Minta Maaf Lagi

"Kalian tahu istri saya di mana sekarang?"

Arei menatap ke-empat muridnya yang masih bermalas-malasan di basecamp buatan mereka, padahal semua pelajaran sudah beberapa waktu lalu.

Tepat di belakang sekolah, di bawah pohon mangga, terdapat rumah kecil yang berlindung di balik benteng sekolah, dan itu berada di bawah pohon. Jika mencari kelima anak nakal yang kerap tak hadir saat jam belajar berlangsung, maka di sinilah tempat mereka.

"Dia pulang duluan Pak, katanya mau ngasih makan buaya yang ada di aquarium," sahut Gona.

Kenapa Arei mampu bertanya pada mereka? Bukankah pernikahannya private? Tidak, selain mereka tak ada yang tahu, dan memang hanya mereka. Sebab, permintaan Tamara yang ingin semua temannya turut hadir saat pernikahan, itupun dengan keterkejutan mereka masing-masing.

"Jangan dengerin si kubul pancing Pak. Ara pergi sama Garda ke area balapan!" sahut Dorri asal.

"Lo kok bocor banget si Dor, kata Ara gak boleh kasih tau Pak Arei!" bisik Vio.

"No coment!" timpal Pian, yang kala itu tengah asik mengorek-ngorek lubang hidungnya.

"Gue gak ikut-ikutan ya, kalau besok Ara cosplay jadi reog!" ucap Vio.

****

Sudah sore, tepat saat Arei pulang dari rumah sakit. Tamara tak kunjung hadir di rumahnya. Rasanya ingin sekali ia membanting semua barang yang ada. Istrinya selalu membuat emosi tersulut.

"Tamaraaaa!" Tangannya tergenggam kuat, melampiaskan amarahnya dengan rasa geram.

Dia mengira Tamara akan sadar setelah perbuatan. Namun apa? Anak itu semakin bebas dan melupakan segala kekangannya.

Harus dengan cara apalagi Tamara, astaghfirullahalazdim.

Hingga tiba di malam hari, Arei masih kelimpungan. Jika dia tahu keberadaan sang istri saat ini, sudah pasti ia cari, hanya saja itu akan membuang waktu. Tamara tak akan bisa terlihat walaupun disusuri kesana-kemari.

"Assalamualaikum ....."

Arei menetralkan ekspresinya, masih duduk santai di atas sofa dengan tatapan maut yang mengintimidasi

Lagi-lagi Tamara pulang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Wajah mungilnya penuh memar, dan terlihat goresan dalam di hujung mata kakinya. Bahkan, dia pulang dengan keadaan kaki telanjang tak beralas.

Tamara mulai berjongkok dengan meringis-ringis. Menatap memohon pada suaminya, berharap mendapat ampunan. "Dari mana?"

"Jawab salam aku dulu!"

"Waalaikumsalam."

"Ara minta maaf ...."

Tamara sempat memejamkan matanya, melihat tangan Arei yang terkepal begitu erat. Mengira sang suami akan memukulnya, perempuan itu pun seakan sudah siap.

"Saya tidak akan pernah bisa marah denganmu, Ara!" Arei segera merengkuh tubuh istrinya, membawanya dalam dekapan. Untuk yang sekian kalinya, dia masih mampu bersabar kepada sang istri walau dia tahu keesokannya akan tetap sama.

"Kenapa gak pukul aku aja? Aku siap!"

"Saya tidak bisa melukai istri saya, membentakmu saja merasa manusia paling jahat di bumi!"

Tamara cukup tertegun. Selama pernikahan yang hampir berjalan 7 bulan, memang tak sama sekali Arei berbuat kasar, membentak pun jikalau kesalahannya di luar batas. Jika marah, Arei lebih sering membanting barang yang ada di sekitar, sekedar melampiaskan emosinya.

"Diam di sini, lepas hijab kamu. Biar saya obati!"

Tamara menjauh, menyandarkan tubuhnya di sandaran. Ia masih mengingat bagaimana kuatnya pukulan Garda tadi.

Jangan sampe anj*ng itu deketin kakak gue.

"Kalau saya minta kamu menjauhi dan berdamai secara baik-baik dengan anak lelaki itu, apakah kamu bisa Ara? Saya akan bantu nanti," ujar Arei kala dirinya tiba dengan membawa p3k mini.

Tamara menyodorkan lengannya kepada Arei untuk diobati. "Mau aja. Tapi, jangan sampai dia tahu kalau kamu suami aku!"

"Itu mudah, asal kamu tidak lagi berurusan dengannya." Arei masih tampak fokus mengobati.

"Baiklah .... aucchh, pelan-pelan dong Sayang!" Sementara Tamara mulai menggoda.

Sekali lagi Arei menekan lukanya. "Sakit Mas Arei, pelan-pelan ih!"

"Padahal saya melakukannya dengan perlahan," sangkal Arei sembari ia pasangkan kompresan air hangat.

"Ah, hangat ... enak banget!" Saat itu juga Arei kembali menekan luka istrinya dengan kapas basah, dan lagi-lagi Tamara meringis.

"Ah, Mas Arei pelan-pelan, kok makin kasar ihh!"

"ASTAGHFIRULLAHALAZDIM!"

"WOY TAHU TEMPATLAH. GILAK, DI RUANG TAMU AJA JADI!"

"GUE DENGERNYA MERINDING ANJAY. PENGANTIN BARU KELAKUANNYA MINUS, NO LECET, FULL SET, MINAT CHAT!"

Tamara tampak jengah menengar teriakan seseorang di balik pintu. "Masuk dulu makanya, jangan sembarang nguping, kayak kambing budek lo!" sindirnya. Ia sangat hafal kedatangan manusia ini.

Dia Arai, adik dari Arei. Lelaki itu mengintip sedikit di balik pintu depan, sebelum akhirnya ia benar-benar masuk.

"Hehe ... suara lo bikin gue overthinking!" ucapnya menggaruk-garuk kepala.

"Mau ngapain? Numpang makan lagi? Beras mahal!" cetus Tamara.

"Dih seterah gue lah, ini rumah Abang gue!"

"Rumah Abang lo, berarti rumah gue!"

Arai langsung melompat, dan duduk tepat di tengah-tengah mereka. Namun aksi absurd anak itu berhasil mengoar suara nyaring dari Tamara. "ANJ*NG SAKIT LUKA GUA BEGO!"

"Araaa ...." tegur Arei. Percayalah, pria sangat tidak suka istrinya berucap kasar, kepada siapapun.

"Maaf Ayang ....."

"Sama laki aja, berubah jadi Barbie lo!" sewot Arai.

"Papa sendiri di rumah, Rai?" tanya Arei.

"Iya Kak. Ehmm, sebenarnya gue ke sini cuma mau bilang, kalau Garda lagi buat rencana bunuh lo, Ra. Kak Rei, mending wanti-wanti dari sekarang!!"

Kenapa dia begitu perihal kecekcokkan antara Tamara dengan lelaki bernama Garda? Ya, Arai adalah salah satu temannya, dia satu sekolah dengan anak itu. Dalam pertemanan itu, Arai selalu menjadi mata-mata, demi melindungi sang kakak ipar dari ganasnya sang teman.

"Gue gak takut si Rai, buktinya yang masuk rumah sakit selalu dia, pas kita bettle!"

"Bukan cuma itu Ra, Garda juga lagi deket sama kakak lo!"

Arei dapat melihat wajah sendu dari isterinya. Mungkin permasalahan semua berada pada titik itu. "Gue gak mau kakak gue jadi korban. Tapi, negur kak Ira gak gampang, dia keras kepala. Apalagi gue yang sebagai adeknya yang lebih muda, mana mau dia dengerin gue."

"Di coba dulu sebelum terlambat," sahut Arei.

"Nah. Lagian, kata gue si mending Ira sama gue aja Ra, 'kan enak tuh kita satu keluarga yang terikat, ebeww!"

Tamara mendengus. "Terus nanti kalau kalian nikah, gue panggil lo kakak gitu? Kakak ipar ... cuih geli!"

"Saya juga bingung, mau panggil adik atau kakak dengan Ira," timpal Arei.

"Ribet lo berdua. Gue juga mau dicintai dan mencintai, walau ujungnya sama-sama tai, arrghh gak ada yang bisa ngertiin. Lo semua jaharrrrrr!"

Tamara tampak memutar bola matanya. "Drama!"

Tiba-tiba Arei mengingat sesuatu, terlebih setelah mendengar nama 'Ira'.

Dia yang dulu mengutarakan cinta kepada saya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!