FOUR
HIM
Aku makan malam dengan nenek, mama dan Magda. Mereka bersenda gurau sambil menghabiskan ikan salmon yang menjadi kegemaran mereka.
Aku hanya menatap ikan salmon milik-ku dengan tatapan hampa. Besok aku anak pergi ke Kastil Utara dan bertemu dengan semua anggota keluarga kerajaan. Mereka yang ada di meja ini akan ikut bersama-ku dan menemani-ku hingga dua minggu ke depan.
“Tinaa ambilkan segelas susu hangat untuk Olya.” Mama-ku berkata di tengah-tengah percakapan mereka.
Tinaa meminta izin untuk kembali ke dapur dan tidak lama kemudian, semua pelayan di ruang makan besar itu di minta untuk keluar dan memberikan kami privasi.
“Nona Olya tidak memiliki kesulitan sama sekali.” Magda terdengar sangat puas. “Tentu saja aku hanya melakukan formalitas saja di sini. Seorang putri keluarga Williams tidak mungkin memiliki nilai buruk dalam akademis dan juga pengetahuan mengenai politik negara. Meskipun Yang Mulia pasti tidak akan ingin Nona Olya bersinggungan tentang dunia itu.”
“Olya sangat menyukai politik.” Nenek-ku bergumam. “Meskipun tentu saja sebagai ratu kita tidak akan banyak ikut campur. Olya akan memiliki pengaruh yang besar di sektor lainnya.”
Mama-ku mengangguk setuju. “Kami meminta bantuan-mu Magda. Kabar-nya Yang Mulia meminta-mu untuk beberapa bulan pertama menjadi tangan kanan Olya.”
Aku mengangkat wajah-ku dan melihat wajah Magda yang menunduk. “Sebenarnya aku sudah menolak tawaran itu.”
“Menolak?” Nenek terkejut.
Magda menunjukkan wajah malu. “Aku dan Mamasuri tidak begitu memiliki kesamaan dalam banyak hal. Mungkin bisa terjadi masalah jika aku sekarang berada dekat dengan Nona Olya.”
Ibusuri Tentu saja orang kedua yang ada dibenak-ku. Ibu Leonord.
Leonord menyebutnya Mam. Sejak kecil aku mengenal dengan jelas bagaimana sifat dari Ibusuri. Tertutup dan penuh curiga. Terutama menyangkut putra tunggalnya. Leonord tumbuh dengan perlindungan yang berlebihan dari sang Mama.
“Lalu akhirnya kamu menyetujuinya.” Mama berucap dengan sangat senang. “Berarti kamu berubah pikiran.”
“Ya. Beberapa keluarga dekat dan jauh-ku masih tinggal di Klaptongad jadi belum saatnya aku pergi meninggalkan ibukota. Meskipun aku jatuh cinta pada Elestor.”
Nenek mendesah. “Klaptongad terlalu ramai dan sesak. Elestor lebih cocok untuk kami yang berusia tidak muda lagi.”
Seseorang mengetuk pintu. Tinaa masuk dan membawakan aku susu hangat di sebuah cangkir porselen kecil.
“Minum dan tidur dengan nyenyak malam ini.” Mama-ku memerintahkan dengan nada tidak main-main. “Besok perjalanan dengan kereta akan sangat melelahkan meskipun kita berada di bilik dengan tempat tidur empuk.”
Aku tidak menyentuh susu itu. Tidak ada nafsu makan sama sekali meskipun dua puluh menu makanan berada di hadapan-ku. Aku justru merasa mual.
“Maafkan jika aku lancang.” Magda berucap simpatik. “Tapi akan lebih baik jika Nona Olya menambah porsi makan untuk kedepannya. Aku khawatir Yang Mulia akan sangat cemas jika melihat bobot tubuh anda, Nona.”
Aku mendesah panjang. Aku tidak peduli dengan apa yang diinginkan oleh Leonord. Jika bagi-nya aku adalah ‘cadangan’ untuk apa aku menaruh posisinya berada di urutan pertama di dalam hidup-ku.
“Aku bahkan tidak berambut panjang. Apakah selanjutnya dia akan meminta-ku memangjangkan rambut-ku?” Aku membelai rambut pendek sebahu milik-ku. Rambut yang selalu aku rawat dengan baik selama ini dan tidak ada niat untuk aku panjang-kan seperti semua gadis Williams terdahulu.
Magda tidak berani menjawab. Dia hanya menundukkan wajahnya.
“Olya.” Nenek menegur-ku. “Magda hanya mengutarakan apa yang mungkin Yang Mulia rasakan saat pertemuan kalian di sana.”
“Aku akan mengurus Leonord.” Aku menaikan suara-ku. Kemudian berdiri dan menaruh celemek sutra di atas kursi-ku. “Sudah malam, aku ingin mengecek semua barang-barang-ku.”
“Olya!” Mama berteriak.
Aku berjalan dengan penuh amarah dan menutup pintu dengan keras dan berjalan kembali ke kamar-ku.
Aku duduk di meja rias sambil membiarkan para pelayan menata rambut-ku – yang tidak perlau banyak di tata karena pendek – dan memperhatikan gaun serta sepatu yang aku kenakan. Para pelayan berlari ke sana kemari saat beberapa gaun yang mereka tunjukkan tidak ingin aku pakai.
Setelah gaun kelima akhirnya aku memilih gaun terakhir, gaun keenam berwarna violet muda yang menyempit di bagian ujung yang tepat berada di atas lutut-ku. Gaun itu tidak memiliki lengan dan Tinaa memakaikan tali pinggang berwarna sama tapi berbahan tipis untuk disimpulkan di bagian pinggul berbentuk seperti pita.
Sarung tangan renda berwarna putih dipakaikan ke tangan-ku hingga ke siku. Tidak ketinggalan topi violet berbentuk bundar dengan aksen bunga dan jala yang menutupi bagian mata-ku.
“Nona Olya,” Suara Magda memanggil-ku.
Dia menghampiri aku dengan senyuman hangat. “Anda terlihat sangat cantik.”
Aku mengingat tindakan-ku semalam. Aku terlalu berlebihan pada Magda. “Soal semalam,”
“Tidak terjadi apa-apa, Nona.” Magda menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Magda sepertinya terbiasa dengan orang-orang seperti-ku. Emosi yang meluap-luap dan dalam sekejap bisa berubah menjadi orang yang menyebalkan. Mungkin saja di istana aku akan menemukan orang yang sama seperti-ku.
“Semua barang anda sudah ada di mobil.” Magda memberitahu.
Aku berdiri dan saat semua pelayan keluar dari kamar, aku berbalik dan menatap ruangan itu untuk terakhir kalinya. Piano yang selalu menyertai-ku saat aku gelisah. Tempat tidur di mana aku meneteskan air mata ratusan kali. Serta jendela kamar tempat aku melihat matahari yang tidak pernah turun dari atas langit.
Aku akan sangat merindukan suasana dan tempat ini. Meskipun enggan aku berjalan dan menutup pintu dengan sangat lembut. Aku menekan bola mata-ku agar air mata itu tidak jatuh.
Di saat aku telah sampai di lantai satu rumah, para pelayan masih berlari ke sana kemari untuk membawakan koper dan tas milik kami.
Tinaa juga membawa koper dan barang-barang miliknya untuk ikut menuju Klaptongad. Pada awalnya aku khawatir bahwa Leonord tidak mengijinkan aku membawa Tinaa. Dengan banyaknya pelayan istana aku tahu bahwa Tinaa tidak akan nyaman. Tapi keberadaan Tinaa membuat-ku nyaman. Setidaknya aku punya sekutu di sana.
Aku berpamitan dengan semua pelayan di pintu utama rumah. Mereka berbaris dan memberi penghormatan dengan setengah membungkuk ke arah-ku. Itu adalah penghormatan yang akan aku terima ketika menginjakkan kaki di Klaptongad. Aku akan di hormati. Seharusnya begitu.
Aku berjalan memasuki mobil yang berbeda dengan nenek dan Mama. Keduanya berada di mobil nomor dua dari depan. Sementara aku berada di mobil ketiga. Total jumlah mobil yang akan mengantar-ku sampai stasiun kereta nanti mencapai sepuluh mobil. Lima diantaranya mobil berukuran besar yang berisi seluruh barang-barang milik-ku. Aku tidak peduli Leonord menggelengkan kepalanya karena aku membawa barang-barang yang sanggup dia berikan dalam jentikan jari saat sampai di sana. Aku merasa nyaman berada di sekeliling barang yang mengingatkan-ku akan rumah.
“Semuanya sudah siap Nona,” Tinaa berkata saat masuk ke dalam mobil.
Aku melihat rumah keluarga-ku untuk terakhir kalinya sebelum menjadi ratu negeri ini. Rumah besar dengan warna dinding putih dengan atap kerucut di salah satu bagian. Menatap jendela-jendela bernuansa lama dan juga pepohonan pinus yang selalu menemani-ku sejak kecil.
“Sampai jumpa lagi.” Aku berkata pada rumah itu.
Mobil berjalan dengan perlahan. Membawa-ku pergi untuk meninggalkan para pelayan yang masih berdiri di tempat yang sama dan sedang melambaikan tangan.
Aku ingin menangis. Pergi dari tempat yang nyaman dan aman untuk menuju kemegahan tanpa tahu apakah itu adalah kebahagiaan yang aku cari. Aku tentu saja bisa melarikan diri bukan?
Aku bisa meminum racun atau bisa saja menggantung diri-ku agar semua ini tidak terjadi.
Ya, jika aku adalah orang yang paling egois dan tidak memikirkan nama baik keluarga-ku, aku pasti melakukan salah satu dari mereka.
Tapi tentu saja aku adalah orang yang diselimuti ketakutan. Jika aku melarikan diri, keluarga-ku akan dicaci maki karena telah melanggar etika sebagai seorang bangsawan.
Jika aku menegak racun atau menggantung diri-ku, nama-ku dan keluarga-ku tidak akan pernah bisa di maafkan.
Bahkan Ratu Victoria, ratu yang sangat terkenal hingga empat abad setelah ia meninggal, di rumorkan sempat ingin melakukan hal yang sama. Tentu saja dengan cara yang berbeda. Tidak dengan cara pengecut seperti yang aku contohkan tadi.
Tapi meskipun cara itu adalah cara pengecut, apa benar aku akan melakukannya?
Mungkin.
Jika aku benar-benar tidak mendapatkan kebahagiaan itu.
Rombongan mobil kami sampai di stasiun kereta terbesar di Elestor. Kami berhenti di peron nomor satu yang telah di kosongkan hanya untuk perjalanan kami ke Klaptongad. Kereta yang telah dikosongkan untuk kami berjumlah lima belas gerbong yang biasanya dipakai untuk urusan kenegaraan saja. Aku pernah beberapa kali menaiki kereta ini dengan Lydia saat berkunjung ke Mamakota.
Satu pasukan waflo di tugaskan menjaga setiap pintu masuk gerbong untuk menjaga keamanan dan juga hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara tidak ketinggalan satu pasukan waglo – termasuk Kia – yang berjumlah lebih dari dua puluh orang sudah berada di dalam kereta dan menjaga setiap gerbong-nya dengan jumlah personel yang telah ditentukan.
Gerbong bagian tengah dengan karpet berwarna kuning adalah gerbong yang harus aku masuki bersama dengan nenek dan Mama-ku.
“Silahkan, Yang Mulia.” Kia memanggil-ku dengan suara tegas. Dia berdiri tidak jauh dari-ku sejak kami sampai.
Aku berjalan di atas karpet kuning dan masuk ke gerbong dengan aroma campuran bunga mawar dan matahari sejak melangkahkan satu kaki di dalamnya.
Gerbong ini memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi sebelah kiri adalah lorong untuk berjalan dari satu gerbong ke gerbong yang lain, sementara sisi kanan terdiri dari kamar-kamar tidur dan ruangan-ruangan khusus dengan fungsi yang berbeda.
Kia mengantar-ku ke depan pintu dua sisi mahoni tua. Membukanya dan mempersilahkan aku masuk.
Di sana terdapat tempat tidur cukup besar dengan permadani kuning di bawahnya. Kamar mandi dengan air hangat dan dingin lengkap dengan semua kelengkapan mandi. Area duduk santai dengan sofa-sofa kecil, dan juga bar kecil dengan lemari makanan yang diisi dengan puluhan makanan dengan jenis-jenis unik.
Tinaa mengatur semua barang-barang-ku ke dalam kamar dan mengatakan bahwa dia akan berada di ruang santai di gerbong lain untuk bertemu dengan Magda membahas keperluan di Ibukota.
Kia kembali ke kamar-ku saat Tinaa baru saja pergi.
“Yang Mulia,” Kia memanggil-ku tanpa rasa canggung.
Justru aku yang tidak terbiasa.
“Berapa lama perjalanan sampai ke Ibukota?” Aku menuangkan teh hangat di bar dan duduk di salah satu kursi tinggi.
Kia menunduk dengan wajah sedikit cemas. “Kami mendapat informasi dari Ibukota bahwa terjadi kecelakaan di jalur utama menuju Ibukota. Dengan berat hati kita harus mengambil jalur cadangan.”
Cadangan?
“Kita harus melewati jalur tiga belas di mana jalur itu berada di kota Bhutera.”
Hampir saja aku tersedak saat mendengar nama itu. Apa mereka sudah gila? “Bhutera? Kota mati dengan ratusan orang sakit jiwa?” Aku menghentikan perkataan kasar-ku selanjutnya.
Kia menunduk menyesal. “Kita tidak ada cara lain, kita akan terlambat sampai Klaptongad jika menunggu jalur utama.”
“Berapa lama perjalanan kita?” Rasa cemas mulai menyelimuti pikiran-ku.
“Lima belas jam.” Kia tidak berani memandang-ku.
Aku berharap di masa depan, negeri ini bisa memiliki kereta yang lebih cepat. Jika tidak negeri ini akan menjadi negeri tanpa kemajuan.
“Kerajaan telah mengirimkan pasukan Gladiator di stasiun Bhutera nanti. Kita harus berada di terminal kota itu selama setengah jam untuk alasan teknis.” Kia berusaha menenangkan-ku.
Gladiator. Tentara ‘mainan’ milik kerajaan. Mereka menjalankan tugas tertentu yang mayoritas diperintahkan oleh orang nomor satu negeri ini.
Mereka adalah peliharaan leonord.
“Beritahu mama dan nenek. Aku tidak mau mereka berteriak kaget saat kita sampai di sana. Terlebih harus menginjakkan kaki di terminal Bhutera nanti.”
Kia menutup pintu dan akhirnya aku bisa mendapatkan waktu tenang. Aku membaringkan punggung di atas tempat tidur yang sangat lunak. Memejamkan mata-ku untuk mengembalikan energi karena tidak bisa tertidur sejak jam tiga dini hari tadi.
Tidak lama lagi aku akan bertemu dia. Leonord.
Kenapa aku tidak bisa mengeluarkan wajahnya. Mata cokelat tua miliknya dan juga.....
Aku menegakkan tubuh-ku pada posisi duduk dan kemudian berjalan ke jendela besar yang memperlihatkan perbukitan dari kejauhan. Aku pasti sangat rindu melihat bukit-bukit itu. Melihat air terjun yang berada di baliknya dan juga aroma Elestor yang sulit untuk diungkapkan kepada orang yang bukan berasal dari sini.
Bunyi tanda kereta akan berjalan telah terdengar beberapa kali. Aku juga mendengar suara-suara di luar kamar-ku tanda mereka sedang bersiap untuk mempersiapkan makan siang nanti. Tidak ketinggalan suara Tinaa sedang memberikan instruksi kepada beberapa orang mengenai makanan yang tidak boleh aku makan atau lebih tepatnya yang aku benci.
Ketukan terdengar lagi.
“Masuk.” Aku berbalik bersamaan dengan kereta yang berjalan. Langkah-ku goyah dan Tinaa serta dua orang pelayan baru langsung memegang lengan dan tangan-ku. Mereka jelas takut aku terjatuh.
“Ouff.” Salah satu pelayan baru. Bertubuh berisi dan berwajah muda. “Untung saja.”
Tinaa memandang pelayan tadi dengan sorot mata marah. “Perkenalkan diri kalian.”
Pelayan bertubuh berisi dengan wajah muda nan polos itu langsung melepaskan tangannya pada-ku dan memberi hormat dengan gerakan menurunkan tubuhnya dan secara bersamaan menaruh kaki kirinya tidak sejajar dengan kaki kanannya. Tidak lupa kepalanya sedikit menunduk. Di kerajaan ini disebut, Arshow.
“Yang mulia perkenalkan nama saya Felisitas.” Pelayan bertubuh berisi kembali ceria saat berdiri lagi.
“Yang mulia, nama saya Carli.” Pelayan kurus dengan wajah serius di samping Felisitas menlanjutkan. “Kami adalah pelayan khusus yang akan melayani yang mulia di Kastil Utara nanti.”
Aku tidak pernah melihat mereka. Dulu pada saat Lidya sering berada di Ibukota, kami sering ditemani oleh para pelayan yang khusus di pilih oleh Leonord. Mereka selalu pelayan yang sama. Tidak pernah berubah. Hingga sekarang ini.
“Kami akan mempersiapkan pakaian, makanan, dan juga kebutuhan pribadi Yang Mulia. Untuk kegiatan kerajaan, Magda akan mengatur semuanya.” Carli berbicara tanpa berani menatap-ku.
Felisitas sebaliknya. Dia menatap-ku tanpa mengedipkan mata. Seolah-olah tidak perncaya melihat-ku. “Yang Mulia begitu cantik. Semoga pernikahan Yang Mulia berjalan lancar.”
Carli berdeham keras seperti meminta temannya untuk diam dan tidak sopan berbicara di hadapan-ku seperti itu.
Felisitas menyadari itu dan akhirnya menunduk.
Aku tersenyum. Felisitas jauh lebih menyenangkan dari Tinaa yang sangat serius saat bekerja.
“Makan siang akan siap dua jam lagi.” Tinaa menyela. “Yang Mulia, kita akan mencapai Bhutera dalam enam jam lagi. Kia meminta semua orang bersiaga. Kami akan berada di depan kamar jika anda membutuhkan apapun.”
Tinaa memanggil-ku Yang Mulia.
Semuanya telah berubah. Sangat berubah.
Aku meminta mereka semua keluar dan memberitahu-ku saat makan siang tiba. Meskipun aku sama sekali tidak ingin makan sedikitpun, aku harus menjalankan tugas-ku.
Ketiga pelayan-ku membawa-ku ke dua gerbong dari gerbong perisitirahatan milikku. Gerbong yang panjang itu memiliki atap kaca dan semua ornamen berwarna kuning keemasan. Terdapat hampir dua belas meja dengan ukiran cantik dan masing-masing dihiasi bunga matahari dengan sebuah vas putih cantik.
Mamadan nenek sudah duduk di meja nomor lima di sebelah kiri dengan percakapan serius saat aku duduk di sebelah Mama. Pelayan-pelayan khusus dengan sigap menaruh menu makanan siang ini.
Iga domba dan salmon. Salad apel dan anggur juga tidak ketinggalan.
Makanan enak. Tapi aku kembali tidak ingin menyentuhnya.
Mama mengiris iga domba milik-ku dan berbisik. “Semua orang di sini adalah mata Leonord. Yang Mulia.”
Aku mendesah dengan perlahan. Berusaha menutupi amarah di dada. Aku sekarang bagaikan burung dalam sangkar. Apa semua ratu terdahulu juga mengalami hal yang sama?
Dengan enggan aku mengunyah daging iga domba yang sangat lexat itu. Mengangkat wajah-ku dan melihat ke sekeliling bahwa para pelayan menatap-ku lalu menundukkan kepalanya lagi. Mereka memastikan bahwa aku makan siang ini. Leonord begitu teliti.
“Tiga jam lagi kita akan sampai di Bhutera.” Nenek berkata dengan gelisah. “Apa yang akan kita temukan di sana. Tiga puluh menit di terminal itu akan terasa seperti satu abad.”
Banyak sekali cerita mengenai Bhutera. Tanah asing yang akhirnya menjadi milik negeri matahari. Salah satu pencapaian Leonord yang paling besar setelah dia menjadi raja.
Setelah duduk selama lima belas menit aku kembali ke kamar-ku meskipun harus melewati tatapan tajam mamadan nenek yang tidak menyukai sikap aku yang menjaga jarak.
Aku mengambil obat tidur yang aku minta dengan Tinaa malam sebelumnya. Entah kenapa aku merasa akan membutukan obat ini mulai dari sekarang. Aku menelan satu butir obat berwarna ungu muda itu dan segera membaringkan tubuh-ku yang sebenarnya tidak memerlukan istirahat sama sekali.
Aku terbangun dengan terkejut ketika tubuh-ku terjatuh dari tempat tidur dan menyentuh karpet. Di saat yang bersamaan kereta berhenti dengan kencang dan tubuh-ku terguling ke arah dinding dengan keras.
Suara Tinaa terdengar dari luar berlari bersama pelayan lain dan sebelum aku sempat berdiri mereka sudah membuka pintu dan berteriak melihat-ku yang merintih kesakitan.
“Yang Mulia!” Tinaa yang pertama berteriak.
Feli dan Carli membantu aku berdiri dan aku merasa pinggang kanan-ku terasa sakit seketika.
“Kenapa kereta berhenti seperti ini?” Amarah-ku memuncak.
“Kami tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tapi kita sampai di terminal sekarang. Kita harus turun dari kereta agar mereka bisa melakukan pengecekan menyeluruh.” Carli menjelaskan.
Aku meminta mereka untuk melepaskan pegangan mereka pada tubuhku dan aku keluar kamar dan akhirnya keluar dari kereta setelah para pelayan selesai memasang karpet kuning di sekitaran pintu masuk keluar kereta.
Terminal kereta Bhutera terlihat lebih kuno yang aku bayangkan. Bangunan dua lantai berwarna cokelat tua dengan bahan kayu lama. Bangunan besar itu berdiri sendiri tanpa ada bangunan lain di sekitarnya. Yang mengerikan adalah tidak tampak satu pun orang di lingkungan itu. Hanya terdapat pepohonan tinggi denga akar-akar pohon yang menampakan diri mereka di atas tanah.
“Olya, apa kamu baik-baik saja?” Mama mengecek seluruh tubuh-ku saat kami berkumpul di dalam terminal.
“Pinggang-ku akan biru besok.” Aku pasti akan hal itu.
Kia mendatangi-ku dan mengatakan bahwa ada masalah teknis dengan rel kereta menjelang mencapai terminal ini. Kami di minta untuk duduk di sebuah ruangan kosong yang tentu saja tanpa penghuni sambil menunggu kabar selanjutnya.
Ruangan itu seperti bekas ruang tunggu para penumpang kereta. Pelayan-pelayan kami membersihkan satu area untuk dijadikan tempat kami duduk dan makan.
Feli dan Carli menata rambut-ku yang lumayan kusut karena tidur tadi. Sementara Tinaa memastikan pelayan-pelayan menyediakan makanan ringan yang tepat untuk kami.
“Nenek dengar jika Trevino berhasil memenangkan daerah ini setelah Yang Mulia Leonord menyetujui untuk menjadikan bagian dari negri kita.”
“Ketiga putra Trevino sangat bisa diandalkan.” Mamamengatakan dengan nada memuji. “Tentu saja jika memiliki seorang putra akan sangat menyenangkan.”
Aku memutar bola mata-ku. Tentu saja mamamenginginkan seorang anak laki-laki. Tidak beruntungnya dia memiliki anak perempuan kedua.
“Dua lebih tepatnya. Salah satu dari si kembar hanya suka bersenang-senang saja. Sama sekali tidak ingin bekerja.” Nenek terkekeh pelan.
Hector Trevino adalah orang yang di maksud nenek. Sudah lama aku tidak melihat Hector. Mungkin sekitar dua tahun. Dia lebih muda dari-ku dan seperti yang dikatakan nenek, dia selalu bersenang-senang ke berbagai tempat. Kepribadiannya lebih mirip dengan keluarga Holmes di banding keluarga biologisnya sendiri.
“Kamu akan bertemu dengan mereka semua tidak lama lagi. Keluarga Trevino dan Holmes.” Mamamelihat-ku dari balik cangkir teh yang dia pegang. “Jangan merasa canggung.”
“Tentu saja akan terasa canggung. Mereka juga tidak akan berfikir bahwa aku yang akan berada di San Clara.” Aku menyebut San Clara karena itu adalah tempat di mana aku akan tinggal. Kediaman raja dan ratu di balik Kastil Utara.
Mama dan nenek tidak menjawab perkataan-ku. Mereka seperti tidak ingin memperpanjang percakapan dengan pertikaian dengan-ku. Terutama dengan banyaknya pelayan yang mondar-mandir di sekitar kita.
Takkk.....
Suara kaca pecah yang berasal dari jendela di sudut ruangan membuat-ku tersontak kaget. Dari lubang kaca yang pecah itu beberapa orang pria dengan rambut sebahu dan mata merah berlari ke arah kami.
Mereka berteriak dengan suara mereka yang begitu mengerikan.
Para pelayan berteriak memanggil para waglo sementara mamadan nenek berdiri dengan wajah pucat.
Salah seorang pria berhasil menarik-ku yang tidak beranjak dari tadi. Dia menjatuhkan tubuh-ku dengan kencang dilantai dimana kaca pecah bertebaran.
Aku mendengar mama dan nenek berteriak. Dan di balik rambut-ku dan menutupi wajah, aku melihat wajah kemenangan pria itu dengan senyuman iblis yang tidak pernah aku lihat pada wajah orang lain sebelumnya. Dia mememgang sebuah pisau panjang dan akan menikam-ku....
Seseorang berhasil menjatuhkan pisau dari tangan pria itu dan menarik lengan-nya ke arah belakang hingga terdengar suara tulang patah dan membantingkan dengan sekuat tenaga pria berandal itu di atas pecahan-pecahan besar kaca.
Aku mengalihkan pandangan pada ‘seseorang’ itu. Pria itu bergegas menyentuh wajah-ku. Sementara aku melihat matanya yang cemas itu. Mata yang melihat-ku dengan berkaca-kaca.
Mata itu berwarna Hijau.
Satu-satunya berwarna hijau.
Ivander.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Liu Zhi
hu
2023-05-14
0