Bank Kamis.

Aku terus mencabut rumput yang ada di kebun. Benih cabe yang baru sudah kutanam. Semoga saja berbuah seperti sebelumnya. Ya, lumayan untuk bumbu dapur. Meskipun hanya sedikit, tapi bukankah kita harus bersyukur?

Setelah mencabut rumput kini aku mencari sayur untuk kumasak. Sedikit tetapi cukup untuk satu hari. Daun dan bunga pepaya sudah berada di tangan. Sepertinya enak ditumis dengan bumbu yang pedas.

Kalau suamiku protes, toh dia tidak memberiku uang belanja. Mau dimakan ya terserah. Daripada menanggung beban bila berhutang. Aku tersenyum saat telah menyelesaikan panen kecil-kecilan ini. Cukup menyenangkan bisa memetik hasil kebun untuk dimasak sendiri.

"Bagus! Bagus!" Suara Mbak Tika terdengar keras.

Apa dia tidak bisa menghargai orang lain? Ini bukan hutan! Aku menggerutu sambil berjalan menuju ke rumah. Ternyata benar, Mbak Tika masuk ke dalam rumahku. Padahal sudah jelas aku tidak ada di sana dan Mas Bagus masih tidur.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku saat dia akan melangkah masuk lebih jauh lagi ke dalam rumah.

"Ah, kebetulan kamu ada di sini. Mbak mau pinjam uang, Alisa. Kasih mbak uang Rp. 300.000! Ini penting. Nanti kalau suami mbak sudah gajian, mbak balikin!" Mbak Tika rupanya ingin meminjam uang.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak ada, Mbak. Ini Alisa saja nggak bisa belanja. Ambil daun dan bunga pepaya buat makan. Lagian, dua hari yang lalu Mas Bagus sudah kasih pinjam uang Rp. 200.000 kan?"

"Aduh, Alisa. Uang itu buat bayar sekolah anak mbak. Kamu mah belum punya anak. Belum bisa ngerasain pusingnya biaya sekolah. Cepetan bangunin Bagus kalau gitu. Mbak mau pinjam uang. Ini penting!" Mbak Tika tampak tergesa-gesa.

Sebenarnya hati ini tersentil. Kami memang baru satu tahun menikah. Apakah harus mengatakan hal itu juga saat ingin meminjam uang? Aku melihat ada cincin baru di jari Mbak Tika. Sebelumnya dia tidak pernah memakai cincin emas.

"Tapi waktu itu Mas Bagus bilang kalau uangnya tinggal Rp. 300.000, Mbak. Yang Rp. 200.000 sudah buat Mbak Tika kemarin. Sedangkan Mas Bagus cuma pegang seratus ribu saja. Jadi, Mas Bagus juga nggak bakal ngasih, Mbak," terangku.

"Heh! Kamu jangan nggak tahu diri ya! Bagus itu adikku! Kamu jangan perhitungan! Bagus! Bagus! Ini Mbak Tika!" teriaknya lagi memanggil suamiku.

"Ada apa sih? Kenapa kalian berdua sangat berisik?" Akhirnya Mas Bagus keluar dengan kedua mata yang sedikit terpejam. Laki-laki itu berjalan melewati Mbak Tika yang tersenyum sumringah melihat kedatangan suamiku.

Baiklah. Aku cukup malas menanggapi Mbak Tika. Memilih berjalan menjauh dan bersiap untuk memasak. Aku membiarkan saja mereka berdua berbicara.

Sebab, aku juga tidak memiliki uang sepeserpun. Meskipun di dalam tabungan aku memilikinya. Lagipula sekarang semua keuangan ada di tangan Mas Bagus. Biarkan saja. Biar dia pusing sendiri mengatur uangnya.

"Alisa!" Aku terkejut saat Mas Bagus tiba-tiba memanggilku.

"Alisa!"

"Iya sebentar!" Aku menjawab tak kalah berteriak. Ya ampun pagi-pagi begini sudah sangat berisik sekali.

"Ada apa, Mas?" tanyaku sambil melirik Mbak Tika. Wanita itu seketika membuang wajahnya ke arah lain.

"Kamu punya uang nggak? Mas nggak punya uang selain seratus ribu. Mbak Tika mau pinjam sebentar. Nanti juga dibalikin. Jangan pelit, Alisa," ucap suamiku.

"Mas Bagus tahu nggak kalau Alisa cuma di rumah saja?" tanyaku.

"Ya tahu! Kamu kan cuma bisa ngabisin duitku saja. Sekarang aku minta duit yang kamu bawa itu buat kasih Mbak Tika. Buat bayar bank kamis. Lagian nanti juga dibalikin, Alisa. Bantu saudara kan nggak apa-apa!" Suamiku berbicara dengan enteng.

Kulirik sekali lagi kakak iparku itu. Ia tersenyum. Mungkin setelah mendengar kalau Mas Bagus menyuruhku untuk memberinya uang.

"Bukannya uang yang Mas Bagus kasih waktu itu, sudah Alisa balikin ya, Mas? Kan Mas Bagus sendiri yang pegang uangnya. Alisa sudah nggak pegang uang semenjak Mas Bagus yang belanja. Jadi, Mas Bagus nggak kasih Alisa uang sepeserpun. Gimana, Mas? Ingat?" Aku berbicara sambil memasang wajah bodoh.

Supaya Mas Bagus bisa mengingat perjanjian kami berdua. Benar saja. Ekspresi wajah Mas Bagus mendadak berubah. Pun juga ekspresi Mbak Tika juga kian memucat.

"Mas, kamu jangan bilang lupa ya! Soalnya gula kamu juga mau habis lo. Mas Bagus kan bilang mau belanja kalau semua sudah habis." Aku berpura-pura mengingatkannya. Padahal aku sedang memojokkannya. Mengatakan bahwa gula di rumah ini sudah habis.

"Aduh, Alisa. Mas Bagus lupa kalau semua uangnya mas yang pegang. Uang kita sisa seratus ribu!" Mas Bagus memasang wajah memelas.

"Apa?" Aku dan Mbak Tika terkejut secara bersamaan.

"Bagus! Kalau kamu tidak punya uang, bagaimana mbak bayar bank kamisan?" Mbak Tika mulai panik. Dih, tadinya sombong banget.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!