser tubuhnya, apalagi untuk memeriksa keadaan istrinya.
"Tidak apa-apa. Hanya sedikit tergores."
Memang benar, hanya ada goresan kecil akibat pecahan beling itu di kakinya. Memang sedikit mengeluarkan darah, tapi perempuan itu sudah mengatasinya.
"Sepertinya aku akan membersihkan pecahan beling ini dulu," kata Elea dan hendak bergegas. Wanita sudah berhasil mengusir rasa gugupnya. Walau masih belum semuanya.
"Tidak usah Elea. Itu bukan tugasmu. Kau duduk saja!"
Kalimat Anres itu terdengar manis. Sebentuk perhatian dan kepedulian. Walau ia masih enggan beranjak dari posisinya.
"Maaf," ujarnya lagi singkat.
Elea hampir terperangah mendengarnya. Meski tak jelas permintaan maaf itu karena hal apa. Tapi Elea sudah menganggap itu adalah nilai plus untuk seorang Anres. Di samping plus plus yang lain.
Ternyata, Lelaki yang terlihat tegas dan berwibawa itu sangat mudah mengucap kata maaf. Padahal meminta maaf bagi kaum adam itu adalah perkara yang langka. Hal itu menandakan kalau perasaan Anres penuh kelembutan. Demikian pikir Elea.
Kemana saja wanita itu selama ini. Kenapa baru menyadari adanya kelembutan di balik sikap tegas sang suami.
"Maaf untuk ...?"
"Aku yang menyebabkan pecahan gelas itu berserakan dan mengenaimu."
"Ya, suara gelas pecah ini terdengar sampai keluar."
"Abel mendengarnya?" tanya Anres cepat. Terlihat ia sangat menghawatirkan putrinya.
"Iya."
Terdengar embusan napas pria itu pelan, yang membuat Elea diam-diam mencuri pandang. Tatapan mata pria itu nampak lurus. Seperti tak menyentuh salah satu objek apa pun. Dan sejauh ini, ia juga tak melihat lelaki itu menjatuhkan pandangan padanya dengan sengaja. Tapi, bisa saja kalau Anres mencuri pandang saat Elea sedang tak melihatnya.
"Kau terdengar sangat emosi tadi, Anres."
"Iya, aku marah dan merasa kecewa," sahut Anres.
"Kenapa?" tanya Elea penasaran. Sepertinya ia telah lupa dengan niat awalnya ingin bicara, ketika kini topik pembicaraan telah berubah.
"Aku tidak bisa, mendapatkan donor mata."
"Donor mata?!" Demi apa pun Elea sangat kaget mendengar itu. Ia sampai menegakkan tubuh dan menatap raut tampan rupawan yang duduk di depannya.
"Iya, pendonor yang kemarin sempat diberitahukan ada, ternyata membatalkan semuanya. Tidak tahu karena apa. Padahal aku sudah membayar mahal untuk itu." Lelaki itu terus bertutur tentang apa yang menjadi penyebab kemarahannya. Tanpa peduli pada reaksi kaget yang diperlihatkan lawan bicaranya.
"Mungkin aku tidak akan pernah bisa melihat lagi selamanya, Elea."
Jadi, Anres buta?
Anrres tidak bisa melihat?
Pantas saja tatapan itu selalu datar, tatapan itu kosong bagai tanpa makna. Tatapan itu tak mengarah. Ternyata netra coklat gelap nan bening itu sudah kehilangan daya. Ia ada, namun tak ada artinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ria Diana Santi
Semoga Anres gak akan benar-benar buta. Kalo buta kan kasihan dong kak ... 🥺
2023-06-04
0
Hanung Tyo Sasmito
Atalia siapa ya kak?
2023-06-03
1
Ayuwidia
suka banget dengan kata2 nya, Kak.
2023-05-29
1