Pada Dasarnya Dia Memang Anak Kecil

Tak kembalinya Tamara ke rumah, Arei sudah menduga jika sang istri sedang di rumah mertuanya. Walau sempat singgah kekhawatiran dan rasa bersalah. Namun, nyatanya memang benar jika Tamara sedang berada di rumah sang mertua, setidaknya menghilangkan rasa cemas dia sedikit.

"Mau digebrak dengan cara apapun, sepertinya kamu gak akan bisa berubah Ara."

Dia mengambil kunci mobil, bergegas menuju kediaman Kevan dan Jihan, berniat untuk mengambil istrinya kembali.

****

Sementara saat ini Tamara sedang menaiki tangga, menyusuri kamar satu persatu. Terdapat di kamar yang bersebelahan dengan kamar sang Abang, terletak kamar kakaknya. Yaitu Sahira, atau yang kerap dipanggil Ira.

Tamara memiliki dua saudara, dan dia anak bungsu dengan satu kakak laki-laki pertama dan yang kedua kakak perempuan.

"Kak gue boleh masuk 'kan?"

"Hmm!"

Sebenarnya mengunjungi kamar kakak satunya ini sedikit ragu-ragu dan takut-takut, karena Sahira sangat berbeda jauh dari watak sepertinya yang super aktif, humble dan receh. Sahira cenderung cool, fleksibel, dengan sikap sombong serta jutek yang menjadi khas pribadinya.

"Kak kalau gue minta lo jangan berhubungan lagi sama Garda, nurut gak?"

"Lo siapa?" Tatapan sinis ia dapat saat ini.

"Gue adek lo," jawabnya polos.

"Lo siapa ngatur-ngatur gue, anj*ng!"

Mendapat perkataan kasar itu, Tamara seakan malas melanjutkan pembicaraan lagi dengan sang kakak. Akhirnya dia pun memilih untuk beranjak mengunjungi kamar abangnya.

***

"Bang Ara mau curhat!"

"Lo mah mending, lah gue!"

"Gue, belum cerita as*uu!"

Zayyn Malik Kevantino. Dia lelaki yang hampir 11-12 dengan Tamara dan mamanya. "Hehe. Emang lo kenapa Dek? Mau cerita, ayo gue dengerin!"

"Tapi jangan adu nasib ya!"

"Kaga. Lagian nasib gue kaga sama-sama banget, kayak lo. Rungkad!"

Tamara mulai menyandarkan kepala di pundak abangnya, sebelum ia mengadu tentang semua cerita. "Kak Ira berhubungan sama Garda. Abang tau 'kan masalah Ara? Dia masih dendam, dan mungkin sebelum nyawa di antara kita terbayar, dia gak akan berhenti gangguin!"

"Garda lagi ... Garda lagi .... Anak jin itu gak kapok-kapok. Abang pernah duel, dan dia kalah, besoknya tetep aja ngajak bertarung lagi!"

"Kita bunuh aja gimana, Bang? Dengan begitu gak ada nyawa di antara kita yang jadi korban. Ara cemas sama kak Ira Bang!"

Zayyn sampai menggeleng-gelengkan kepalanya, heran dengan pola pikir sang adik saat membuat rencana. "Astaghfirullah ukhtyyy, lo boleh cosplay jadi preman pasar, tapi jangan jadi psikopat!"

"Ahelah Bang, Ar—"

"ARA TURUN SAYANG, SUAMIMU DATANG ....!!"

"Sial, badebah datang lagi!" gerutu Tamara, sembari beranjak dari tempat tidur sang abang.

"Gak sadar, padahal dia yang badebah!"

****

"GAK MAU PULANG!"

Tamara langsung bersedekap dada, menatap remeh sang suami yang sedang duduk santai di sofa. Membuang muka, seakan tak ingin melihat wajah Arei. Namun lelaki itu justru terkekeh.

"Mau saya ceritakan bagaimana kamu di sekolah, Ara?" Arei masih terlihat normal dan santai, bahkan seringaian kecil mulai tercipta di bibirnya.

Ara melemah, terlebih ada sang papa yang terlihat menyimak. "Ya udah ayo pulang!" Dia membanting langkah kakinya, menatap kesal dan akhirnya mau diseret untuk kembali pulang.

Begitu takut dia mendengar kata-kata kecewa yang mungkin terucap dari mulut sang ayah, jika mengetahui semua akhlaknya di sekolah.

"Memangnya bagaimana dia di sekolah Arei?"

Mampus!

Keringat dingin mulai membanjiri, inilah titik ketakutan terbesarnya. Sepengetahuan sang papa, Tamara sudah berubah dan menjadi anak yang baik. Mungkin, jika Kevan tahu yang sebenarnya, pasti berujung pada rumah sakit.

"Tidak Pa, anak Anda baik, bahkan sangat baik!"

Arei melirik sekilas istrinya, seperti sebuah sindiran dari makna yang terbalik ucapan itu.

****

Selama perjalanan, atmosfer di dalam mobil benar-benar sangat dingin dan mencekam. Bukan kecanggungan yang tercipta, melain rasa kesal Tamara yang belum sirna.

"Mau apa malam ini?"

"Nyogok?" Tamara menatap remeh, kemudian ia fokus kembali pada ponselnya.

"Membayar rasa bersalah."

"Gak perlu!"

Arei menghembuskan napasnya. Ternyata bukan perkara yang mudah membujuk Tamara. Memang keterlaluan juga meninggalkan istri sendiri di bawah teriknya matahari, terlebih dia sudah sangat menunggu. Itu pikir Arei.

Ternyata lebih baik kamu cerewet juga Ara, dibanding dengan diamnya kamu.

****

Tiba di sebuah tempat yang ramai.

"Kok ke sini sih? Aku mau pulang!" protes Tamara kala dirinya dibawa ke tempat keramaian oleh sang suami.

"Pasar malam, kita nostalgia di sini okey."

Tamara tampak bergeming, menatap malas tempat bising itu. Sampai akhirnya ucapan Arei saat berkata, "Ayo Sayang ....!"

Berhasil membuat Tamara menahan senyumnya malu-malu. Selama pernikahan, kali pertama ia mengucapkan kata romantic itu, mungkin terdengar singkat. Namun damage guru tampan ini mampu membuat Tamara tersenyum.

Aduh aduh lumer gue ... damagenya argghhh!

Dengan langkah penuh semangat, Tamara langsung menggandeng tangan suaminya, sambil berujar, "Kamu jangan cosplay jadi Dilan ya, aku gak kuat!"

Arei tersenyum sangat manis. Sejujurnya pria itu selalu melingkupi hidupnya dengan lingkungan yang formal. Kaku untuk berbahasa lemas, karena bagi Arei berkomunikasi ternyaman adalah dengan gaya bahasa sendiri.

Maka tak ayal jika ia membahasakan diri dengan sebutan 'saya' bahkan dengan istrinya pun saat di luar jam mengajar. "Saya yang gak kuat, nahan rindu walau terpaut beberapa menit saja!"

Siapapun tolong! Hati gadis bringas itu seakan dikerumuni ulet bulu, sangat geli dan menggelitik. "Ebeww!"

"AAAA GULALI, MAU GULALI!" Perempuan itu langsung ngibrit dengan kecepatan kilat, menerobos para antrian penjual gulali di sana.

"Pada dasarnya kamu memang anak kecil, Ara!" Arei terkekeh sebelum mengikuti istrinya.

****

"Apa loo!!"

Tamara terlihat sedang mengejek anak kecil yang tengah bersembunyi di balik lengan ibunya. Sementara sang mama dia, terlihat sibuk memesan gulali.

"Kamu jelek!" lawannya.

"Bocil, wuhh!" Tamara terlihat memelotinya dengan mata yang terbuka dan mulut yang ia gembungkan.

Awalnya anak kecil itu melawan. Namun perlahan ia merasa takut dengan wajah yang dibuat-buat oleh Tamara. Sampai akhirnya anak itu mengadu, "Mama muka kakak itu kayak monyet, aku takut ...."

"Jangan nakal, Ara ...." Seperti menasehati anak kecil, Arei tampak heran dengan kelakuan istrinya.

"Sialan, masa gue disamain sama monyet!" gerutu Tamara, masih memelototi.

"Jangan gangguin anak saya dong, dia cengeng!!" tegur mamanya. Arei lah yang merasa tak enak hati. "Jadi nangis 'kan!"

Alhasil wanita itu sibuk mendiami anaknya. "Hmm maafkan istri saya."

Sedangkan Tamara, yang merasa tak berdosa, terlihat dengan santai menyaksikan aktraksi pembuat gulali itu. Hingga satu buah gulali berbentuk beruang berhasil didapat Tamara. Namun Arei menyerobot gulali itu, dan ia berikan kepada anak kecil yang masih mengantri tadi. "MAS AREI!"

"Jangan nangis tampan, ini untukmu. Maafkan istriku ya!" Arei tampak gemas dengan mengusap-usap kepalanya.

"Terima kasih Om baik!"

"Hmm terima kasih, dan ini uangnya!" ucap ibunya menyodorkan uang.

"Tidak perlu, itu gratis dari istriku atas permintaan maafnya," balas Arei.

Ibu-ibu itu tersenyum, kemudian ia pergi. Tinggal lah seorang Tamara dengan segala wajah manyunnya.

"******!" cemooh dia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!