Makan Bersama.

Pagi yang cerah datang, anak-anak remaja berangkat ke sekolah dengan setengah hati. Banyak yang masih mengantuk karena begadang semalaman, entah bermain game atau belajar.

Tentu saja Rooney termasuk.

"Hoammmm... Masih ngantuk."

Rooney berangkat dengan perasaan senang dan lelah yang tercampur, walau sudah mencapai kemajuan besar setelah mengobrol dengan Roy, ada satu alasan yang membuatnya tetap lelah.

"Uuuuhhhh... Kemarin dimarahi habis-habisan oleh ibu."

Ya, salah satu hal yang paling sering dialami oleh setiap remaja. Dimarahi oleh orang tua mereka.

Pulang dengan keadaan sepatu kotor oleh semen dan celana oleh kotoran kucing, tentu saja Rooney berakhir dimarahi oleh ibunya.

"Kok bisa kayak gini sih!? Kamu habis ngapain sih? Ini kan celana masih dipake besok, kamu nyuruh ibu nyuci celana kamu malam-malam? Sepatu juga, haduhhhhh.... Susah dibersihin kalo gini."

Rooney hanya menunduk dan meminta maaf mendengar omelan ibunya. Tentu saja dia merasa bersalah karena membuat ibunya repot, tapi mau bagaimana lagi, dia sendiri tidak sengaja atau pun berniat untuk mengotori sepatu dan celananya.

Rooney masuk ke gerbang sekolah, banyak diantara anak sekolahnya yang juga datang dengan keadaan mengantuk dan lelah. Setidaknya ini membuat Rooney menjadi tidak merasa bahwa dia satu-satunya yang berbeda.

Rooney pun berjalan dengan santai dan tidak terburu-buru, dia sudah terbiasa dengan hal ini, berjalan sendirian tanpa menyapa murid yang lainnya.

Atau, begitulah yang dia pikirkan.

"Euy, sendirian saja lu."

Seseorang tiba-tiba merangkul pundak Rooney. Dari suaranya, Rooney tahu siapa orang itu, meski begitu dia tetap berbalik untuk melihatnya.

"Oy, apa kabar?" Yap, dia adalah Roy, si anak paling gaul yang menjadi akrab dengan Rooney karena satu kejadian.

"Selamat pagi Roy." Sapa Rooney dengan pelan. Walau Roy mencoba akrab dengannya, Rooney masih belum terbiasa dengan keramahan yang ditunjukkan oleh Roy.

"Iya, selamat pagi. Omong-omong, lu selalu sendirian gini yah setiap hari?"

"Iya."

"Sayang banget, gak seru kalau sendirian terus. Kalau lu lihat gua, langsung sapa saja, gak usah ragu buat nyapa."

"Beneran?" Tanya Rooney dengan nada tidak percaya.

"Bener lah, ngapain juga bohong."

"Umm... Ok."

"Hehe." Roy menyeringai.

Rooney tidak bisa membalasnya selain dengan senyuman yang canggung. Mereka berdua pun akhirnya masuk ke dalam kelas bersama.

Saat mereka masuk ke dalam kelas, teman-teman Roy sudah berkumpul dan asyik mengobrol. Tapi obrolan mereka langsung terhenti ketika Roy masuk. Dengan wajah gembira, mereka langsung menyapa Roy.

"Oy Roy, kemarin lu jadi buat nyari gelang lu yang hilang?" Sapa salah satu dari mereka.

Roy dengan ceria membalas mereka sambil berjalan ke arah teman-temannya, meninggalkan Rooney.

"Iyalah jadi, pengkhianat kalian, gua minta bantu malah kabur semua."

"Yahahahaha... Yah gimana bro, kemarin gua perlu pulang cepet-cepet."

"Halah, bilang saja tidak setia kawan."

Rooney melihat mereka dengan tatapan yang iri. dia ingin ikut bergabung dengan Roy, tapi untuk ikut bergabung dengan obrolan kelompok besar seperti itu, masih terlalu sulit bagi Rooney.

Rooney pun langsung pergi ke bangkunya.

"Oh iya, berarti lu nyari sendiri sampe sore?"

"Ya tidaklah, kemarin dibantuin sama Rooney, oy Rooney kesini." Roy memanggil Rooney tanpa menyadari bahwa Rooney sudah duduk dibangkunya terlebih dahulu.

Melihat Rooney yang sudah duduk dan mengabaikannya, Roy merasa sedikit heran dan bingung, teman-temannya pun juga bingung.

"Beneran lu dibantu sama dia? Padahal anak itu terkenal cuek loh. Tidak pernah mau ikutan kegiatan kelas, dipanggil atau diajak main juga sering diem aja."

"Bener kok, gua kemarin dibantu sama dia. Dia emang rada pendiem, tapi tidak separah itu deh." Roy sangat membela Rooney.

Namun, Rooney tidak sempat mendengarnya, dia terlanjur duduk dan tidur di kursinya karena mengantuk.

-Pelajaran pertama.

Seperti biasa, Rooney merasa sangat bosan karena sudah belajar tentang pelajaran ini. Walau sudah tidur sebelum pelajaran dimulai, dia masih sedikit mengantuk.

Rasa bosan ditambah dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus dari jendela di sebelahnya, membuat Rooney mengantuk.

Rooney berpikir untuk tidur, tapi entah kenapa dia merasa sayang jika tidur sekarang. Dia melihat ke sekeliling, ke arah teman sekelasnya.

Berbeda dengan dirinya, teman sekelasnya tidak mengantuk karena mereka bisa bercanda dengan teman sebangku mereka.

Ada yang bermain kartu sembunyi-sembunyi, ngobrol pelan-pelan, bermain teka-teki di kertas bahkan ada yang sedang makan.

Irinya... Tidak sepertiku yang kebosanan sendirian di belakang sini.

Rooney mengeluh, dia berharap ada sesuatu atau seseorang yang akan membuatnya tidak bosan. Dan sepertinya harapannya itu akan terkabul.

Ctakkk

"Aww." Ran mengerang pelan.

Ada sesuatu yang menabrak lengannya dengan kecepatan tinggi. Rooney melihat apa yang baru saja menabraknya, dan itu merupakan sebuah karet beserta kertas yang dijepit oleh karet itu.

Rooney melihat kesekelilingnya untuk mencari tahu siapa yang menembakkan karet itu. Dan ketika melihat Roy yang duduk di baris sebelah Rooney dan berada lebih depan 2 bangku dari tempat Rooney, Roy melihat balik ke arah Rooney dan menyeringai sambil membuat simbol peace. Dari situ, Rooney tahu siapa pelakunya.

Dengan penasaran Rooney membuka kertas yang ditembakkan oleh Rooney secara perlahan agar tidak ketahuan oleh guru.

Ketika dibuka, kertas itu berisikan tulisan yang menceritakan sebuah anekdot.

Kemarin gua beli obat tidur di apotek, pulangnya gua jalan pelan-pelan karena takut obatnya kebangun.

"Pffttt." Rooney tertawa kecil membaca anekdot tersebut.

Anekdot tersebut adalah bercandaan receh yang sering muncul dalam obrolan bapak-bapak. Tapi Rooney yang tidak punya pengalaman bercanda dengan teman sebelumnya, bisa tertawa hanya dengan bercandaan receh seperti itu.

Roy ikut tertawa melihat Rooney yang tertawa kecil. Dia berbalik dan mengambil sesuatu di laci mejanya, itu adalah sebuah kertas berisikan sebuah gambar.

Wajah botak plontos dengan ekspresi wajah menggembung kesal seperti orang yang sedang ngambek, nama guru mereka yang saat ini sedang mengajar di depan kelas tertulis di gambar itu. Lalu Roy mempraktekkan wajah di gambarnya, dia menggembungkan pipinya, alisnya naik hingga tampak seperti orang yang marah.

"Pffffttt... Euphhh... Ehehehe..." Rooney hampir tertawa kencang melihat wajah gurunya yang diejek oleh Roy.

Rooney tahu itu tidak baik, tapi dia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa ketika melihat wajah dengan ekspresi konyol yang dilebih-lebihkan oleh Roy.

Roy seperti tidak puas mengejek, dia menggoyang-goyangkan kepalanya sambil menggerakkan bibirnya seperti orang yang sedang mengomel.

"Bwuuuhhh..." Rooney melepas tawanya, dengan susah payah dia menutup mulutnya dan menunduk agar tidak ketahuan oleh guru.

Tapi Roy tidak peka, dia tetap membuat ekspresi mengejek tanpa sadar bahaya yang sedang mendekat.

"Roy.... Lagi ngapain kamu!?" Suara yang mengintimidasi terdengar dari belakang Roy.

Roy kaget hingga lupa untuk melepas ekspresinya sebelum menengok ke belakang.

Ya, gurunya berdiri di belakang Roy dengan ekspresi marah dan jengkel sambil memegang tongkat rotan.

"Bagus... Lagi belajar lagi malah bercanda. Enak yah kamu!? Seru yah!? Itu apaan lagi? Sini kasihin." Gurunya merampas paksa kertas bergambar wajahnya dari Roy.

Hanya dalam sepersekian detik, ekspresinya bertambah marah melihat namanya di gambar buatan Roy.

"Royyy!!!! Apaan ini!? Kamu mengejek saya yah!? Lucu buat beginian Hah!?" Teriak gurunya dengan lantang hingga terdengar oleh satu kelas.

Roy tidak bisa membela, dia hanya membalas dengan, "Hehe..." Namun dia lupa untuk melepas ekspresinya yang konyol.

Gurunya bertambah marah, tanpa memberi toleransi dia menjewer telinga Roy dan menariknya keluar kelas, "Lucu yah kamu hah!? Sini ikut bapak ke BK!"

"Ahhhhhh... Ampun pak..."

Brak

Pintu kelas terbuka dan tertutup kembali dengan kasar.

Tapi tak ada satu pun yang kaget, malahan semuanya tertawa karena merasa sudah biasa dengan situasi ini.

"Hehehehe... Kena lagi tuh anak."

"Tidak ada kapok-kapoknya yah anak itu."

"Mantap! Jam kosong!"

"Haduh... Sudah dibilangin berkali-kali juga."

Tapi tidak bagi Rooney, dia tidak bisa tertawa atau mengacuhkan hal ini karena sifatnya sendiri dan satu hal.

Waduh... Karena aku, Roy jadi dihukum.

-Jam makan siang.

Roy baru kembali setelah diseret ke ruang BK, walau baru saja kembali dari BK, tapi dia tampak tidak lelah atau pun takut. Sebaliknya, justru dia tampak ceria dan bersemangat.

Teman-teman Roy menyambutnya dengan canda tawa.

"Yahahaha, kena lagi lu."

"Buset dah Roy, tidak ada kapok-kapoknya lu diseret ke BK."

"Yoi bro, sudah langganan, jadi biasa saja. Lagian disana cuman dimarahi dan diceramahi dikit doang. Tidak sampe dipanggil orang tua. Biasa saja, toh gak bakal sampe dikeluarin dari sekolah."

"Wah mulai sombong nih, awas loh, nanti beneran dikeluarin dari sekolah baru nangis-nangis."

Melihat Roy yang tetap ceria, Rooney merasa sedikit lega. Tapi dia ingin tetap meminta maaf karena secara tidak langsung sudah membuat Roy berada dalam kesulitan.

Tapi, Roy yang sedang bercanda dengan teman- temannya terlihat tidak memberikan celah bagi orang asing untuk masuk.

Sama seperti tadi pagi, Rooney sadar bahwa dia hanyalah orang asing yang tidak pantas untuk masuk dalam kelompok pertemanan mereka. Menyadari fakta itu, Rooney merasa sedikit sakit hati.

Irinya... Seandainya aku juga bisa ikut bergabung dengan mereka, pasti sangat menyenangkan.

Tahu jika dirinya akan terus merasa sakit jika tetap diam di dalam kelas, Rooney berniat pergi ke kantin untuk sekalian makan siang.

Ketika Rooney melewati Roy yang sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya, Roy mencegatnya.

"Eh? Mau kemana Rooney?"

Rooney kaget karena tiba-tiba dihentikan, dia tidak menyangka jika Roy akan menyadarinya.

"Ah, mau makan ke kantin." Jawab Rooney dengan sedikit rasa bingung.

Dan yang mengejutkannya, Roy juga memasang ekspresi bingung di wajahnya.

"Lah? Ngapain? Makan disini aja bareng-bareng, daripada di kantin ramai banget. Mending disini saja lebih enak. Mending beli makan di kantin terus ke kelas saja, makan sama kita-kita."

Rooney sangat terkejut hingga berkata-kata, tawaran makan siang Roy bak undangan makan malam di sebuah restoran mewah yang hanya bisa dipesan jauh-jauh hari. Sebuah kesempatan emas yang tidak mudah diperoleh.

Tentu saja Rooney ingin mengambil kesempatan itu, baginya ini adalah kesempatan yang bagus untuk melatih kemampuan sosialisasinya.

Ini harus kuterima, bilang saja beli makanan di kantin dan akan dibawa ke kelas.

Rooney memantapkan hatinya untuk menerima tawaran Roy. Namun, hatinya goyah ketika melihat tatapan teman-teman Roy.

Tatapan mereka terlihat seperti melihat orang asing dan merasa tidak nyaman, rasa bingung dan penolakan terlihat jelas dari sorot mata mereka.

Walau mereka hanya diam, Rooney serasa mendengar kalimat-kalimat penolakan dari mereka.

Apaan sih? Ngapain ngajak anak itu?

Males banget makan sama dia.

Dia emang siapa?

Deg Deg Deg

Jantung Rooney berdebar kencang karena ketakutan. Dia takut jika dirinya tidak akan diterima oleh mereka.

Karena itu, Rooney mengubah keputusannya.

"Tidak usah, aku lebih nyaman makan di kantin, lain kali saja yah. Sampai jumpa." Ucap Rooney dengan perasaan tidak enak.

"Owh, begitu, yasudah kalau lebih suka di kantin. Tapi lain kali kita makan bareng yah."

Rooney sudah keburu pergi sebelum membalas ajakan Roy, dia tidak mau melihat tatapan teman- teman Roy lagi.

Sayang sekali... Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak kuat melihat tatapan seperti itu.

-Di kantin.

Seperti biasa, Rooney memesan makanan yang biasa dia pesan dan pergi duduk di kursi yang biasanya.

Ini sudah biasa, tapi Rooney masih merasa sakit dan menyayangkan satu hal.

Makanan yang dia makan menjadi tidak terasa enak, rasanya hambar karena perasaannya yang buruk. Tatapan teman-teman Roy membuat kenangan buruk Rooney bangkit.

Tidak apa-apa, tidak apa-apa, ini kan sudah biasa. Ucap Rooney di dalam hatinya berkali-kali untuk menguatkan dirinya sendiri.

Disaat itu, disaat kondisinya buruk. Seseorang datang, atau lebih tepatnya beberapa orang.

"Owh, lu duduk disini toh Rooney."

"Eh?" Rooney terkejut dan melihat ke depan, tampak Roy bersama dengan teman-temannya datang bersama-sama sambil membawa makanan mereka.

"Loh? Kenapa kalian kesini?"

"Tidak kenapa-napa, hanya bosan saja makan di kelas, sekali-kali pengen juga makan di kantin saja." Jawab Roy dengan menyeringai.

Rooney merasa sangat senang, tapi sekaligus takut melihat teman-teman Roy dibelakangnya.

Roy yang melihat Rooney membuang muka, langsung paham.

"Ah, lu takut sama mereka yah Rooney?" Tanya Roy sambil menunjuk teman-temannya.

"Eh, ti-tidak kok." Ucap Rooney dengan gemetar.

Walau begitu, Roy sudah tahu apa yang membuat Rooney takut walau Rooney menolak untuk mengakuinya.

"Sudah-sudah, gua tahu kok. Lagian mereka emang salah tadi."

"Eh?"

"Woi kalian, minta maaf dong, udah bikin orang jadi tidak nyaman juga."

Teman-teman Roy maju, tatapan mereka sudah berbeda, tidak ada tatapan penolakan dari mereka. Justru hanya ada tatapan ramah yang bersahabat.

Salah satu dari mereka meminta maaf.

"Maaf yah, tadi udah bikin tidak nyaman. Kami tadi tahu kalau udah natap elu berlebihan sampai bikin tidak nyaman. Tapi bukannya kami tidak mau makan sama elu, cuman bingung saja karena anak ini tiba-tiba akrab sama elu."

Mendengar jawaban itu, Rooney merasa lega. Rooney berpikir jika ketakutannya tadi hanya paranoidnya saja, mereka semua tidak punya niat buruk padanya. Mereka hanya bingung saja.

"Oh iya, kenalin, nama gua Farizi." Ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Eh iya, na-namaku, Rooo... Roo-Rooney."

"Ehehehe, iya, gua udah tahu."

Satu persatu mulai maju dan mengenalkan dirinya. Semuanya tampak ramah, tidak ada tatapan tak mengenakkan yang muncul dari sorot mata mereka.

"Gua Fadhil."

"Nama gua Anwar, tapi biasanya sih dipanggil Wawan."

"Kenalin, gua Alen, yang paling ganteng diantara mereka."

"Halah, self claim aja lu."

"Wkwkwkwk."

Semuanya tampak ramah dan menyenangkan, walau Rooney tidak terbiasa dengan ini. Tapi dia tidak merasa membencinya.

"Sudah, sudah, nanti aja kenalannya. Mending makan dulu saja. Gua udah lapar nih!" Roy berteriak karena kelaparan. Yang lain menanggapinya dengan tertawa.

"Ah elah, lapar mulu elu mah."

"Ahahahhaha...."

Mereka semua duduk bersama, beruntung kursinya cukup bagi mereka untuk duduk bersama.

Semuanya saling mengobrol dengan senang dan bercanda ketika makan.

Rooney masih belum bisa masuk ke dalam obrolan mereka sepenuhnya, tapi dengan begini, dia tidak lagi merasakan kesunyian ketika sedang makan.

Sekarang, ada orang yang akan mengajaknya mengobrol dan tertawa bersamanya. Rooney belum yakin untuk menyebut mereka sebagai teman, tapi setidaknya dia senang dengan keadaannya saat ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!