Bank Kamis 2

"Apa?" Aku dan Mas Bagus terkejut secara bersamaan.

Bagaimana bisa Mbak Tika tiba-tiba mengatakan bahwa uang yang akan ia pinjam sebesar Rp 300.000 itu rupanya untuk membayar bank di hari Kamis. Itu namanya koperasi yang memang selalu memberikan bunga sedikit besar.

"Jadi Mbak Tika mau pinjam uang Rp300.000 itu untuk membayar angsuran bank Hari Kamis?" Mas Bagus bertanya dengan nada yang mulai meninggi.

Laki-laki yang semula duduk di kursi itu kini berdiri dan berhadapan dengan Mbak Tika. Melihat gelagat Mas Bagus yang mulai marah, Mbak Tika sedikit memundurkan diri. Wanita itu sepertinya takut karena mas Bagus marah sebab dirinya sudah terlalu banyak hutang.

"Apa Mbak Tika tahu kalau koperasi itu selalu memberikan bunga yang besar? Mengapa Mbak Tika masih saja sering mengambil pinjaman di Koperasi Bank hari Kamis? Apakah ibu tahu kalau Mbak Tika juga masih mempunyai pinjaman di sana?" Mas Bagus mulai membentak.

Aku menikmati pemandangan ini seperti saat Mbak Tika selalu melihatku ketika Mas Bagus memarahiku. Ini sebenarnya menyenangkan ketika orang yang selalu menghinamu dan memandangmu sebelah mata akhirnya mendapatkan balasan.

"Bagus! Biaya anak sekolah itu besar! Kamu tahu kalau keponakanmu sudah sekolah! Pasti butuh biaya yang besar! Kamu harus ingat itu! Iya sih kalau kalian kan memang belum punya anak! Jelas belum pernah merasakan bagaimana kalian harus membiayai anak sekolah 2 lagi!" Mbak Tika mencoba untuk membela dirinya di depan adiknya.

Aku tidak tahu bagaimana lagi harus membuat orang ini segera pergi dari rumahku. Karena mau bagaimanapun Mas Bagus masih adiknya yang harus menghormatinya.

"Daripada berhutang bukankah lebih baik jual apa yang kamu punya Mbak! Lagian itu lebih baik daripada gali lubang tutup lubang! Bagus saja tidak berani buat berhutang! Kenapa Mbak Tika malah enak sekali berhutang sana sini?" Mas Bagus tetap meluapkan kekesalannya.

Suamiku itu sebenarnya tahu kalau Mbak Tika memang memiliki hutang. Tapi belakangan ini Mbak Tika mengatakan jika dirinya sudah tidak lagi memiliki hutang. Maka dari itu Mas Bagus mulai dekat lagi dengannya.

Namun tidak tahu apa yang akan terjadi setelah hari ini. Entah Mas Bagus akan tetap menjaga jarak dengan Mbak Tika atau tidak.

"Ayolah bagus! Berikan Mbak pinjaman! Jangan berdebat seperti ini lagi! Ini hanya akan membuang waktu. Mbak sudah ditunggu orangnya." Mbak Tika memang tidak tahu malu. Ia bahkan masih bisa merecoki Mas Bagus setelah Mas Bagus membahas tentang masalah piutang.

"Sudah Bagus bilang kalau Bagus tidak punya uang! Seharusnya Mbak Tika tahu kalau Bagus ini tidak kerja! Apalagi Alisa hanya di rumah! Apalagi yang diharapkan dari kami? Jelas kami tidak memiliki apapun!" Mas Bagus pun duduk kembali di kursi kayu itu.

Suamiku itu memijat pelipisnya. Yang mungkin saja kepalanya pusing ataupun berdenyut lantaran kelakuan Mbak Tika.

"Tadi kamu bilang kalau kamu punya uang Rp100.000. Mana uangnya Bagus! Mbak bisa cari sama tetangga yang lainnya. Siapa tahu mereka punya uang Rp200.000. Yang bisa dipinjamkan sama Mbak tanpa harus mengejek Mbak sana sini." Mbak Tika tunggu di luar dugaan. Wanita itu malah meminta Mas Bagus untuk memberikan uang yang terakhir Ia memiliki.

"Kalau Mas Bagus kasih sama Mbak Tika kita puasa dong selama satu minggu Mas?" Aku yang sudah tidak sabar dengan kelakuan Mbak Tika pun akhirnya ikut berbicara.

"Halah, makannya kerja dong! Jangan cuma mintanya sama suami!" Mbak Tika malah mencibirku.

Padahal jelas-jelas dulu aku masih bekerja. Namun belakangan ini memang tidak diperbolehkan bekerja oleh Mas Bagus lantaran kami ini segera memiliki momongan.

Akan tetapi yang ada kenyataannya malah aku seolah hanyalah beban suamiku saja. Padahal tugas seorang suami memang untuk memberikan nafkah seorang istri.

Jadi tidak ada salahnya kalau aku tidak bekerja bukan? Karena memang tanggung jawabku bukan untuk bekerja mencari uang. Aku memilih diam lagi.

"Aku memang tidak punya uang lagi mbak. Sembako yang ada di gudang belakang juga sudah Mbak angkut ke rumah bukan? Alisa tidak mengatakannya kepadaku. Tapi aku tahu kalau Alisa sudah berbelanja. Ketika aku ingin memasak, kenapa malah tidak ada apapun di gudang belakangku? Apa Mbak Tika bisa jelaskan itu semua?" Akhirnya Mas Bagus menanyakan lagi tentang sembako-ku yang menghilang tempo hari.

Ekspresi wajah Mbak Tika mulai pucat. Ia tahu kalau Mas Bagus sudah mengetahui tentang tabiatnya selama ini. Jika selama ini aku berhasil menutupinya, sekarang aku tidak lagi menutupi apapun kejahatan yang dilakukan oleh Mbak Tika.

"Kalau kamu tidak mau memberikan pinjaman, ya sudah, Bagus! Seharusnya kamu tidak menuduh Mbak yang tidak Tidak!" Mbak Tika malah berbalik marah.

Kemudian ia justru pergi meninggalkan kami begitu saja. Mas Bagus menggelengkan kepalanya.

Aku baru sadar kalau kelakuan Mbak Tika benar-benar marah. Sudah sembako-ku di embat. Kenapa dia malah minta pinjaman ke sini? Padahal suaminya juga seorang pegawai negeri. Lah sedangkan aku saja seorang pengangguran!

Mas Bagus menggelengkan kepalanya lagi. Ia sepertinya benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah laku Mbak Tika yang sangat buruk itu.

"Itu sudah berlaku selama 1 tahun." Aku ikut menambahkan.

Suamiku itu pun melirikku. Benar. Selama 1 tahun memang aku selalu menutupinya dengan rapi. Kupikir tidak ada baiknya apabila kami yang notabenenya keluarga ini selalu bertengkar. Namun belakangan ini, dikarenakan pekerjaan Mas Bagus mulai tidak stabil aku pun tidak lagi menutupi borok Mbak Tika.

"Apakah karena hal itu kita bahkan tidak memiliki tabungan apapun?" Mas Bagus bertanya dengan ekspresi yang sulit untuk digambarkan. Aku tidak tahu dia kecewa ataupun marah.

"Ya seperti itu. Aku juga tidak masalah karena Mas Bagus masih memiliki pekerjaan yang bergaji tinggi. Hanya saja belakangan ini karena Mas Bagus sudah tidak memiliki pekerjaan. Aku mulai tidak mau lagi menutupi semua yang sudah dilakukan oleh Mbak Tika. Makanya Mas Bagus bisa melihat kalau gudang sembako itu sudah kosong padahal Alisa baru saja beli." Aku hanya mengikuti alur.

Mencoba menjadi seorang wanita yang sangat sabar dalam menghadapi kakaknya yang arogan Itu. Tampak sekali ekspresi wajah Mas Bagus sedikit butek. Mungkin saja dia sedang menyesali karena perlakuannya yang selalu membentakku dan sikap seenaknya saja.

"Apakah kamu marah padaku?" Mas Bagus tiba-tiba bertanya tentang kemarahanku.

"Aku akan marah pada Mas Bagus kalau Mas Bagus memberikan pinjaman Mbak Tika dengan sisa uang yang Mas Bagus miliki itu. Tapi karena Mas Bagus menolak untuk memberikan pinjaman kepada Mbak Tika ya aku tidak marah. Kita kan masih bisa makan dengan uang Rp100.000 itu." Aku mencoba untuk tersenyum.

Setidaknya suamiku sudah berbicara dengan intonasi yang wajarnya. Semoga saja ia tidak lagi mudah untuk disulut oleh ibu mertua maupun kakak iparku.

"Bagaimana bisa aku memberikan pinjaman kepada Mbak Tika sedangkan kita tidak memiliki uang lain lagi selain 100.000 ini! Kamu jangan bercanda. Ini bukan drama ataupun sinetron yang bentar lagi akan mendapatkan rezeki nomplok." Tiba-tiba Mas Bagus membandingkan dengan alur kehidupan kami bersama dengan drama ataupun sinetron. Kupikir justru Ini hampir mirip seperti sinetron azab.

"Harapanku Mbak Tika itu segera terkena azab! Biar saja dia segera tobat!" Tanpa sadar aku dan suami tertawa terbahak-bahak.

Bisa-bisanya kami mendoakan Mbak Tika mendapatkan azab. Apakah itu artinya aku dan suami durhaka?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!