"Sudahlah! Percuma kita berdebat di sini! Alisa Pergilah!" Mas Bagus berusaha untuk mengakhiri perdebatan kami berdua.
Aku yakin dia sudah kalah dan tidak ingin memperpanjang masalah ini. Sebenarnya aku masih memiliki uang. Tapi aku juga tidak sudi jika terus-terusan menggunakan uangku.
Bukankah sebagai seorang suami sudah seharusnya Mas bagus untuk memberikan sandang, pangan, dan papan secara layak? Tapi apa yang kudapatkan kali ini. Aku bahkan tidak memiliki apapun lagi. Semua perhiasanku pun juga sudah habis terjual.
"Oke." Aku berjalan meninggalkan suamiku.
"Kamu mau ke mana?" Mas Bagus bertanya ketika aku berjalan pergi meninggalkannya.
Aku membalikkan tubuh dan menatapnya. "Apa lagi? Bukankah Mas Bagus bilang kalau kita tidak lagi berdebat? Jadi Alisa mau tidur siang saja."
Brak! Suamiku menggebrak meja ruang tamu. Hal itu membuatku berjingkat kaget. Sungguh, aku semakin tidak mengenali suamiku itu.
"Mengapa kamu masih belum mengerti? Suamimu ini sedang kelaparan! Hari sudah siang dan kamu belum memberikan aku makanan?" Mas Bagus menatapku dengan tajam.
Kedua matanya bahkan melotot seolah mau keluar. Aku yakin jika laki-laki itu pasti kesal karena aku juga tidak pergi untuk memasak. Kalau saja dia memiliki pekerjaan, mungkin aku juga tidak akan perhitungan begini.
"Bukannya Mas Bagus tidak memberiku uang? Alisa sudah tidak memiliki uang sama sekali. Lagi pula Mas Bagus juga pasti masih memiliki uang. Beli saja makanan yang kamu inginkan. Soalnya Alisa tidak memiliki bahan makanan apapun di dalam kulkas. Mbak Tika kemarin sore ke rumah kan? Ya itu! Dia mengambilnya. Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri. Cari sampai ketemu, Mas. Kalau aku berbohong." Aku menjelaskan dengan menahan emosiku.
Setidaknya memang begitulah yang terjadi. Laki-laki itu mulai bangkit dari tempat duduknya. Aku tersenyum sinis. Melihatnya pergi menuju ke gudang yang mana tempat kami menyimpan makanan dalam kemasan.
Bahkan kendi beras itu juga ada di sana. Aku memilih untuk tetap di tempatku. Biarkan saja dia mencari bahan makanan di dapur ataupun yang lainnya. Karena memang aku tidak memiliki apapun. Saat aku sedang duduk santai di sofa, Mas Bagus perlahan berjalan dengan lemas ke ruang tamu.
"Mbak Tika membawa semuanya tanpa menyisakan buat kita, Alisa? Jadi kita tidak memiliki apapun?" tanya Mas Bagus.
"Iya Mas. Belanjaan yang waktu itu kita beli di pasar memang sudah diambil oleh Mbak Tika. Kalau Mas Bagus tidak percaya juga tidak apa. Lebih baik sekarang Mas Bagus pergi ke rumah ibu atau ke warung untuk membeli makanan." Aku masih menjawab dengan sampai.
Walaupun dalam hati ingin sekali meluapkan kekesalan dan amarah, rasanya itu percuma saja. Sebab Mas Bagus tidak bisa dikalahkan. Bukankah seharusnya aku mengalah? Daripada kami berdua terus bertengkar tanpa ujung dan jalan keluar yang baik.
"Lalu apakah kamu sudah makan? Mengapa kamu terlihat tenang saja? Kalau kamu belum sarapan, bukankah seharusnya kamu juga mencari makanan?" Mas Bagus mulai melembutkan nada suaranya.
Mungkin ia juga sadar kalau Mbak Tika sering kali datang ke rumah dan mengambil beberapa bahan makanan kami. Iya, untunglah kalau dia memang mengingat perlakuan kakaknya itu.
"Aku cuma makan roti yang semalam Mas Bagus beli buat sarapan. Sisanya Mas Bagus makan sambil minum kopi di depan. Jadi roti itu juga sudah tidak ada." Aku menjawabnya dengan nada tenang dan santai.
Biarkan saja dia kelimpungan sendirian. Aku tidak akan lagi menggunakan uangku untuk menutupi pengeluaran di rumah ini. Suamiku itu menghela nafas panjang.
"Kalau begitu untuk makan siang nanti memangnya kamu ingin makan apa? Jika semua bahan makanan memang diambil sama Mbak Tika. Itu artinya kamu tidak memiliki apapun bukan?" Suamiku sepertinya masih menyelidiki aku. Pertanyaannya membuatku memutar bola mata kepala lantaran Mas Bagus masih saja mencurigaiku.
"Kita masih memiliki pohon singkong di belakang rumah. Mungkin aku akan membuat sayur dari daun singkong." Aku menatap Suamiku. Laki-laki itu mencebikkan bibirnya. Mungkin dia jijik karena harus makan sayur daun singkong.
"Sudahlah aku akan membeli beberapa bahan makanan di warung. Kamu tunggulah di sini setelah itu masaklah." Suamiku mulai berjalan pergi ke arah pintu utama.
Tujuannya adalah warung sembako yang ada di depan gang. Aku terus memperhatikan punggung suamiku yang perlahan menjauh. Setelah dia benar-benar menghilang aku mulai bernapas lega.
"Biarkan saja dia tahu rasa. Tapi ngomong-ngomong di mana Lina? dasar! Mungkin dia pulang ke rumah. Enak sekali jadi bocah itu." Aku berbicara seorang diri.
Sedikit bersyukur karena suamiku tidak memperpanjang pertengkaran hari ini. Namun sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Pernikahan ini baru satu tahun lamanya. Kami juga belum memiliki anak. Rasanya memuakkan karena justru tabunganku banyak yang habis tidak bersisa.
"Alisa cepat masak ini. Ya ampun Padahal aku membawa uang Rp100.000. Hanya dapat segini doang?" Dari arah depan terdengar suara suamiku yang menggerutu.
Aku yang sedang duduk-duduk santai segera berjalan cepat menuju ke ruang tamu. Tampak suamiku menenteng barang belanjaan yang lumayan.
"Sudah pulang Mas?" tanyaku.
"Aku tadi membawa uang 100.000. Lihatlah aku hanya dapat apa. Ya ampun! Aku ingin makan ayam goreng." Mas Bagus kemudian memberikan sekantong plastik belanjaannya kepadaku.
Aku tersenyum mendengar penuturannya. Sekarang ini belanja pun memang harus pintar-pintar. Sebab semua bahan kebutuhan pokok meroket.
"Iya, Mas."
Aku tidak protes lagi. Dengan cepat aku bergerak menuju ke dapur dan mulai masak. Tentu saja aku sangat senang karena setidaknya dia mulai mengerti kalau berbelanja memang tidak terasa menghabiskan banyak uang. Padahal itu semua untuk kebutuhan pokok.
Selang satu jam lamanya. Akhirnya aku telah selesai memasak. Dengan cepat aku berjalan ke depan untuk mencari suamiku.
"Mas Bagus, makanannya sudah siap. Ayo kita sarapan." Aku memanggil Mas Bagus bahwa makanan sudah selesai.
"sudah selesai? Ya ampun Perutku lapar sekali." Akhirnya suamiku datang mendekat ke ruang makan.
Rumah kami ini memang hanya perumahan kecil. Namun aku tidak pernah mempermasalahkan hal ini. aku mengambil makanan untuk suamiku terlebih dahulu. Kemudian barulah aku mengambil untukku sendiri.
"Lain kali Mas Bagus saja yang berbelanja. Kalau Mas Bagus tidak percaya sama Alisa. Alisa tidak ingin bertengkar dengan Mas Bagus. Capek lo Mas bertengkar terus." Di sela-sela kami yang sudah berbaikan, aku mulai mengajaknya untuk berdiskusi.
Kalau seandainya laki-laki itu tidak bisa diajak untuk bekerja sama maka aku tidak akan peduli lagi dengannya. Maksudku aku tidak akan lagi memperlakukannya sebagaimana aku memperlakukannya dengan baik sebelumnya.
"Apakah kamu marah padaku Alisa? Kupikir Mbak Tika tidak akan mengambil semua bahan makanan yang ada di dapur. Padahal jelas-jelas aku melihat sendiri kamu sudah membeli beras yang lumayan banyak untuk kita berdua selama satu bulan. Tapi aku tadi melihat hanya tersisa mungkin sekitar 5 kilo beras di sana. Mungkin memang kita harus memberi ketegasan kepada Mbak Tika. Terlebih sekarang aku menganggur." Mas Bagus mulai bisa berpikir.
Aku bernapas lega kok lantaran meskipun sikapnya yang keterlaluan dan membela keluarganya itu seringkali menyakitiku. Namun akhirnya dia sedikit mengerti lantaran aku tidak lagi menambal kebutuhan kami. Sebab tabunganku pun sedang menipis.
"Ayo kita selesaikan makan, Mas." Aku mengajaknya untuk segera menyelesaikan makan siang kami.
Sebenarnya ini sarapan bagi kami. Namun karena jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang ini artinya makan siang kami. Mas Bagus tampak tersenyum. Okelah kalau sudah mengerti seperti ini aku juga tidak akan terlalu perhitungan terhadapnya.
"Kalian enak betul makan ayam goreng?"
Tanpa diduga seseorang main masuk ke rumah kami dan bahkan sampai ke ruang makan. Untungnya sebagian ayam goreng tadi sudah aku sisihkan dan simpan di tempat aman.
Siapa lagi jika itu bukan Mbak Tika. Tiba-tiba saja wanita itu mendudukkan bokongnya di kursi tepatnya di samping Mas Bagus.
"Lo? Kalian tidak punya yang lain lagi? Kok sudah habis? Alisa, seharusnya kamu memasak lebih banyak! Bagaimana kalau aku datang ke sini dan tidak ada makanan?"
Wow! Mbak Tika langsung mengintimidasiku. Padahal Mbak Tika sudah merampok isi kulkas ku kemarin.
"Mbak Tika, sepertinya kita perlu membicarakan hal ini." Mas Bagus Mulai mengambil kendali.
Akupun menjadi tidak sabar untuk mendengarkan penuturan dari suamiku itu. Akankah Mas Bagus membela Mbak Tika?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments