Menyembunyikan

"Kalau begitu kamu saja yang berbelanja. Supaya kamu tahu berapa total yang harus kamu bayar ketika berbelanja. Lebih baik aku hanya memiliki tugas untuk memasak saja." Aku tidak ingin membuat masalah lagi. Biarkan saja dia yang berbelanja dan aku yang memasak untuk kedepannya. Aku ingin melihat sampai sejauh mana kemampuannya.

"Jadi kamu menantangku? Hanya karena Mbak Tika mengambil sedikit bahan makanan yang kamu beli, kamu menjadi marah seperti ini?" Kedua mata suamiku tampak melotot. Ia benar-benar tidak terima kalau aku mengatakan kakaknya pencuri.

"Aku tidak ingin berdebat. Silakan belanja ke warung. Kamu lapar kan, Mas? Untuk itu cepatlah belanja di warung dan berikan padaku. Biar Alisa yang masak," ucapku dengan senyum merekah di bibir.

"Baik! Aku yang akan berbelanja. Aku yakin kalau kamu sangat boros dalam keuangan kita. Siapa yang tahu, kamu juga ikut jajan memakai uangku," kata suamiku dengan senyum menyeringai di bibirnya.

Mas Bagus berdiri dan berjalan dengan cepat pergi meninggalkan rumah ini. Aku menatapnya sini. Mari kita lihat seperti apa reaksinya ketika dia tahu berapa uang yang harus dia keluarkan nantinya. Aku mengeluarkan handphone-ku.

Kemudian beralih pada dokumen yang ada di sana. Hari ini aku sudah waktunya update lagi. Sebuah aplikasi membaca novel yang pada akhirnya membawaku menjadi seorang penulis. Dalam dua bulan belakangan aku bisa menyimpan uang sekitar 5 juta rupiah.

Setidaknya aku memiliki keuangan yang cukup untuk kebutuhan yang mendesak. Entah bagaimana hubunganku dengan mas Bagus.

Kalau dia tidak berubah aku juga tidak akan memberitahu tentang penghasilanku ini. Beruntungnya aku menggunakan nama samaran untuk menyamarkan identitasku. Dengan begini aku akan aman dari semua gangguan.

Aku tidak mungkin terus-terusan bergantung pada Mas Bagus. Sedangkan dia hanya memberi uang sebesar satu juta rupiah untuk sebulan. Entah berapa lama aku terus berkutat pada novelku.

Ini lumayan menyenangkan untuk membuat pikiranku sedikit waras. Karena setiap hari aku harus berdebat dengan Mbak Tika, ibu mertua, dan adik iparku.

"Alisa!" Suara Mas Bagus mengejutkanku. Buru-buru aku menyimpan tulisanku ke dalam dokumen dan kemudian kutaruh handphoneku di dalam saku. Aku pun bergegas menyambut kedatangannya.

"Cepat taruh ini semua ke dalam lemari es. Terus masak ikan mujair dengan sambal terasi. Aku mau makan enak. Bukan hanya tempe dan tahu terus! Lihat! Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk ini! Hanya makanan begini saja sudah habis 200.000! Benar-benar keterlaluan mereka mengambil untung!" Mas Bagus menggerutu tidak jelas.

Aku menerima kantong kresek yang dia berikan. Kubuka kantong tersebut dan mataku melebar tatkala ia membeli ikan mujair dan juga beberapa lauk yang cukup mahal.

"Kalau Mas Bagus beli ikan seperti ini, memang mahal. Kalau Mas Bagus tidak percaya bisa beli di pasar ikan. Di sana lebih murah sedikit, tapi selisihnya hanya Rp2.000. Untuk kita yang ke sana terlalu jauh uang Rp2.000 juga tidak masalah. Lagian kita semua mau lebaran. Pasti semua barang pun sedang ugal-ugalan harganya. Maklum saja karena mau lebaran Semua orang pasti memiliki acara besar." Aku memberitahu bahwa sebentar lagi puasa ramadhan dan lebaran. Jadi wajar jika beberapa bahan makanan mulai naik.

"Halah! Kebanyakan omong kosong! Sudah sana masak. Jangan terlalu banyak bicara," usirnya.

Aku pikir berbicara panjang maupun lebar dengannya pun percuma. Dia tidak akan mendengarkan aku berbicara. Aku memilih mengalah dan berjalan pergi meninggalkannya.

Seperti keinginannya aku pun memasak ikan mujair dengan sambal. Sebelumnya aku sangat jarang memasak ikan. Sebab untuk kebutuhan lain-lain pun aku harus meminimalisir pengeluaran.

"Mas Bagus, Alisa sudah selesai memasak. Mau makan sekarang?" Tanyaku padanya. Meskipun aku sedang kesal, tetap saja dia merupakan suamiku. Toh aku melakukannya karena kewajibanku sebagai istri.

"Kamu pikir siapa yang berbelanja tadi? Apakah hanya kamu saja yang makan?" Dia menatapku dengan tajam. Kemudian ia menyimpan handphonenya dan berjalan menuju ke dapur.

Laki-laki itu menyantap makanan dengan nikmatnya. Aku pun mengambil dan hendak mengambil nasi. Namun, seseorang tiba-tiba menyerobot piring berisi lauk ikan mujair itu.

"Ya ampun! Bagus, kebetulan nih. Mbak belum makan. Boleh ikutan makan kan? Jangan pelit atuh!" Mbak Tika berbicara sambil menyiduk nasi. Ia bahkan menggeser tubuhku.

"Bukannya Mbak Tika tadi udah ambil bahan di kulkas? Kok ikut makan di sini?" tanyaku dengan nada ketus.

"Apa? Jadi maksudnya aku nggak boleh makan di sini? Ini kan rumah adikku! Kamu jangan keterlaluan, Alisa!" Mbak Tika berbicara sambil makan. Mulutnya pun tampak masih ada nasi.

"Tapi, Alisa belum makan juga! Kalau Mbak Tika mau, kan bisa goreng sendiri. Itu bumbunya aku masukin ke kulkas kok. Kenapa malah nyerobot saja? Hargai aku juga dong, Mbak!" Aku bersungut-sungut. Perutku sudah sangat lapar sekali. Malah dia duluan yang makan.

Brak!

"Kalau begitu, apa susahnya kamu yang goreng lagi?" Suamiku menggebrak meja. Ia juga menyuruhku untuk menggoreng ikan sendiri.

Apakah dia tidak sadar kalau sejak pukul 5 pagi aku sudah beberes rumah dan belum sarapan? Ini bahkan sudah pukul 9 pagi. Aku tidak memasak sebab semua bahan makanan yang aku beli sebelumnya juga dirampas oleh Mbak Tika. Sekarang malah aku masih harus memasak lagi?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!