Keluarga Suamiku

Keluarga Suamiku

pengangguran.

"Mas, kamu tidak segera mencari pekerjaan?" tanyaku saat terlihat suamiku malah asyik bermain ponsel.

"Kenapa? Bukankah kamu masih memiliki uang?" Ia membalas dengan malas bahkan menoleh saja tidak.

"Tapi uang yang kamu kasih sudah hampir habis mas. Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan lain? Pesangon kamu juga semakin lama semakin menipis. Sedangkan kita tidak punya tabungan sama sekali," kataku dengan sedikit menahan kesal.

"Kamu sebagai istri harusnya pintar untuk mengelola keuangan! Bukan malah terus memojokkan suamimu seperti ini! Apa kamu tidak sadar kalau kamu hampir menjadi istri yang durhaka? Lagi pula kalau uang kita semakin menipis, kamu harusnya lebih irit dalam berbelanja. Masa uang satu juta sebulan kamu kurang dan minta lagi?" Ia membentak dengan nada tinggi.

Aku termenung sejenak. Tidak mempercayai bahwa emas bagus yang 1 tahun ini menjadi suamiku justru berani membentakku dengan nada tinggi. Apakah sebagai seorang istri aku salah dalam meminta nafkah? Aku tahu saat ini ia sedang menganggur karena ia baru saja mengalami PHK dari pabriknya.

Akan tetapi selama satu tahun ini ia terus saja memberiku uang satu juta rupiah setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dapur. Padahal uang satu juta itu tidak cukup untuk keperluan rumah selama 1 bulan. Aku seringkali mengorek sisa tabunganku semasa gadis dulu.

Tentu saja seberapa besar tabunganku bila setiap saat selalu aku pakai untuk menomboki pengeluaran di rumah ini, tetap saja Akan terus berkurang. Entah Sejak kapan, Mas Bagus semakin tidak terkendali. Iya terus-terusan menyalahkan aku jika aku terlalu boros.

Namun selama ini ia selalu menghabiskan uangnya untuk keluarganya. Aku sudah cukup menahan diri. sekarang saat dia tidak memiliki pekerjaan rumah tidak ingin segera mencari pekerjaan.

"Mas Bagus! Minta uang buat beli pulsa dong!" Itu suara Lina. Gadis berusia 20 tahun yang berstatus menjadi adik iparku.

Lina seringkali meminta suamiku untuk memenuhi kebutuhannya. Aku tahu apabila dia memang masih menjadi tanggung jawab suamiku setelah ayah mertuaku meninggal. Namun seringkali Lina menjadi lupa daratan saat Ia menginginkan sesuatu.

" aLina, Bukankah Kemarin Mas Bagus baru saja memberimu uang Rp100.000? Mengapa Sekarang kamu minta lagi uang untuk membeli pulsa?" Aku bertanya karena memang penasaran. Entah untuk apa gadis berusia 20 tahun itu seringkali meminta uang kepada Mas Bagus. Padahal ia juga tahu kalau kakaknya itu tidak bekerja.

"Apaan sih Mbak! Lagi pula Lina minta uang juga sama Mas Bagus! Bukan sama Mbak Alisa. Memangnya aku ini tanggung jawab siapa? Ingat, Mbak. Aku ini adik kandung Mas Bagus. Itu artinya aku masih tanggung jawab Mas Bagus. Mbak Alisa tidak boleh melarang Mas bagus buat ngasih uang sama Lina. Jangan egois mbak!" Lina menatapku dengan sinis.

Gadis itu malah berjalan memasuki rumahku. Ia melewatiku begitu saja tanpa menundukkan tubuhnya sedikit. Padahal jelas aku yang lebih tua darinya. Lina langsung duduk di samping Mas Bagus yang sedang bermain ponsel di sofa.

"Memangnya kamu mau minta uang berapa Lina?" Lagi-lagi suamiku bertanya tanpa menoleh dari ponselnya. Aku tidak tahu apa yang laki-laki itu mainkan sehingga ia sangat fokus pada ponselnya.

"Tiga ratus ribu, Mas. Aku mau pergi main sama teman. Karena mumpung hari Minggu. Aku pengen jalan-jalan sama mereka," ucap Lina dengan enteng.

"Kalau kamu tidak punya uang lebih baik di rumah saja Lina." Aku menyahut sambil menahan geram karena seenak jidatnya Lina meminta uang pada suamiku.

"Apa yang kau katakan Alisa! Lina ini adikku. Dia masih menjadi tanggung jawabku sebelum menikah. Ini. Pergilah. Abaikan kata-kata Mbakmu itu." Suamiku memberikan uang kepada Lina dengan mudah. Uang lembaran merah senilai Rp300.000 itu membuatku melebarkan mata.

Dalam hitungan dua hari saja Mas Bagus sudah memberikan Lina sebanyak Rp400.000. Sedangkan dia memberiku uang Rp1.000.000 sebulan? Mengapa terkesan sangat berbanding terbalik seperti itu? Aku mengatur nafasku. Supaya tidak terlanjur marah ketika Mas Bagus sedang emosi seperti ini.

"Terima kasih Mas Bagus! Lihat. Mas Bagus saja tidak keberatan. Kenapa Mbak yang repot?" Lina menatapku dengan sinis. Ia lalu menendang sapu yang ada di dekatku dan melangkah pergi. Itu membuatku sedikit terkejut.

"Lina! Kamu jangan keterlaluan!" Aku berteriak melihat kelakuannya. Sebagai seorang gadis tidak seharusnya dia bertingkah kurang ajar seperti itu.

"Alisa! Jangan melewati batas!"

Terpopuler

Comments

Eliani Elly

Eliani Elly

😌😌

2023-09-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!