TWO
QUEEN’S LESSON
“Nona Williams.” Magda memanggil-ku untuk pelajaran pagi ini. Ini adalah minggu keempat di mana aku harus melanjutkan pelajaran-pelajaran yang membosankan ini.
“Magda.” Aku memanggilnya dengan sebutan seperti itu karena status-ku yang berada di atasnya meskipun Magda adalah wanita berumur lima puluh tahun dengan rambut yang terlihat beruban.
“Pagi ini adalah pelajaran yang bisa kita lakukan di taman Konstantin.” Magda duduk di hadapan-ku.
Kami sekarang berada di ruang belajar yang di penuhi dengan belasan pelayan yang berdiri tanpa bergerak setiap sisi dinding dan pintu. Mereka semua berasal dari Kastil Utara. Kiriman dari Leonord.
“Bukan-kah taman itu tidak pernah di buka untuk umum?” Aku menutup buku yang sedang aku baca sejak satu jam lalu. Karya Nomoti Tenmisah. Penulis yang paling aku gemari sejak kecil.
“Anda bukan orang umum, Nona Williams.” Magda menjawab sarkastis.
Aku hanya memutar bola mata-ku karena jawaban itu. Aku sangat membenci status-ku sebagai calon ratu negeri ini. Entah sudah berapa ratus kali aku mengatakan ini dibenakku.
“Apa yang akan kita lakukan di sana?” Aku teringat pernah mendengar dari Papa bahwa taman itu adalah tempat di mana Raja Aarush dan Ratu Victoria bertemu pertama kali. Meskipun sepertinya itu bukan tempat yang cocok untuk menjadi tempat di mana aku harus menghabiskan satu hari yang melelahkan ini.
“Membaca beberapa buku dan menguji semua pelajaran kita minggu lalu di sana.”
“Kita bisa melakukannya di sini.” Ucap-ku malas.
Magda hanya diam. Dia sangat sabar menghadapi-ku. Tentu saja dia harus sabar. Karena bisa saja dia menjadi orang ke lima belas yang pergi dari rumah-ku. Aku sudah memulangkan empat belas asisten pengajar minggu lalu dan aku tidak mendengar keluhan apapun dari Klaptongad. Sepertinya mereka tidak perduli apapun yang aku lakukan.
“Ada beberapa hal yang sebaiknya saya sampaikan di sana. Tolong anda mengerti Nona Williams.” Magda berbicara dengan mencondongkan tubuhnya ke arah-ku. Wajahnya sedikit memohon.
Aku tidak membenci wanita ini. Hanya saja dia akan bersama-ku selama dua bulan dan itu sangat aku melelahkan pikiran-ku. Aku benci berada dekat dengan orang yang asing dan harus mengikuti perkataannya.
“Baiklah.” Akhirnya aku mengalah. Aku tidak ingin terlalu menyusahkan pekerjaannya.
“Mobil akan datang sepuluh menit lagi. Tinaa telah menyiapkan pakaian untuk anda.” Magda kemudian pergi dan meminta semua pelayan menemani-ku hingga kamar.
Semoga mereka semua tidak ikut ke sana. Mereka hanya akan menjadi patung di sana.
Taman Konstantin berada di timur Elestor. Perjalanan kami sama sekali tidak terdapat hambatan karena kepolisian setempat dan para waflo telah berada di titik-titik tertentu menjaga keamanan.
Sesampainya di sana taman yang sudah tidak pernah dijadikan tempat untuk warga biasa itu tampak masih terawat. Sebuah patung pahatan menyambut kami saat menaiki tangga pintu masuk. Kami melewati sebuah kolam kecil yang dipenuhi dengan ikan-ikan berwarna emas, kuning dan putih. Mereka seperti menari-nari dari dalam air saat kami melewati jembatan kecil untuk melintasi kolam jernih itu.
Kemudian kami memasuki sebuah bangunan kecil yang menjadi terminal sekoci-sekoci yang akan membawa kami ke taman Konstatin di tengah danau.
Magda memutuskan hanya membaca lima pelayan untuk menemani kami di sana. Ada sepuluh waglo yang ikut menyertai kami. Kehadiran mereka mulai membuat-ku terbiasa.
Kami mulai mengisi satu per satu sekoci itu. Hingga akhirnya tiga sekoci dengan ukiran keluarga Konstatin mengapung dengan pelan melewati danau berwarna hijau itu.
Dari kejauhan taman Konstatin itu adalah sebuah kastil tua yang sudah lama tanpa penghuni. Kastil tua yang menjadi saksi bisu pertemuan antara...
“Apa anda baik-baik saja nona?” Magda menyentuh tangan-ku. “Sebentar lagi kita akan sampai.”
“Aku baik-baik saja.” Aku hanya bisa melemparkan senyuman palsu.
Para pengemudi sekoci-sekoci kami berhasil mendaratkan kami ke dermaga yang berada di sisi kiri pulau kastil itu. Di sana lebih banyak lagi waglo sedang bertugas. Mereka mengamati setiap gerak dan langkah kaki-ku.
“Kenapa banyak sekali waglo yang berada di sini?” Jantung-ku berdegup kencang.
Magda berjalan lebih mendekat ke arah aku berdiri. “Banyak ancaman yang mengarah pada Yang Mulia Leonord akhir-akhir ini. Kami hanya ingin berjaga-jaga.”
Aku merasa nafas-ku terhenti sesaat. Ancaman apa yang dimaksud? Apa Leonord dalam bahaya? Aku sama sekali tidak membaca surat kabar selama satu minggu. Apakah ada yang di sembunyikan oleh mereka?
“Ancaman apa?”Aku berharap Magda tidak menutupi apapun.
“Maafkan aku.” Magda menggelengkan kepalanya. Sudah kuduga dia akan berada di sisi Leonord.
Aku meninggalkannya dan berjalan melewati puluhan waglo dan menaiki anak tangga menuju pintu masuk kastil. Aku tetap saja memperhatikan bagaimana mata mereka yang cukup cemas saat aku menaiki tangga. Apa mereka berfikir aku akan jatuh dan terluka? Meskipun aku penasaran apa yang akan di lakukan Leonord pada mereka jika itu terjadi, aku tidak akan melakukan aksi bodoh yang tidak penting disini.
“Mari ikuti saya.” Magda meminta-ku untuk melewati lorong-lorong yang akan membawa kami ke suatu tempat. Setelah melewati lorong itu aku melihat sebuah hall besar yang berada di tengah-tengah bangunan persegi empat itu.
Mereka menuju suatu taman di belakang kastil. Untuk mencapai taman itu mereka harus melewati tangga dengan barisan bunga dengan konsep terasering yang cukup tinggi.
“Baiklah kita akan menaiki tangga terasering ini dan anda harus menyebutkan setiap bunga yang kita lewati.” Magda berhenti dan meminta-ku untuk mendahuluinya.
Sebuah ujian yang menyebalkan. Bagaimana bisa masalah mengenai bunga akan diperdebatkan untuk seorang ratu.
“Itu bunga Lolipop.” Aku menunjuk bunga yang berbentuk seperti pisang berwarna kuning dengan daun lebat di sekelilingnya.
“Bagus.” Magda terdengar puas.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Itu Rafflesia yang melegenda.” Aku menujuk ke arah kanan tubuh-ku dan berusaha menahan aroma busuk dari bunga berukuran besar itu.
“Tenang saja kita tidak akan menemukan mereka di Klaptongad nanti.” Magda menenangkan-ku seolah-olah bau itu tidak mengganggunya.
“Dan itu Bunga Passion.” Aku menyebutkan bunga di barisan paling atas sekaligus bunga terakhir dari rangkaian bunga dengan bentuk-bentuk yang begitu unik dan ‘aneh’ hingga bisa muncul di tidur-ku nanti malam.
Kami sampai di puncak di mana area paling selatan dari kastil ini. Kami sampai di ‘ladang’ bunga matahari terbaik yang pernah aku lihat. Di sana para pelayan wanita dengan gaun anggun berwarna kuning sedang menata, membersihkan dan merawat bunga-bunga berukuran raksasa itu.
Sementara kami melewati mereka untuk mencapai jalan setapak yang dihiasi pergola lengkung yang dipenuhi rumput dan bunga matahari mungil di setiap sisinya. Aku menyadari pergola-pergola lengkung ini membawa kami ke sebuah gazebo berbentuk seperti kereta kaca yang dMamaat lima kali lebih besar dari kereta kaca pada umumnya. Pilar dari tembaga kuning dan pagar-pagar metal membuat aku cukup terkesan.
Yang cukup unik terdapat air terjun miniatur yang mengalirkan airnya kesebuah kolam dengan air jernih yang mengelilingi lantai yang berada di tengah-tengah ruangan. Lantai di tengah ruangan itu berdiri lebih tinggi di banding yang lain hingga terlihat seperti sebuah pulau yang berada di tengah sebuah danau air.
Kami berjalan di jembatan batu dan duduk di meja yang ada di sana. Kursi-kursi yang ada sangat empuk sehingga membuat aku bisa melepaskan rasa letih sejak tadi.
Meja kami sudah diisi dengan banyak makanan-makanan yang bisa membuat-ku kenyang selama satu bulan. Saat aku melihat Steak-steak daging di hadapan-ku, aku kembali teringat pada Lydia. Itu adalah makanan kesukaannya.
“Yang Mulia Leonord meminta-ku membawa nona ke sini untuk menghirup udara segar.” Magda menuangkan teh hangat di cangkir porselen putih milik-ku. “Yang Mulia sangat khawatir.”
“Benarkah begitu?” Ucapku datar.
“Tentu saja nona.” Magda menjawab tanpa ragu.
“Sebenarnya, Yang Mulia ingin mengunjungi nona hari ini.” Magda berkata dengan suara lebih kecil.
Jantung-ku berdegup kencang. Aku masih belum bisa bertemu dengannya. Aku tidak tahu harus berkata, bersikap dan berperilaku seperti apa di depannya. Setiap melihat wajahnya di setiap dinding sudut kota, rasa bersalah-ku kembali muncul.
“Tapi, sepertinya dia menunda hal itu karena mempertimbangkan banyak hal.” Magda melanjutkan lagi.
Aku akan menebaknya dalam kepala-ku.
Pertama. Bisa saja dia sibuk dengan urusan di Hutan Sentata. Banyak rumor mengenai pembantaian misterius yang membuat Kastik Utara cemas.
Kedua. Rumor yang Tinaa katakan satu minggu yang lalu – meskipun aku sudah memintanya untuk tutup mulut – mengenai perubahan sistem keamanan di Mamakota.
Dan ketiga yang bisa saja cukup membuat kepalanya membludak adalah mengenai aku dan dia. Ratu pilihan kedua. Bisa saja dia berusaha menenangkan kabinet dan Mamanya yang konservatif itu mengenai pernikahan kami. Mamanya tidak menentang pernikahan ini tapi bukan berarti dia menerima-ku sebagai pilihan utama bagi putra tunggalnya.
Lalu satu jam berlalu di mana kami duduk di sana dengan Magda menguji semua pengetahuan mengenai sejarah negara, politik dan pendidikan. Aku dengan sengaja salah memberikan jawaban pada beberapa pertanyaan. Tidak ada gunanya memberikan jawaban benar bukan? Aku bahkan tidak akan menikmati pernikahan ini.
“Nona,” Magda menutup buku panduannya dan memperbaiki postur duduknya. Dengan sinar matahari yang begitu terik, aku bisa melihat garis-garis penuaan di wajah dan pelipis matanya. Aku sedikit merasa bersalah.
“Bulan depan pernikahan anda akan diadakan di katedral di selatan Kastil Utara. Dimana nona akan berjanji menjadi pendamping Yang Mulia. Aku di tugaskan untuk memastikan selama nona menjadi ratu negeri ini, tidak ada kesalahan yang terjadi.”
“Kesalahan itu normal, kita manusia.”
“Kesalahan yang di sengaja bukan hal normal.”
Aku naik pitam. Magda cukup berani mengatakan itu. Apakah dia utusan Leonord atau MamaSuri? Keduanya sama-sama mimpi buruk.
“Aku sudah pernah bertemu ratu yang berasal dari keluarga Williams sebelumnya.” Magda tidak menyebutkan siapa ratu yang dia maksud. “Tentunya kondisi nona cukup berbeda dengan yang lainnya. Tapi satu hal yang pasti.”
Aku menunggu sambil menatap mata Magda yang seperti memohon pada-ku dengan sepenuh hati.
“Raja yang duduk di setiap ratu Williams sejak kerajaan berdiri, selalu mencintai ratu-ratu mereka. Cinta mereka tidak pernah pudar bahkan oleh waktu.”
Tapi Leonord dan Lydia adalah cinta yang hanya dipisahkan dengan maut? Bagaimana bisa aku berada di bayang-bayang kesempurnaan itu? Bagaimana Magda bisa berkata seperti itu? Seakan-akan dia tahu hati Leonord...
Seorang waglo menghampiri kami. Sesuatu yang penting sangat terlihat jelas di wajahnya yang cemas itu.
“Maafkan aku Yang Mulia,” waglo yang lebih muda dari-ku itu menyapa dengan sopan. Memanggilnya dengan ‘yang mulia’ meskipun aku belum resmi menjadi ratu-nya “Tapi kita harus kembali ke kediaman anda secepatnya.”
“Kenapa?” Aku berkata kesal. Aku masih ingin berkeliling lagi. Masih ada area yang aku ingin kunjungi di sini.
Waglo itu terlihat menimbang-nimbang untuk mengatakan hal yang mengusiknya. Tapi akhirnya dia menjawab pertanyaan-ku.
“Ada pembunuhan yang terjadi di Balai Kota. Sekelompok orang yang belum di kenal menerobos masuk tempat itu. Kami tidak ingin mengambil resiko.”
Magda menutup mulutnya dengan mimik muka terkejut. Matanya berkaca-kaca. Sesuai usianya, sepertinya dia tidak sanggup mendengar hal-hal brutal yang menjadi makanan sehari-hari di politik kotor negeri ini. Aku tidak terkejut jika ini terjadi di Klaptongad tapi ini adalah Elestor. Setelah menjadi tempat saksi bisu tragedi dua ratus tahun yang lalu pada era Ratu Victoria, Elestor selalu berada dalam suasana damai dan tenang.
“Ada informasi penting lainnya bagi Yang Mulia.”
“Apa?” Aku menunggu sambil menahan nafas-ku.
“Minggu depan Yang Mulia akan langsung berangkat ke Klaptongad. Kita harus mempercepat semua urusan di sini.”
Aku masih menahan nafas-ku tanpa melepaskannya keluar. Mimpi buruk itu akan menjadi kenyataan buruk lebih cepat dari seharusnya. Pertemuan-ku dengan Leonord tidak bisa ditunda seperti keinginan-ku.
Tinaa membiarkan aku sendiri di kamar-ku sehingga bisa tidur lebih cepat dari biasanya. Tirai-tirai aku ikat dengan kencang agar matahari tidak bisa mengganggu tidur malam-ku. Tapi aku masih belum mematikan lampu-lampu di kamar-ku. Sepertinya aku terlalu takut jika semuanya menjadi gelap.
Aku melewatkan makan malam dan sesi belajar terakhir bersama Magda. Alasan-ku adalah tidak enak badan. Magda yang aku yakin tidak percaya pada alasan-ku akhirnya hanya mengangguk. Sepertinya dia memahami suasana hati-ku yang buruk saat melintasi balai kota tadi. Bercak darah di mana-mana dan kepolisian yang harus menghentikan para warga yang penasaran dan berusaha masuk ke gedung secara paksa.
Aku menutup seluruh tubuh-ku dengan selimut dan hanya menyisakan kepala-ku yang masih melihat langit-langit. Aku menatap satu per satu perabotan di kamarku yang menjadi tempat aku menangis dan tertawa selama ini.
Ada piano putih besar di sebelah kiri dengan balkon terbuka di belakangnya – Lydia suka bermain piano untuk-ku - dimana aku tidak bisa bermain sama sekali, di sebelah kanan ada meja-meja dan sofa teman aku minum teh di sore hari dan bersenda gurau dengan teman-teman-ku di klub buku ‘Isla Kastia’, dan tepat di sebelah kanan ranjang-ku terdapat pintu menuju ruangan tempat pakaian-pakaian-ku sehari-hari. Aku bisa melihat dari sini – kare pintu nya terbuka sedikit – ada beberapa gaun berwarna nila, warna kegemaran-ku.
Aku akan sangat merindukan mereka semua. Meskipun mereka benda mati, tapi mereka menemani-ku sepanjang hari di saat aku marah ataupun terluka. Setidaknya aku bisa berlindung di sini tanpa harus memikirkan orang lain.
Satu hal yang menakutkan dengan pernikahan adalah kamu takut akan masa depan. Manusia itu adalah mahluk unik. Manusia bisa mengejutkan siapapun dengan perilaku mereka. Aku bahkan takut pada diri-ku sendiri. Apa yang akan aku lakukan jika aku dihadapkan dengan masalah-masalah yang begitu rumit.
Aku takut aku akan bersikap gegabah dan aku hanya akan membawa bencana.
Konstantin bukan keluarga yang mudah untuk dihadapi. Mereka akan melindungi keluarga mereka apapun caranya. Tapi aku juga akan melakukan hal yang sama. Demi nama baik keluarga ini, demi kelangsungan keturunan masa depan Williams, aku harus melakukan ini.
Ya, mungkin orang mengatakan ini bukan ketulusan. Aku melakukan ini dengan terpaksa.
Aku bisa mengatakan, bisa iya bisa juga tidak. Ada ratu yang menikah karena kewajibannya. Ada juga yang karena saling mencintai.
Sayangnya aku berada di kelompok yang kedua. Bahkan lebih buruk lagi, calon suami-ku seharusnya menjadi calon suami kakak-ku.
Miris dan menyedihkan.
Aku pernah bermimpi bahwa negeri ini adalah sebuah negeri fantasi. Negeri khayalan. Dimana Konstantin, Williams dan semuanya adalah mimpi semata.
Tapi nyatanya, aku masih terbaring di sini dan bernafas dan tidak bisa lari. Negeri ini adalah nyata. Kehidupan-ku adalah nyata. Leonord adalah kenyataan itu.
Aku baru saja ingin mematikan lampu di samping ranjang-ku saat tiba-tiba saja semua lampu di kamar-ku padam. Aku hanya melihat hitam pekat bahkan hanya dalam jarak pandang sepuluh centimeter saja.
Aku mencoba berdiri dan meraba-raba dinding perlahan. Awalnya aku menabrak lemari kecil tempat aku menaruh buku favorit-ku tapi untungnya aku bisa mencapai tirai dan jendela tidak jauh dari ranjang.
Saat aku membuka tirai, tidak ada satupun orang yangg melintasi taman atau pekarangan belakang. Meskipun matahari menyinari setiap sudut, aku tidak bisa melihat siapapun di sana.
Duk...Duk...
Pintu-ku di ketuk dari luar.
“Nona...” Tinaa berkata dengan suara gemetar.
“Ada apa?” Aku membuka tirai dengan lebar untuk mmbuat sinar matahari masuk ke kamar-ku lau berjalan dengan cepat menuju pintu yang aku kunci dari dalam.
Tinaa sedang memegang sebuah tas kecil di tangannya saat aku membuka pintu.
“Ada apa dengan listriknya?” Aku menoleh ke koridor yang hampa tanpa siapapun yang melewatinya. Hanya ada kami berdua.
“Seseorang atau bahkan ada kawanan yang berhasil masuk rumah ini.” Suara Tinaa bergetar dengan matanya yang berkaca-kaca. “Kita harus pindah ke ruang bawah tanah.”
Kemudian dari arah tangga belasan waglo dengan seragam merah tuanya yang masih rapi meskipun ini sudah tengah malam. Tengah malam dengan matahari yang tidak pernah tidur.
“Nona Williams,” waglo bernama Kia yang merupakan pemimpin waglo selama aku berada di Elestor memanggil-ku dengan ketenangan khas seorang waglo. Pemuda itu bahkan berumur sama dengan-ku tapi tingkat kesopanan yang dia miliki membuat aku terasa tua sepuluh tahun darinya.
“Kia, apa kita benar-benar perlu berada di sana?” Aku bergegas bertanya.
“Benar nona. Kita harus pergi ke ruang itu sekarang.” Ucap Kia serius.
Aku mengganti baju-ku dengan sebuah gaun terusan berwarna abu-abu dan mengikat rambut-ku secepat kilat. Lalu keluar kamar dan berjalan bersama Tinaa dan Kia serta rombongan di belakang-ku.
Kami menuruni tangga hingga ke lantai dasar yang telah kosong dan akhirnya menuju area belakang dekat dengan sebuah kolam renang kecil dan masuk ke bangunan kecil tempat penyimpanan barang bekas. Kami membuka pintu kecil rahasia yang dipakai untuk mencapai ruang bawah tanah.
Kami menuruni tangga spiral dengan dinding batu putih yang kotor dan berhasil mencapai ruangan satu lantai yang diisi dengan dapur kecil, empat tempat tidur berukuran sedang dan beberaa rak makanan. Tidak lupa terdapat kamar mandi yang ada di sebelah dapur.
Aku benci tempat ini.
Terutama karena ini adalah yang kedua kalinya aku ada di sini.
“Tinaa, di mana mamadan nenek berada?” Aku tahu bahwa mamadan nenek tadi sore sedang mengunjungi rumah paman-ku yang cukup jauh dari rumah.
“Mereka masih dalam perjalanan. Kia sudah menghubungi mereka untuk jangan pulang dulu. Semuanya masih berbahaya.” Tinaa menjawab lalu membuka tas kecil yang sejak tadi di pegang olehnya. Dia meletakkan tas dan isinya di meja makan.
Tinaa ternyata membawa radio satelit kecil yang digunakan untuk bertukar bisa berkomunikasi dengan pihak pemilik radio yang sama. Radio ini bukan radio sembarang radio. Hanya ada orang-orang tertentu yang bisa memilikinya.
Ini pasti milik Leonord.
Kia kemudian membuka radio itu dan menekan beberapa tombol hingga lampu berwarna hijau menyala di atasnya.
Sebuah kabel dengan pengeras suara mungil di pasangkan di bagian belakang. Pengeras suara mungil itu bisa kita pasangkan di lubang telinga kita dan mendengar suara lawan bicara kita. Begitu juga sebaliknya lawan bicara kita yang memiliki pasangan radio sama akan bisa mendengar dan menjawab percakapan.
“Laporan Unit satu. Kia Hanipton.” Kia memulai pembicaraan. “Ada lima orang yang di muncul di perpustakaan kediaman Williams. Nona Olya sedang berada di ruang bawah tanah.”
Kemudian Kia menghentikan suaranya. Sementara aku duduk di salah satu ranjang yang sudah di bersihkan Tinaa dengan cepat. Meskipun gugup, Tinaa selalu tetap fokus dengan tugasnya.
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh para penyusup itu? Jika mereka bermaksud mengincar harta benda seharusnya aku tidak perlu berada di sini kan? Kenapa Kia harus sampai memakai radio itu? Ada yang tidak beres dari semua ini.
“Nona Olya?” Kia menoleh kearah-ku dan sedikit ragu-ragu saat menjawab dengan berbisik dengan orang yang diajak bicara.
Tidak lama kemudian Kia datang dan kepala menunduk memberitahu-ku sesuatu. “Yang Mulia ingin berbicara dengan anda nona.”
Mata-ku membelalak. Semoga Kia tidak melihat itu. Hanya saja aku bisa merasa Tinaa juga ikut terkejut dengan telefon radio darurat itu. Jika aku tidak mengangkat telefon ini maka para waglo dan semua yang berada di ruangan ini akan menangkal sinyal hubungan hampa antara aku dan Leonord. Dengan enggan aku mengangkat tubuh ku dan berjalan menuju radio yang memiliki tombol-tombol yang asing dan lampu yag menyala di beberapa bagian.
Kia meminta-ku mengangkat pengeras suara kecil dan memasukan ke lubang telinga-ku. Sesaat setelah kedua pengeras suara itu terpasang, aku mendengar suara nafas yang cukup gelisah.
“Halo.” Aku menjawab pelan.
Kemudian terdengar suara kelegaan.
“Olya.” Leonord menghembuskan nafas kelegaan. Suara beratnya yang membuat hati-ku gelisah.
“Aku baik-baik saja.” Aku tidak ingin bertele-tele. Juga tidak ingin mengatakan hal lain. Aku takut aku akan berkata yang tidak seharusnya.
“Untung saja, para Waglo cepat melihat keadaan. Jika tidak,”
“Apa kamu akan mengerahkan semua tentara merah kalau sesuatu terjadi padaku?” Aku tanpa sadar menantangnya.
“Tentu saja. Meskipun Elestor akan menjadi kuburan masal besok, kamu adalah prioritas-ku.” balas Leonord bersungguh-sungguh.
Aku hanya tersenyum tanpa menimbulkan suara. “Mereka hanya perampok kan? Kenapa kamu terlalu serius? Apakah kamu takut bahwa calon istri nomor dua-mu akan meninggal juga ?”
Seisi ruangan terlihat menatap-ku dengan tegang. Mata mereka tidak berani memandang-ku – termasuk Tinaa – dan jika aku bisa melihat wajah Leonord sekarang, aku yakin dia akan marah besar. Leonord tidak suka di sindir dengan cara frontal seperti ini. Lydia tidak akan berbicara seperti ini. Jika Lydia masih hidup, dia tidak perlu menghadapi calon istri seperti-ku.
“Olya.” Leonord memanggil dengan sabar. “Tidak akan terjadi apa-apa pada-mu. Aku akan pastikan hal itu. Satu hal lagi yang terpenting untuk kamu ingat adalah kamu tidak pernah menjadi nomor dua. Tidak pernah.”
Bohong.
Lydia adalah nomor satu untuk semua orang.
Bahkan untuknya.
“Aku tidak bisa tidur di sini.” Aku mengalihkan pembicaraan. “Di sini dingin dan sesak.”
“Aku tahu.” Ucap Leonord simpati. Sepertinya dia benar-benar mencemaskan-ku. “Meskipun sulit, kamu harus merebahkan tubuh-mu. Tidur sejenak. Saat kamu bangun nanti, mereka sudah tidak perlu berada di benak-mu lagi.”
Aku mengingat cara bicara itu. Saat kami remaja, Leonord selalu mencemaskan-ku seperti sekarang. Dia selalu baik dan melindungi-ku.
“Olya, aku akan menunggu dengan sabar.” Leonord melajutkan. “Sebentar lagi kita adalah satu keluarga. Aku harap jalan kita tanpa hambatan. Tapi untuk semua itu terjadi, aku membutuhkan bantuan dari-mu. Aku butuh kita berada di satu kapal yang sama.”
“Aku lelah.” Aku kembali membalas dengan ketus. Berusaha keluar dari pembicaraan yang sama sekali aku benci. Bagaimana bisa aku menatapnya tanpa menghilangkan Lydia dari kepala-ku ini saat pernikahan kami nanti? “Maaf. Seharusnya aku tidak membicarakan hal ini sekarang.” Leonord dengan cepat membaca situasi hati-ku.
“Aku akan menunggu-mu, Naya.” Leonord memanggil-ku dengan nama panggilan dari-nya untuk-ku sejak kecil. Naya diambil dari Nada dan Olya. Dia pernah bergurau bahwa dia lebih menyukai untuk memanggil-ku dengan panggilan Naya. Aku masih ingat Leonord mangatakan bahwa sebuah buku bahasa keluarga Konstantin ratusan yang lalu memiliki nama Naya di dalamnya yang berarti moritz. Dia akan memanggil-ku jika dia ingin bercerita mengenai hal-hal pribadi pada-ku. Atau ingin merasa dekat denganku.
Aku melepas pengeras suara dari kedua telinga-ku tanpa membalasnya. Aku berjalan kembali ke tempat tidur yang telah bersih dengan kain lembut. Aku melepaskan sepatu-ku dan meminta selimut kepada Tinaa.
Kemudian aku menutup mata-ku dan membutuhkan waktu hingga satu jam lamanya untuk bisa akhirnya tertidur dengan lelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Liu Zhi
tapi takdirnya bgtu wkwk
2023-05-14
0