Seorang pria memakai kacamata hitam dengan masker yang menempel di bagian mulut dan hidung sudah duduk di kursi penumpang pesawat. Ditugaskan ke negara di mana dia pernah merasakan rasa yang sakit dan belum hilang sampai saat ini.
"Itu beda Kota. Ayah yakin, cerita di setiap Kota itu berbeda."
Dia menghela napas kasar. Ingin rasanya dia menolak, tapi rumah sakit itu adalah rumah sakit keluarga di mana dia tidak boleh menolak. Pria itu menoleh ke arah kanannya. Matanya melebar ketika melihat wanita yang pernah dia cintai satu pesawat dengannya. Wanita itu bersama suaminya. Wanita cantik itu terlihat sangat bahagia. Apalagi suaminya memperlakukan wanita itu dengan sangat lembut.
"Dia sudah bahagia? Kapan kamu bahagia? Hanya pria bodoh yang masih menangisi wanita yang bukan jodohnya."
Dia masih ingat kalimat yang menusuk dari ayahnya itu. Dia memilih memalingkan wajah. Memejamkan matanya dan mulai mengatur mindset-nya dari awal lagi.
"Sudah waktunya move on."
.
"Gak usah dianter, Kak."
Aleeya menolak diantar oleh Mirza. Namun, pria itu memaksa dan itu membuat Aleeya harus menuruti keinginannya.
"Kak Mirza tunggu di luar, ya. Aku gak mau ada fitnah." Mirza mengangguk.
Aleeya membersihkan tubuhnya dan bersiap untuk tugas di rumah sakit. Ponselnya berdering dan lengkungan senyum terukir di wajahnya.
"Iya, Bu."
"Udah berangkat?"
"Ini baru mau berangkat." Aleeya menjawabnya dengan senyum indah.
"Tetap semangat ya, Dek. Jadilah dokter yang bermanfaat."
"Pasti itu, Bu."
Setiap hari sang ibu akan menghubunginya. Hal remeh, yakni menanyakan kabarnya dan juga yang lain. Namun, Aleeya tak pernah merasa risih. Ibunya adalah kekuatannya. Ibunya adalah orang yang tidak marah ketika dia mengakui apa yang sudah terjadi padanya. Echa memang kecewa, tapi dia masih mau memeluk dan merangkul Aleeya.
"Bubu harap dari kejadian ini kamu bisa sadar atas apa yang sudah kamu lakukan. Jika, nanti semua orang menjauhi kamu, mencemooh kamu bahkan membenci kamu, jangan pernah hiraukan mereka. Kamu masih memiliki Bubu yang akan selalu menggenggam tangan kamu dan memberikan pelukan hangat untuk kamu."
Aleeya tersenyum di depan cermin. Air matanya ingin terjatuh jika teringat akan perkataan sang ibu. Rasa bersalah dan ingin menjadi anak yang berbakti semakin kuat di dalam dirinya. Mimpinya kali ini hanya ingin membuat bahagia kedua orang tuanya juga membuat bangga keluarga besarnya.
Kedatangan Aleeya bersama Mirza ke rumah sakit membuat perawat dan dokter yang mengenal Aleeya tersenyum menggoda. Sungguh mereka berdua pasangan serasi.
"Sang pangeran pasti lagi tugas di sini, ya," goda Feby, perawat yang dekat dengan Aleeya.
Mirza tersenyum beda halnya dengan Aleeya yang menunjukkan wajah datar.
"Aku ke hotel dulu, ya. Nanti malam aku jemput."
"Gak--"
Mirza malah melebarkan matanya dan itu membuat Aleeya terdiam. Kepada Mirza dia bagai anak kucing, akan menjadi sosok yang penurut.
"Kak Liya, kurang apa sih si pangeran itu? Ganteng, kaya, pengusaha. Masa sih gak tertarik?"
Aleeya melenggang meninggalkan Feby. Dia tidak ingin membahas perihal itu. Mirza memang baik, tapi hatinya sudah dia tutup dengan sangat rapat. Malah kuncinya sudah dia buang ke dasar lautan.
Siang ini banyak pasien dan membuat tenaga medis di IGD sangat lelah. Istirahat pun mereka bergantian. Aleeya sudah ada di kantin sendirian. Dia menikmati susu cokelat hangat dan roti. Perutnya masih kenyang dan belum mau makan berat.
"Besok akan ada dokter IGD baru. Katanya sih ganteng."
Aleeya mengunyah roti sambil memainkan ponsel. Mulai besok tugasnya sedikit ringan karena akan ada yang membantunya. Sudah dua bulan ini dia bertugas sendirian di IGD di shift-nya karena salah satu dokter jaga cuti hamil. Jika, sudah banyak pasien dia sedikit kewalahan.
Banyak yang Aleeya dengar, tapi dia sama sekali tak tertarik. Ponselnya berdering dan Feby yang menghubunginya.
"Ada pasien, Kak."
Aleeya menghela napas kasar. Roti yang baru dua gigitan masuk ke dalam perutnya harus dia sudahi. Dia hanya menghabiskan susu dan kembali ke ruang IGD. Aleeya sudah biasa menghadapi pasien yang berlumuran darah.
"Korban tabrak lari katanya." Aleeya mengangguk.
Luka yang dalam membuat darah itu terus mengalir. Aleeya memberikan pertolongan pertama. Jeritan dari pasien sudah sering Aleeya dengar.
"Sakit!"
Aleeya sudah biasa bertemankan dengan jarum, suntikan, obat, darah, benang jahit khusus luka. Itu adalah sahabat sejati Aleeya. Selesai menangani pasien tabrak lari, datang seorang perempuan muda yang sudah berlumuran darah di nadinya.
"Mencoba untuk bunuh diri karena hamil."
Bisikan itu membuat Aleeya terdiam. Dia melihat ke arah perempuan muda yang terbaring lemah di atas bed IGD.
"Jangan tangani saya, Dok. Biarkan saya mati."
Sungguh hati Aleeya sangat sakit. Pikirannya berputar ke belakang. Di mana dia menangis sendirian dan berpikiran untuk mengakhiri hidup karena sebuah kejadian yang tak dia ingat sepenuhnya. Ketika dia membuka mata dia sudah tak memakai sehelai benang pun kain dan sprei di atas kasur sudah ada bercak darah. Dia menangis histeris dan meminta pertanggung jawaban. Namun, apa yang dia terima? Hanya sebuah cacian dan makian dari pria yang dia cintai. Sungguh sakit sekali.
"Dok, darahnya semakin deras mengalir."
Teguran Feby membuatnya tersadar dan segera menangani si pasien. Perempuan cantik itu terus melarang Aleeya untuk menanganinya. Namun, Aleeya tak menggubrisnya.
"Dok, biarkan saya mati."
Kalimat itu lagi yang Aleeya dengar. Bosan mendengarnya, Aleeya menatap tajam ke arah pasien tersebut.
"Kalau kamu ingin mati, mati saja sendiri. Jangan bawa janin yang tak berdosa yang tak bersalah apa-apa."
Perawat yang bertugas di sana terdiam mendengarnya. Juga pasien tabrak lari ikut terdiam. Sungguh perkataan yang sangat menusuk ulu hati bagi mereka yang mendengarnya. Aleeya melanjutkan tugasnya, dia ingin menjadi dokter sejati yang bermanfaat.
Setelah selesai menangani pasien yang hendak bunuh diri, Aleeya ijin ke toilet. Namun, dia berhenti di salah satu lorong gelap. Dia bersandar di dinding lorong tersebut. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong. Hingga pada akhirnya Tubuhnya pun luruh ke lantai. Aleeya menunduk dalam. Dia menangis tanpa suara, punggungnya bergetar cukup hebat.
Melihat perempuan tadi, seperti melihat dirinya di masa terpuruk. Rasa sakit, sedih, kecewa, dan tidak ada gairah hidup muncul kembali. Rasa bersalah pun sangat menghantui. Tubuh Aleeya semakin bergetar. Bayang dirinya yang tengah memegang botol pembasmi serangga pun memutari kepalanya..
"Maafkan Adek, Bubu. Maafkan Adek, Baba. Adek hanya bisa membuat nama kalian jelek. Adek hanya bisa membuat kalian kecewa. Maafkan, Adek."
Seorang pria berbadan tegap menatap Aleeya dari kejauhan. Dia melihat jelas tubuh perempuan itu bergetar. Bisikan hatinya membuat dia melangkah menghampiri Aleeya. Walaupun gelap dia melihat punggung Aleeya bergetar. Semakin mendekati Aleeya, dia mendengar betapa lirihnya suara tangis perempuan itu.
"Are you okay?"
...**"To Be Continue***...
Komen dong, biar aku gak merasa sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments
Eka Masuku
ceritanya bagus 👍🏼
2025-01-03
0
Zafira
ceritanya bagus
2023-08-27
2
Haslinda Inda
pasti lee jong suk
2023-07-20
1