THREE
The Past
Tiga hari setelah melewati persembunyian di bawah tanah yang aku benci akhirnya Kia memberitahu bahwa Leonord mengijinkan-ku untuk berpergian untuk memberikan-ku hiburan. Meskipun menyebalkan karena aku harus selalu meminta ijin jika ingin pergi dari rumah tapi setidaknya aku bisa datang ke sesi klub buku pagi ini.
‘Isla Kastia’ adalah klub buku yang terdiri dari sepuluh orang yang berasal dari orang-orang dari keluarga kelas atas. Anak dari pejabat kota Elestor, anak dari panglima keamanan Elestor dan sebagainya. Sesungguhnya klub buku kami bukan sembarang klub buku. Klub ini diberikan suara dalam setiap keputusan dalam majelis parlemen dan memiliki lima persen veto. Hasil dari pertemuan kami akan di bicarakan oleh ketua parlemen dan menjadi suara penting bagi partai-partai politik yang ada.
Mereka semua adalah teman-teman-ku. Setidaknya mereka baik di hadapan wajah-ku. Tentu saja aku harus tetap memasang benteng di sekeliling-ku. Semua orang berpotensi menjadi musuh-ku di masa depan. Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika aku menjadi ratu. Satu yang pasti semua orang akan memasang senyuman palsu karena mereka ingin berada di dekat-ku.
Aku sudah duduk di ‘markas’ Isla Kastia setengah jam dan masih saja ada beberaa yang telat untuk hadir. Ketua klub buku kami, Jon Ingli memperhatikan jam di tangan kanannya dan kemudian memperhatikan-ku berkali-kali. Dia sepertinya takut kalau aku akan murka.
Dia tidak salah, aku bukan orang yang terkenal dengan emosi yang baik. Bahkan orang dengan mudah menebak kondisi perasaan-ku hari ini hanya dengan meliha bagaimana mata-ku menatap mereka.
Aku menatap ke sekeliling markas. Markas ini berbentuk seperti rumah dengan berbagai ruangan yang di pakai untuk kamar kecil, ruang istirahat, dan juga taman kecil dengan atap terbuka dan tidak ketinggalan dapur besar tempat beberapa chef akan menyiapkan makanan kecil untuk kami setiap ada pertemuan. Semua ruangan-ruangan itu mengelilingi ruang tengah yang diisi dengan sofa-sofa berwarna cokelat tua empuk yang membentuk satu lingkaran besar. Meja makan persegi panjang berada tidak jauh dari lingkaran sofa itu.
Banyak yang mengatakan bahwa tempat ini adalah tempat di mana kami bersenang-senang. Banyak warga yang mengangga ini adalah istana kecil karena pondasi dan bahan bangunan berasal dari bahan-bahan mahal yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya.
Kami memang orang kaya.
Kami bahkan bisa mengubah nasib semua orang di kota ini.
Dalam kasus-ku aku bahkan bisa memutuskan nasib kehidupan orang di seluruh negeri ini saat aku mengenak cincin di jari-ku.
“Sepertinya Sevila dan Nicola tidak datang hari ini.” Joe mengatakan pada semua yang sudah hadir.
Sevila adalah putri bungsu dari mantan panglima wafren yang telah dipindahkan ke Elestor tiga tahun yang lalu. Dia adalah teman dekat dari Lydia. Dia tidak diperbolehkan untuk menghadiri upacara pemakaman karena keputusan dari keluarga kerajaan. Tidak hanya Sevila tapi juga beberapa teman dekat Lydia lainnya tidak dijinkan untuk hadir.
Sementara Nicola adalah teman dekat-ku. Semalam dia meminta asisten rumahnya untuk memberikan pesan bahwa dia sedang sakit dan tidak bisa datang hari ini. Nicola adalah putri kedua dari keluarga Yoksir – keluarga ilmuwan terhormat – dan sudah menjadi teman-ku sejak kami berumur lima belas tahun.
“Tidak apa-apa. Kita mulai saja tanpa mereka.” Jawab Yolanda Khun tanpa rasa simpatik. “Kita tidak bisa membuat orang-orang penting di sini menunggu lama.”
Yolanda lalu menatap-ku dan tersenyum datar. Jika dia tidak tulus ingin tersenyum lebih baik dia marah saja. Rasa iri dari dia kepada-ku sangat jelas.
“Baiklah.” Joe menimpali. “Kita mulai saja pertemuan hari ini.”
Pertemuan diawali dengan Janet dan Julia, kakak beradik dari keluarga Morton – Pemilik perusahaan tekstil terbesar di Elestor – membahas mengenai satu buku yang akan diliris satu bulan ke depan.
“Buku berjudul Harapan Indah milik Benjamin Kostan. Bulan depan akan diliris salah satu perpustakaan pemula di Klaptongad. Buku ini memberi banyak pandangan mengenai masa depan negeri kita dalam menghadapi banyak tantangan dan juga potensi masalah.” Julia sang adik berbicara dengan berapi-api.
Kemudian Janet melanjutkan. “Benjamin Kostan telah berperan penting dalam pendidikan sekolah dasar negeri ini setelah belasan buku miliknya menjadi acuan dan pedoman anak-anak usia lima sampai sepuluh tahun.”
“Tapi buku-buku pedoman milik Benjamin Kostan,” Yolanda menyela dengan cepat. “Sudah ketinggalan zaman.” Cibir Yolanda.
“Yolanda, apa kamu bisa memperjelas apa maksud dari ketinggalan zaman yang kamu sampaikan?” Joe berusaha menjadi penyeimbang dalam percakapan ini.
“Rey Dorotea adalah solusi yang tepat untuk menambahkan rasa nasionalisme kepada para anak-anak belia agar mereka mampu dewasa dengan lebih cepat dari yang tedahulu.”
Beberapa terlihat menggelengkan kepalanya saat mendengar perkataan Yolanda. Sementara Janet dan Julia seperti sedang berpikir keras untuk melawan kembali perkataan itu. Membela diri lebih tepatnya.
“Rey Dorothea adalah kakak ipar-mu.” Serang Janet.
Yolanda Khun berasal dari keluarga Khun yang berkuasa atas daerah utara. Lebih tepatnya keluarga Khun khusus mendedikasikan hidup mereka sebagai ‘pelindung’ atas garis utara menuju hutan Sentata.
“Lalu?” Balas Yolanda. “Rey adalah orang yang tepat untuk menjadi anggota parlemen pendidikan dalam lima tahun kedepan. Negeri kita dalam masa revolusi yang besar. Kita berada dalam tahun delapan ratus sebelas. Kita tidak lagi menggunakan kereta kuda seperti empat ratus tahun yang lalu.”
“Jadi menurut-mu Benjamin Kostan sudah selayaknya di ganti?” Julia selalu bertanya langsung pada intinya.
Yolanda tersenyum dengan ciri khasnya yang nyentrik. Andai saja aku tahu apa maksud di balik senyuman satu juta arti itu. Yang jelas senyuman itu hampir selalu menjadi malapetaka.
“Benjamin Kostan sudah selayaknya di beri kursi di parlemen lebih lama dari seharusnya. Dia berhak untuk mendapatkan itu.” Bela Janet.
Joe meminta mereka berhenti untuk saling memberi pendapat dan kemudian meminta beberapa anggota lain untuk menyampaikan pendapat mereka.
Lalu....
“Nona Williams, bagaimana pendapat anda?” Joe mengakhiri dengan bertanya padaku.
Aku sama sekali tidak ingin berkomentar apapun hari ini tapi tentu saja karena ini masalah yang penting dan dengan tatapan semua orang yang seperti penasaran dan sekaligus segan pada-ku sepertinya aku tidak bisa lari dari hal ini.
“Benjamin bukan pilihan yang buruk.” Aku menatap Janet dan Julia bergantian. “Lebih baik kita berikan dia waktu enam bulan di periode kedua tahun ini dan kita lihat apa terjadi sesuatu yang radikal di seluruh negeri.”
“Tapi,” Yolanda merapikan gaun berwarna violet miliknya. Hanya dengan melihat bagaimana caranya berpakaian dan berias sungguh memuakkan. Bahkan bibirnya di lapisi oleh pewarna yang lebih terang dari darah manusia.
“Enam bulan di periode kedua adalah krusial. Terutama pernikahan yang akan terjadi tidak lama lagi. Yang Mulia pasti akan mengganti seluruh kabinet dan jajaran parlemen. Benjamin tidak akan luput dari hal ini.” Yolanda mengucapkan dengan keyakinan yang sungguh.
Dia tahu aku membenci membicarakan masalah personal di dalam pertemuan. Membawa nama Leonord sengaja dilakukan untuk mengangkat emosi-ku.
“Benjamin memberikan seluruh kerja kerasnya selama ini, kita perlu memberikan kesempatan lebih panjang untuknya.” Aku menjaga nada bicara-ku sesantai mungkin.
Ketika Yolanda berusaha ingin menyela, Joe memintanya untuk berhenti dan akhirnya pemungutan suara di lakukan. Selama setengah jam kami memberikan jawaban kami dalam secarik kertas dan semuanya dikumpulkan untuk di cek hasilnya.
Kami memperhatikan Papan tulis yang telah di lengkapi dengan foto kedua penulis terkenal yang menjadi perdebatan hari ini.
Joe menghitung dan menyebutkan semua hasil tulisan dari semua kertas yang berada di kotak kaca miliknya.
“Suara kedelapan untuk Benjamin.” Joe menuliskan garis lagi pada bagian bawah foto Benjamin. “Kemudian dua suara terakhir jatuh pada Rey.”
Janet dan Julia akhirnya bertepuk tangan dan melihat-ku dengan gembira. Aku membalas mereka dengan senyuman. Aku sama sekali tidak ragu bahwa hari ini Benjamin akan mendapatkan dukungan kami. Hanya saja selain Yolanda aku penasaran siapa yang juga ikut mendukung Rey.
Aku melirik ke arah Yolanda. Wajahnya yang murka dan memerah malu tampak begitu jelas. Dia hanya menatap kedua tangannya yang menggenggam dengan kencang di atas pahanya.
Tinaa dan aku berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang ke rumah. Kami akan datang ke panti asuhan milik keluarga Williams. Irishan.
Irishan berdiri sejak tiga puluh tahun yang lalu. Berada cukup jauh dari pusat Elestor dan berada sekitar lima kilometer dari Sekolah Umum Konstantin.
Di sana mamadan nenek akan hadir. Mereka tiba lebih dahulu sementara kami sebentar lagi akan sampai di sana.
“Mereka telah menyiapkan jamuan makan siang untuk nona.” Tinaa berkata saat kami melihat bangunan berwarna kuning pucat dari kejauhan.
Tidak banyak yang berubah dari tempat itu. Kami harus melewati jalanan kecil yang di apit oleh dua lapangan bola besar untuk mencapai gedung dengan tiga lantai itu.
Kami akhirnya sampai di depan gedung Irishan di mana banyak sekali anak-anak telah berbaris dengan rapi untuk menyabut-ku. Tidak lupa terdapat wakil yayasan yang berada di ujung barisan.
Saat pintu mobil-ku terbuka, aku turun dan berjalan ke arah mereka. Sesekali aku harus merapikan gaun abu-abu selutut milik-ku karena karena angin kencang yang selalu mengibaskan ujung gaun-ku ke sana kemari.
“Nona Olya.” Nyonya Silla, wakil yayasan menjabat tangan-ku dengan kuat. Wajahnya sekarang tampak lebih tua. Tentu saja berhadapan dengan anak-anak di yayasan ini cukup menguras energinya.
“Bagaimana kabar anda Nyonya Silla?” Aku berusaha menampilkan senyuman terbaik-ku.
“Baik. Sangat baik.” Nyonya Silla akhirnya memperkenalkan-ku pada satu per satu anak yang sedang berbaris.
Mereka semua tidak ada satu-pun yang berada di atas umur sepuluh tahun. Baik perempuan dan laki-laki. Salah satu anak di bagian tengah memperkenalkan diri dengan percaya diri.
Anak laki-laki mungil itu mengulurkan tangan dengan gembira. Senyumannya bahkan bisa membuat hari-ku jauh lebih ceria hanya dengan memandangnya.
“Nama-ku Arnold.” Pemuda cilik itu lalu mencium tangan-ku. “Putri Olya memang sangat cantik.”
Aku dan Nyonya Silla berpandangan lalu tertawa. Pemuda yang sangat berani bahkan bertemu dengan orang asing pertama kali.
“Sepertinya pengajar di sini sangat pintar dalam ilmu komunikasi.” Aku menggodanya.
Arnold lalu menggeleng. “Kakak angkat-ku yang mengajarkan-ku. Dia mengatakan kalau aku bertemu dengan putri Olya aku harus bersikap sopan. Meskipun aku tidak diajarkan untuk menggoda, tapi kakak-ku memang benar, Putri Olya sangat cantik.”
“Kakak?” Aku tidak tahu jika mereka memiliki sistem kakak adopsi atau angkat di sini. Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak mengunjungi mereka.
“Iya kakak-ku.” Arnold berseri-seri. “Namanya Ivander.”
Ivander.
Dua berada di sini?
Laki-laki itu ada di sini?
“Nona Olya. Masih ingat dengan Ivan?” Ny. Silla berkata di dekat-ku.
Aku tidak menjawabnya.
Aku tersenyum pada Arnold dan meninggalkannya untuk gadis kecil di sampingnya.
Aku akhirnya menyelesaikan sesi bersalaman yang panjang itu dan bergegas menuju ruangan utama di lantai dua. Tapi sebelum menuju lantai dua, aku melewati lantai satu di mana lima belas tahun yang lalu berada di sini dengan Papa dan Mama.
Kami berkunjung satu tahun sekali setiap perayaan dewa matahari dan juga perayaan khusus.
Pada waktu itu lantai yang sekarang aku lewati lebih dingin, lembab dan membuat kulit-ku menggigil. Saat itu di malam hari yang terang sedang terjadi kebakaran di perumahan di dekat yayasan. Kami akhirnya datang jam sembilan malam dengan terburu-buru karena mencemaskan keselamatan mereka.
Tahun 796
Aku berlari kecil saat melewati tangga yayasan Irishan. Tangga yang cukup licin karena hujan es yang tiba begitu cepat dari seharusnya. Lydia dan aku berpegangan tangan saat melewati pintu utama.
Di sana banyak tangisan anak-anak di setiap koridor dan ruangan yang ada.*
“Jangan pergi kemana-mana Olya.” Perintah Lydia pada-ku. Wajahnya menunjukkan kecemasan.*
“Lydia! Olya!” Suara Mamamemanggil kami untuk masuk ke sebuah ruangan di sisi kiri. Kami berlari kesana dan di sana telah berbaris dengan rapi semua tempat tidur yang berjumlah puluhan dan hampir semuanya terisi penuh. *
Hampir semuanya adalah anak-anak dan kondisi mereka begitu menyedihkan. Di barisan awal, anak-anak di balut dengan kain putih tebal di bagian wajah dan tubuhnya. Mereka mengerang meminta tolong. *
Lydia menarik tangan-ku dan kami berjalan cepat melewati dokter-dokter dan perawat yang hilir mudik sambil membawa beberapa peralatan mereka. *
“Di sini!” Mama-ku berteriak lagi. *
Kami akhirnya sampai di tempat di mana Mama-ku berdiri. Seorang anak perempuan yang masih berumur tidak lebih dari tujuh tahun. Wajahnya di sebelah kiri terbakar dan begitu banyak darah yang keluar. *
Aku menutup mulut-ku yang terkejut melihatnya. Di samping gadis itu, Mama-ku membantu dokter laki-laki muda untuk mengatur beberapa peralatan yang akan digunakan untuk mengoperasi gadis yang kesakitan itu.*
“Lydia, ambilkan beberapa kasa dan penutup luka berukuran besar di gudang sebelah.” Mamamenunjuk sebuah ruangan dengan pintu terbuka tidak jauh dari mereka berdiri. “Dan kamu Olya, bantu Ny. Silla untuk menghubungi para Wafren. Mereka perlu mengetahui masalah ini.”*
Aku mengangguk dan berjalan melewati barisan teriakan itu lagi. Aku tidak sanggup untuk menatap mereka. Hanya mendengar rintihan saja membuat tubuh-ku kaku dan lemas.*
Setelah berhasil melewati para dokter yang kewalahan akhirnya aku kembali ke koridor dan menuju lorong di sebelah kanan menuju ruangan ketua yayasan. Di sana beberapa orang yang aku tidak kenal sedang berjalan mondar-mandir dan berteriak satu sama lain. *
“Pemadam kebakaran belum sampai hingga sekarang!” Pria berumur empat puluh tahun menepuk meja. “Api itu bisa mencapai sini setengah jam lagi!”*
“Ny, Silla.” Aku memanggil Ny. Silla yang berdiri dengan tegang di samping pria itu. “Wafren perlu tahu mengenai masalah ini.”*
Ny. Silla cukup terkejut melihat-ku namun dia segera menggelengkan kepalanya. “Kami sudah banyak mendapat masalah. Wafren akan menutup yayasan ini jika mereka tahu.”*
“Biarkan aku yang menyampaikan pada mereka.” Aku berusaha menenangkan meskipun tangan-ku bergetar sejak tadi. *
Aku meninggalkan mereka dan berlari ke tempat dimana mobil kami berada. Di sana supir kami bernama Harry sedang membantuk beberaa anak-anak yang terluka.*
“Harry!” Aku berteriak dengan kencang.*
Harry menoleh dan berlari ke arah-ku. “Ada apa nona?”*
“Sampaikan pada markas Wafren di pinggir kota bahwa terdapat kebakaran dan mereka di butuhkan di sini secepatnya.”*
“Wafren?” Harry kebingungan. “Tidak semudah itu untuk meyakinkan mereka.”*
Aku menarik nafas panjang sebelum sambil berfikir keras. Aku kemudian berlari ke arah mobil dan mengambil tas tangan milik-ku dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah benda berbahan emas berbentuk persegi empat. Ukiran matahari terlihat jelas pada bagian atasnya.*
“Berikan ini kepada kepala Wafren di sana.” Aku memberikannya pada Harry.*
Mata Harry terbelalak.*
“Tunjukkan pada mereka dan bawa mereka kemari.”*
Harry hanya bisa mengangguk dan berjalan ke kemudi mobil dan melihat-ku sekali lagi dari balik jendela mobil sebelum mengemudi dengan kencang.*
“Masih ada orang lagi di rumah itu!” Seseorang berteriak sambil berlari ke arah luar gedung yayasan.*
Aku mengikuti pria paruh baya itu yang sekarang berlari di jalanan yang di penuhi pohon-pohon liar. Di sepanjang jalan aku harus berhadapan dengan orang-orang yang berlari berlawanan arah dengan-ku. Mereka menangis dan menangis.*
Beberapa orang tua mengangkat anak mereka dengan penuh darah dan pakaian mereka yang sudah terbakar cukup parah.*
Aku tidak menghentikan lari-ku meskipun aku merasakan sepatu-ku seperti terbelah dua di bagian kanan. *
Dari kejauhan banyak pepohonan sudah tumbang dan terbakar dan mulai menjalar ke arah gedung yayasan. Aku mencari dimana pangkal kebakaran ini tapi sepertinya awal dari semua ini masih jauh dari yang aku bayangkan.*
Kemudian aku mencapai barisan rumah-rumah kuno yang hampir semuanya hangus terbakar. Belasan orang berteriak di depan sebuah rumah.*
Aku menghampiri dengan nafas yang dipenuhi dengan aroma asap hitam. *
“Anak kecil pendiam itu masih berada di kamarnya.” Seorang ibu meminta pria paruh baya yang aku ikuti tadi untuk masuk dan menyelamatkannya.*
“Tidak bisa. Rumah ini akan hancur sebentar lagi.” Pria paruh baya itu mengatakan dengan putus asa.*
“Hidupnya sangat mengenaskan.” Ibu menangis. “Dia hanya sebatang kara.”*
Aku mengamati rumah paling ujung di barisan itu. Melihat bagaimana pintu rumah itu masih berdiri tanpa tersentuh api. Lebih tepatnya api sedang berada di taman depan dan sedang menjalar ke jendela lantai satu.*
Tanpa berfikir panjang, aku berlari menuju pintu dan membukanya dengan paksa.*
Aku hanya mendengar orang-orang di belakang-ku yang berteriak untuk meminta-ku berhenti dan jangan masuk ke rumah ini. Tapi aku mengabaikannya.*
Aku membuka pintu lantai satu dan melihat ruang tamu yang sudah ditutupi api. Aku mencari-cari di mana tangga menuju lantai dua karena di lantai satu tidak ada sama sekali kamar tidur atau tanda-tanda kehadiran seseorang di sana.*
Tangga yang aku cari ternyata berada di dekat dapur yang sudah berantakan. Dengan cepat aku berlari dan mencapai lantai dua. Satu per satu kamar aku buka dan tidak ada satupun orang di sana.*
Hanya tersisa kamar paling ujung yang belum aku buka. Pintu itu tidak dikunci dan saat aku membukanya seorang anak laki-laki sedang berjongkok di lantai tanpa menoleh ke arah-ku. Dia jelas lebih muda beberapa tahun dari-ku.*
“Adik.” Aku menyentuh pundaknya. *
Dia sama sekali tidak bergeming. *
“Ayo keluar dari sini.” Aku berkata dengan sangat lembut tanpa aku sadari.*
Anak itu akhirnya melihat-ku. Matanya yang berwarna hijau berkaca-kaca. Tapi tetap dia tidak mengatakan apapun. Aku menarik tangannya dan berlari bersamanya keluar dari kamar. Aku tahu jika anak itu sama sekali tidak ingin berlari. Bahkan sama sekali tidak ada keinginan hidup dari matanya itu. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia meninggal di sini. Aku bisa menyelamatkannya.*
Kami melewati dapur dan saat ingin mencapai pintu utama, api yang berasal dari ruang tamu berkobar dan membuat dinding-dinding kayu terbakar dan menghalangi jalan kami.*
Atap mulai berjatuhan satu per satu dan dengan keberuntungan kami bisa melewati reruntuhan itu. Satu yang pasti aku tidak akan melepaskan genggaman itu. Tidak akan.*
Beberapa langkah lagi kami akan mencapai pintu.*
Tapi...*
Sebuah lampu kristal besar yang berada di atas kami jatuh dan aku mendorong anak itu tepat ketika lampu itu sudah terlepas dar atap yang terbakar. *
Lariku terhenti saat lampu itu menyentuh paha kanan-ku. Pecahan kaca menusuk dan membuat darah-ku keluar seketika. Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan menggenggam tangan anak itu untuk keluar.*
Asap membuat aku tidak mampu melihat dengan jelas. Dengan kembali bergantung pada insting, aku melewati asap yang mengepul dan menghalangi baunya dengan menutup hidung dengan lengan kiri-ku.*
Kami mencapai jalan di depan rumah dengan para petugas kebakaran berpakaian berwarna kuning hitam berlari ke arah kami. Mereka membawa mobil pemadam dan bersiap menyemburkan air di rumah anak itu.*
Kaki-ku tidak sanggup lagi berjalan. Aku terjatuh dan melepaskan genggaman pada anak itu. Tapi aku tersenyum padanya dengan mata yang panas akibat asap itu.*
Anak bermata hijau itu masih terdiam. Tapi kali ini aku melihat sesuatu di matanya. Aku melihat bagaimana matanya seperti berterima kasih pada-ku. *
Terima kasih yang paling tulus yang pernah aku terima.………*
“Nona.” Ny. Silla memanggil dari lamunan-ku.
Aku hanya tersenyum dan kembali berjalan menuju tangga. Ny. Silla masih berada di samping-ku.
“Ivander selalu datang setiap beberapa kali dalam satu bulan.” Ujar Ny. Silla
“Oh, benarkah?” Aku berusaha tertarik.
“Ya. Dia tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pemberani.” Nada bangga terdengar dengan jelas dari Ny. Silla.
“Setidaknya dia berubah.” Aku berkata sakartis.
Semoga aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Jika aku bertemu dengannya lagi maka sama saja aku bertemu mimpi buruk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments