FIVE
FAMILY GATHERING
“Ambilkan kain baru lagi.” Tinaa berteriak dengan suara menangis.
Ivan menggendong tubuh-ku dari dalam terminal menuju sebuah ruangan lain di dalam terminal. Kia meminta kami untuk pindah ke lantai dua terminal agar mereka dapat mengatasi puluhan pria perompak yang mengepung mereka.
Nenek menangis di samping-ku sambil memegang pundak Ivan. “Ivan. Terima kasih.”
Ivan hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari-ku. Mata itu tidak pernah meninggalkan-ku.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Yang Mulia pasti akan mengusir para waglo karena tidak bisa mencegah mereka menyentuh Olya.” Mama berkata histeris.
Tangan Ivan yang menggenggam tangan-ku mengeras. Rahang di wajahnya terlihat kaku saat mendengar mamamenyebutkan nama Leonord.
“Salma!” Nenek menegurnya dengan keras. “Diam dan biarkan para pelayan mengobatinya.”
Mama akhirnya berhenti berbicara dan menghentikan langkahnya yang cemas.
Feli dan Carli dengan cekatan membersihkan bekas luka di lengan dan kaki-ku. Mereka memberikan larutan pembersih luka yang membuat luka-ku seperti tambah tersayat dari sebelumnya. Aku mengerang dan memejamkan mata-ku.
“Tuan Ivan, kumohon ijinkan aku memegangnya.” Suara Tinaa yang bergetar tidak jauh dari-ku. Dia meminta Ivan untuk melepaskan-ku.
“Tidak.” Ivan menolak dengan tegas. Dengan suara bernada rendah yang dalam.
Feli dan Carli berhasil membuat air mata-ku berlinang sekitar lima belas menit lamanya. Aku tidak berani bersuara karena nenek dan mamapasti akan tidak akan kuat melihat-ku yag merintih.
Sesekali ada seseorang yang mengusap air mata-ku dan aku tahu itu bukan tangan seorang perempuan.
Aku mengganti pakaian-ku saat akhirnya Ivan bersedia pergi dari-ku sesaat. Para pelayan membuat area di sudut ruangan dan menutupnya dengan kain agar aku leluasa mengganti pakaian-ku. Kali ini mereka memakaikan terusan berwarna putih yang tidak terlalu ketat dan menutupnya dengan sebuah kimono sutra denga tali yang mengingkat pinggang-ku dengen erat.
Saat aku selesai dan mereka membuka tirai, aku melihat tiga pasang mata menatap-ku dengan khawatir. Nenek yang menghela nafas dengan hati-hati. Mamayang menatap dengan mata berkaca-kaca. Dan Ivan....menatap-ku dengan....
Ivan dengan cepat berjalan ke arah-ku dan memegang lengan-ku. Feli dan Carli cukup terkejut melihat perilaku Ivan sejak mereka membantu membersihkan luka-ku tadi.
Aku melepaskan tangan Ivan berharap dia bisa mengerti untuk menjaga sikapnya. Wajah Ivan yang lebih kurus dari sebelumnya cukup mengagetkan-ku. Meskipun begitu wajah ini tetap bisa membuat semua orang terpesona. Tapi tidak untuk-ku. Tidak lagi sekarang.
“Carli,” Aku meminta Carli menopang-ku untuk bersandar di kepala tempat tidur. Tempat tidur yang dengan ajaibnya bisa tersedia meskipun aku hanya menghabiskan lima belas menit untuk berganti pakaian.
“Baik, Yang Mulia.” Carli bergegas mengantar-ku untuk meninggalkan Ivan yang terlihat kecewa karena menolak bantuan darinya.
Tidak lama saat aku sudah bersandar dan Carli menutup tubuh-ku dengan selimut, Feli membuka pintu dan mengijinkan Kia masuk. Wajah pria itu dibasahi keringat dan dia tampak sangat ketakutan meskipun dia berusaha menutpui selayaknya seorang waglo.
“Yang Mulia,” Kia berlutut di hadapan-ku. Dia menunduk. “Maafkan kami. Ini diluar perkiraan kami. Mereka, mereka adalah tahanan penjara yang kabur lima kilometer dari sini.”
Aku menggenggam selimut-ku hingga tangan-ku memutih. Aku tidak membayangkan akan pergi ke Klaptongad dalam keadaan lengan dan kaki-ku terluka dan leher-ku mungkin saja membiru besok.
“Katakan pada,”
Ivan menarik leher Kia dan menghantam wajahnya dengan sekuat tenaga.
Aku terkesiap dan terbelalak. “Hentikan!”
“Katakan pada-Nya, Yang Mulia terluka karena-Nya.” Ivan menggeram tanpa berkedip.
Kia tidak berkata apapun. Wajahnya memerah karena Ivan menekan lehernya hingga kesulitan bernafas. Aku tidak pernah melihat Ivan semarah dan menakutkan seperti ini.
“Hentikan.” Aku tidak ingin memanggil namanya.
Ivan masih tidak bergeming.
“Hentikan!” Aku berteriak sekuat tenaga.
Ivan akhirnya melepas cekikannya pada leher Kia dan menatap-ku dengan seksama. Aku hanya menatap-nya dua detik dan mengalihkan pandangan-ku pada Kia yang masih berada di lantai.
“Semuanya keluar dari ruangan ini kecuali Kia.” Aku berkata sambil menutup mata-ku.
Aku mendengar Mama-ku meminta Ivan agar keluar bersama mereka. Pria itu tentu saja menolak pada awalnya, tapi akhirnya suaranya tidak terdengar lagi di dalam ruangan.
Aku membuka mata-ku dan mendapati Kia sudah kembali berlutut. Dia bernafas dengan tergesa-gesa.
“Kapan kereta akan kembali berjalan?”
Kia akhirnya mengangkat kepalanya. Lehernya terlihat memerah karena apa yang dilakukan Ivan tadi. “Setengah, setengah jam lagi.”
Tidak ada gunanya menghabiskan energi-ku pada Kia dan semua waglo yang ada. Aku hanya ingin tidak ada yang melihat-ku di Klaptongad saat masih penuh luka seperti ini.
“Beritahu Aarush, aku tidak ingin ada yang melihat-ku saat sampai di Kastil Utara dan San Clara. Jangan ada yang bisa mengambil gambar-ku dengan keadaan seperti ini.”
Kia mengangguk dengan cepat. Dia meminta maaf pada-ku lagi dan meminta ijin untuk pergi mempersiapkan semuanya.
Tinaa masuk tidak lama setelahnya. Dia membawa beberapa ramuan berwarna hitam dan tentu saja dengan aroma yang menjijikan.
“Ini untuk kesembuhan semua luka yang ada.” Tinaa meminta-ku bersabar dan meminum obat-obat itu secepat mungkin.
Setelah berhasil meneguk hampir tiga gelas mimpi buruk itu, aku bertanya mengenai kondisi di luar terminal dan kereta. Tinaa mengatakan semua waglo dan gladiator sudah mengatasi semuanya.
“Dan pria itu,” Aku tentu saja menuju pada Ivan. “Apakah dia akan pergi ke Ibukota?”
Tinaa menatap-ku dengan ragu lalu akhirnya mengangguk pelan. “Dia akan menjadi galdiator tingkat satu dalam upacara tradisi dua minggu lagi.’
Aku tersenyum menahan pahit. Ini bukan saja mimpi buruk tapi ini sebuah takdir. Meskipun aku tahu tidak bisa mengubah pertemuan. Tapi aku bisa pastikan dia tidak akan hidup dengan mudah.
“Siapa anak laki-laki itu?” Mama menatap-ku dengan bingung saat aku membawa anak laki-laki yang aku selamatkan.
Aku menatap anak laki-laki yang lebih muda dari-ku itu. Matanya yang hijau menatap-ku dengan penuh harapan.
“Ivan. Ivander.” Aku menyebut salah satu karakter di novel kegemaran-ku. Ivander si pemuda tampan mempesona dengan seribu rahasia. Hanya nama itu yang teringat di benak-ku.
“Ivander.” Mama hanya menyipitkan mata dengan bingung. Lalu mama memandang-ku. “Apa yang kamu ingin lakukan pada-nya?”
“Mungkin dia bisa tinggal di Irishan? Dia tidak punya siapa-siapa lagi.” Aku bersiap untuk makian dari mama. Mama tidak suka orang asing.
Mama memandang-ku dengan tatapan menuduh. Sepertinya mama menganggap aku sudah melakukan dosa besar membawa anak ini. “Aku menyelamatkannya di rumah tidak jauh dari Irishan.”
Dengan matanya yang lelah semalaman, mama berdiri dari kursi dan menunduk menatap Ivander. Aku tahu seharusnya tidak membahas ini di saat baru saja semalam kami semua sibuk menyelamatkan Irishan dari tragedi yang menakutkan. Untung saja para wafren datang dengan cepat dan mereka bisa membantu menyelesaikannya. *
“Irishan akan tutup dalam beberapa bulan kedepan.” Mama berucap sambil terus memandang mata Ivander. Sepertinya bukan hanya aku yang menyukai mata itu.*
Aku tidak tahu harus membawa Ivander kemana. Tidak ada penampungan anak yang bisa aku percaya. Terutama sejak tadi malam Ivander tidak mengucapkan satu kata-pun. Ini akan menyulitkan untuk mendaftarkan dirinya dengan kondisi seperti ini.*
“Biarkan Ivander tinggal di rumah belakang. Di sana ada kamar kosong bukan? Setelah Irishan kembali di buka dia bisa ke sana.” Aku memberi solusi.*
Mama mendesah ketika berdiri. Itu pertanda buruk. Mama selalu mendesah ketika membenci sesuatu dan pasti selajutnya dia akan menolak gagasan itu.*
“Aku akan menerima pelajaran khusus selama tiga bulan di Klaptongad. Jika mama mengijinkan Ivan tinggal di sini.” Aku buru-buru mengatakannya sebelum mama mengeluarkan kata-kata penolakan.*
Mama cukup terkejut mendengarnya tapi terlihat mama cukup luluh dengan penawaran-ku. “Baiklah. Jangan lupa bahwa Papa mungkin tidak akan menyukai hal ini.”*
Aku hanya tersenyum. Aku akan memberikan penawaran yang tidak bisa Papa tolak. “Tenang saja, Papa pasti akan setuju.”*
Kereta sudah mulai berjalan sepuluh menit yang lalu. Tapi aku masih belum melupakan semua wajah para waglo yang aku lewati saat menuju kereta setengah jam sebelumnya menggambarkan bagaimana ketakutannya mereka jika berita ini sampai ke Leonord.
Tidak ada yang berani mengganggu-ku di dalam kamar tidur sejak tadi. Hanya Tinaa yang selalu menanyakan rasa sakit-ku selama sepuluh menit sekali.
Aku tidak berniat makan malam di gerbong dua jam dari sekarang. Itu semua karena kehadiran Ivan yang mengguncang kami semua. Kenapa dia harus muncul lagi di kehidupan-ku?
Kenapa?
Ketukan pelan sebanyak tiga kali menghentikan pikiran-ku. “Masuk.” Jawab-ku sambil melindungi tubuh atas-ku dengan selimut hangat.
Pintu terbuka dengan pelan dan Ivander yang sudah bertukar pakaian berwarna putih dengan celana berwarna cokelat pekat menyapa-ku dengan senyuman tipis.
“Maaf jika aku mengganggu tidur-mu.” Ivan berkata dengan sangat lembut.
Aku memandang jendela luar tanpa memperdulikannya.
“Olya.” Suara itu membuat seluruh tubuh-ku bergetar seketika. “Maaf jika aku muncul tiba-tiba.”
Aku menutup mata-ku mencoba mengabaikannya lagi. Aku sudah melakukannya lima tahun. Ini tentunya bukan hal yang sulit....
Seharusnya.
“Bisakah aku mengatakan sesuatu padamu?” dia bertanya dengan ragu-ragu.
Karena aku tidak menjawab dia melajutkan. “Aku akan berada di Ibukota karena status-ku sebagai gladiator. Aku tidak tahu apakah kamu mengetahui mengenai kehidupan-ku selama ini.”
Aku tidak pernah ingin tahu.
“Selama ini aku sudah tinggal di sana.” Ivan kembali melanjutkan. Berharap aku masih berfokus padanya. “Sejujurnya aku ingin kembali ke Elestor tapi mendengar kamu akan berada di sana. Meskipun dengan alasan yang sama sekali diluar dugaan-ku.” Kalimat terakhir terdengar rasa kecewa di dalam nya.
Aku membuka mata-ku dan menatap matanya dengan seksama. “Kenapa? Kamu tidak menduga gadis yang berada di hadapan-mu akan menjadi ratu negeri barat?”
Ivan yang cukup terkejut dengan jawaban dariku terlihat berusaha menjawab dengan lebih tenang. Meskipun sepertinya dia lebih terkejut karena aku meresponya sekarang.
“Semua orang tahu bahwa,”
“Seharusnya Lydia yang berada di posisi ini?” ucap-ku sinis.
“Semua orang terkejut.” Ivan memberi fakta. “Termasuk aku.”
Aku memalingkan wajah-ku ke arah pemandangan luar yang sekarang masih belum berubah. Masih banyak padang rumput tanpa penghuni yang berlalu lalang sama sekali. Bisa aku bayangkan dengan sifat Leonord yang begitu ambisius selayaknya seorang Konstantin, bisa saja aku akan melihat bangunan modern dikemudian hari.
“Kamu bisa menolak.” Ivan berkata dengan penuh harap.
Aku terkekeh dengan nada mengejek. “Lalu, kamu akan berbahagia melihat keluarga-ku digantung dan di arak ke seluruh negeri. Tidak akan aku biarkan itu terjadi.”
“Kalian adalah keluarga-ku.” Nada kecewa terpancar darinya. “Bagaimana kamu bisa mengatakan aku akan berbahagia diatas penderitaan kalian semua?”
“Dan semua masalah terpecahkan. Aku akan menikah dan aku sangat senang karena ini akan menjadi pertemuan terakhir-mu dengan kami.” Aku berusaha sekuat mungkin menghancurkan hatinya. Dia pantas mendapatkan itu.
Sekelebat emosi marah dan penyesalan terpancar dari wajah yang sangat aku kenal itu. Bahkan mata hijau indah yang dulu selalu bersinar sepertinya sekarang dipenuhi dengan masalah dan kepedihan. Apakah aku menjadi salah satu penyebabnya?.....
Dia menghembuskan nafas panjang dan menyentuh kaki dari tempat tidur-ku. Badannya sedikit condong ke arah depan. “Leonord,”
“Jangan lupa status-mu. Panggil dia dengan terhormat.” Aku menyergap cepat.
Dia menggelengkan kepala. “Aku tidak akan memanggilnya dengan sebutan itu. “Dia bukan raja yang diinginkan semua orang.”
Aku memang tidak memiliki hubungan yang baik dengan Leonord. Tapi hubungan-ku dengan Ivan lebih mengenaskan. Selama Leonord adalah salah satu objek kebencian oleh pria di depan-ku ini maka tidak ada salahnya membela Leonord di hadapannya.
“Semua orang tidak punya suara di negeri ini. Konstantin sampai dunia kiamat-pun adalah keturunan dewa matahari. Mereka akan tetap berada di atas siapapun.”
“Dulu kamu sedikit banyak membencinya bukan?” tanya Ivan defensif.
“Itu tidak penting.” Ucap-ku singkat karena letih dengan percakapan ini.
“Olya.” Dia memanggil-ku seperti selama ini dia memanggil-ku. Penuh dengan kelembutan. “Kamu masih bisa pergi.”
Aku melipat tangan-ku dan menatap seelimut. “Keluar dari sini.”
“Aku tidak akan kemana-mana.” Ivan menolak.
Aku melayangkan tatapan kebencian padanya. “Baiklah, maka aku yang akan keluar dari gerbong ini.” Aku berdiri menahan rasa sakit dan berjalan dengan tergopoh ke jendela besar yang bisa dMamaka dari dalam.
Sontak angin kencang menyergap-ku dan membuat rambut-ku menari-nari tidak karuan. Hanya dalam hitungan detik aku bisa melompat dan tubuh-ku pasti akan terlindas salah satu roda atau bisa terlempar dan terhempas ke perbukitan dengan semak belukar yang dalam.
Ivan menarik lengan-ku dengan cepat. Mata melotot marah berada tidak jauh dari-ku. “Apa yang kamu lakukan?!”
“Kamu tidak tahu? Hanya ada dua dari hasil lompatan-ku. Leonord harus mencari ratu yang baru dan kamu akan di anggap pembunuh calon ratu negeri ini.”
“Tidak. Jika kamu melakukan ini maka Mama dan nenekmu akan tersiksa sepanjang hidup mereka!”
“Sekarang kamu memikirkan kami?” Aku mencibir. “Kamu tidak punya hak untuk mengatakan itu. Kamu bukan seorang Williams.”
Tangannya masih mencengkeram lengan-ku dengan erat. Dan matanya masih menatap-ku tanpa kehilangan fokus. “Aku tahu kamu akan melakukan sesuatu berbahaya saat sedang terdesak,Olya.”
“Apa maksud-mu?” tanyaku tersinggung. “Kamu menganggap aku mencari perhatian?”
Ivan terdiam karena kesulitan mencari kata-kata yang tepat. Ketakutan untuk melontarkan kata-kata yang salah sangat mudah ditebak dari wajahnya yang sekarang tersudutkan itu.
“Tidak.” Ucapnya singkat.
Dok...Dok...
“Yang mulia?” Suara Kia sambil menggedor pintu dengan kencang, Aku bisa merasakan kesemasan dari suara itu.
Kia mengulang ketukan lebih keras. “Aku akan masuk Yang Mulia.”
Aku menghentakkan tangan-ku dan genggaman Ivan terlepas tanpa ada perlawanan darinya. Aku bisa mendengar nafasnya yang terburu-buru seperti baru saja dia melewati bahaya dalam hidupnya. Dia sekarang tidak menatap-ku. Dia memandang lantai sambil mengatur nafasnya. Jika perilaku ini tetap dia pertahankan selama menjadi Gladiator maka aku yakin dia tidak akan lama lagi diasingkan. Seorang Gladiator tidak bisa memiliki emosi dalam kehidupannya.
Tapi sekarang ini bukan urusan-ku. Dia bukan siapa-siapa lagi.
Kia membuka pintu dengan terburu-buru dan saat matanya melihat kami berdua dalam posisi berdiri yang tidak berjauhan, banyak rasa penasaran yang ada dari waglo itu.
“Apa yang kamu lakukan di sini, prajurit?” Kia melontarkan pertanyaan dengan nada menuduh.
Kia sepertinya tidak ingin menambah masalah dalam hidupnya lagi setelah insiden beberapa jam lalu. Tentu saja jika Leonord tahu seorang pria berada dalam ruangan yang sama dengan calon istrinya dia pasti akan murka. Bahkan kami sekarang hanya berdiri dengan jarak setengah meter saja.
“Prajurit ini hanya mengecek keadaan-ku.” Aku berusaha untuk tidak menambah drama lagi hari ini. Dari sudut mata-ku Ivan mendesah pendek tanpa bergerak sedikitpun.
Kia menundukkan kepalanya. “Maaf, Yang Mulia. Ini sangat tidak wajar meskipun keluarga Yang Mulia sudah mengenal prajurit ini dengan baik.”
“Aku tahu. Jadi tolong rahasiakan ini dari semua waglo yang ada di depan kamarku.” Aku berjalan kecil menuju tempat tidurku yang tidak sampai dalam hitungan detik Ivan memegang tangan dan pinggul-ku untuk membantu-ku berjalan.
Aku dan Kia sama terkejutnya. Tapi sebelum Kia dan Ivan terlibat baku hantam di sini aku melepaskan kedua tangannya yang terasa sangat hangat itu dan menjauh darinya. “Aku bisa melakukannya sendiri.”
Ivan akhirnya merelakan aku berjalan sendiri dengan wajah yang sangat kontras sekali.
Aku menatap Kia saat sudah menata selimut-ku di atas tubuhku yang masih saja merasakan sakit di setiap sudut luka. “Kia,” Aku akhirnya membuat Kia melepaskan tatapan penuh curiga pemuda itu dari Ivan. “Beritahu Leonord bahwa aku tidak ingin menemui-nya besok.”
“Yang Mulia, itu tidak mungkin.” Kia berkata dengan penuh tidak keyakinan.
“Katakan padanya aku ingin menyembuhkan lukaku. Dan selama itu belum selesai maka aku ingin berada di San Clara tanpa di ganggu siapapun.”
Sebenarnya ini hanya alasan-ku untuk menghindari Leonord, aku tentu saja tidak tertarik untuk bertemu dia dan Mamanya saat suasana hati-ku buruk. Saat suasana hati-ku baik pun aku tidak ingin berada di satu ruangan yang sama dengan mereka. Mereka adalah calon keluarga Lydia. Aku tidak bisa menghapus memori itu begitu saja.
“Akan aku coba, Yang Mulia.” Kia mengalah.
Kia menarik pergi Ivan. Ivan kali ini tidak menolak untuk di bawa pergi meskipun aku tahu bahwa dia menatap-ku dengan pandangan yang sangat lama. Dia menatap-ku seperti seseorang yang tidak bisa di temui lagi...
Aku hanya menutup mata setelah mendengar bunyi pintu di tutup dengan suara yang sangat pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments