Sikapnya Masih Baik

Sial, tiga puluh menit Nara menunggu ojol yang dipesan tiba-tiba mendapat pemberitahuan cancel dengan alasan ban motor bocor.

Wanita memakai jilbab biru tua itu mencoba memesan yang lain, namun dalam antrian. Jika saja dia masih tinggal di rumahnya yang dulu, tentu tidak akan kesulitan karena jarak kafe dan rumahnya tidak terlalu jauh.

Nara mendesah saat melihat jam di pergelangan tangannya. Malam kian larut, tapi dia belum berhasil memesan ojol. Tidak mungkin menaiki bus karena perumahan Ciremai Indah bukan yang dilewati jalur bus.

Nara mulai panik saat satu per satu yang ada di sana mulai beranjak pergi. Sementara nasibnya belum pasti.

Sempat merutuk takdir, punya suami justru bersama wanita lain.

Din ... din ....

Ada sebuah mobil berhenti di depan Nara. Saat kaca mobil terbuka, Nara baru paham kalau itu mobil Tirta. Sang manager kafe tempatnya bekerja.

"Mau bareng, gak, Ra?" Tirta melongok ke luar jendela demi menawari tumpangan untuk Nara.

"Enggak usah, Pak. Saya nunggu ojol saja." Nara menolak karena sadar dengan statusnya yang baru. Walau pernikahannya tak banyak yang tahu, tapi dia tetap tak enak hati berduaan dengan yang bukan muhrim.

"Sudah pesan ojolnya?"

Dengan ragu Nara menggeleng. "Sedang usaha nyari yang kosong."

Tanpa diduga, pria bernama Tirta itu turun dan menghampiri Nara.

"Bareng saya aja, Ra. Bahaya jam segini cewek masih di luaran. Rumahmu sekitar Bambu Kuning kan? Satu arah sama saya." Tirta melihat Nara dengan kekhawatiran. Pria yang berumur sekitar tiga puluh dua tahun itu memang berlebih baik dengan Nara.

"Rumah saya sudah pindah di Perumahan Ciremai Indah."

"Perumahan Ciremai Indah? Sejak kapan kamu pindah ke sana?" Kening Tirta berkerut. Dia tahu perumahan yang disebutkan Nara bukanlah perumahan biasa. Kawasan itu untuk orang-orang petinggi dan pebisnis besar. Lalu bagaimana Nara bisa pindah ke kawasan elit itu?

"Emh ...." Nara kebingungan menjawab. "Baru kemarin." Dia meringis.

"Gak papa, ayo saya antar. Saya khawatir kalau kamu tetap disini."

Setengah paksaan itu membuat Nara mengikuti langkah Tirta untuk masuk ke mobil.

Setelah memasang sabuk pengaman, Tirta langsung melajukan mobilnya. Tanpa ada yang tahu kalau mobil Natan sebenarnya berhenti di belakang mobil Tirta.

"Gak sepolos yang gue duga," gumam Natan yang segera memutar arah untuk kembali ke rumah Salsa.

Dia tadi izin dengan Salsa ingin membeli makanan, padahal niatnya bukan seperti itu. Saat berhenti di lampu merah, dekat dengan kafe tempat Nara bekerja, dia melihat istrinya itu sedang menyeberang jalan lalu duduk sendirian di halte.

Meski hubungan mereka tidak terlalu dekat, tapi dia sadar bahwa keselamatan Nara adalah tanggung jawabnya. Maka memutuskan untuk mengantar Nara pulang terlebih dahulu dan setelah itu akan kembali lagi ke rumah Salsa.

Tapi, ketika niatnya berbuntut kekecewaan, dia kembali ke rumah Salsa dengan dada bergemuruh.

Bahkan hingga pagi menjelang, Natan baru pulang ke rumahnya sendiri. Nara yang kebetulan haus dan sedang menuruni tangga, tak sengaja berpapasan dengan Natan yang akan menaiki tangga.

Keduanya tampak canggung untuk bertegur sapa. Natan yang teringat Nara diantar pulang oleh pria lain merasa malas untuk menyapa.

Sementara Nara sendiri, ingat Natan satu mobil dengan Salsa membuatnya malas juga untuk menanyai lebih dulu. Apalagi Natan sampai pulang menjelang subuh. Apa yang mereka lakukan? Apa mungkin Natan ketiduran di rumah Salsa?

Nara menghela napas panjang. Berusaha membuang ego.

"Baru pulang, Mas? Mau dibuatin minum atau ku hangatkan makanannya?"

Natan menghentikan langkah. Keheranan dengan sikap Nara. "Buatin teh aja."

"Emh."

Tidak sampai lima menit, Nara sudah selesai membuat the dan membawanya ke lantai dua.

Dia mengetuk kamar Natan dan langsung dibuka.

"Ini tehnya." Nara menyodorkan teh itu di depan Natan.

"Makasih," balas Natan singkat.

"Kok kamu terlihat pucat, Mas?" Nara memperhatikan wajah Natan yang terlihat pucat.

"Gue sedikit pusing. Tapi nanti juga sembuh kalau udah istirahat." Pria itu menghela napas berat.

Malam ini Salsa tidak enak badan, setelah tadi mengantar ke dokter, sikap Salsa sangat manja dan banyak maunya. Bahkan wanita itu tidak membolehinya pulang sebelum Salsa tertidur. Alhasil Natan menunggui Salsa sampai hampir menjelang subuh.

Dia sudah memberi pengertian kepada Salsa, tapi kekasihnya itu tetap tidak mau ditinggalkan.

"Dimana kotak obatnya, biar aku ambilkan," ujar Nata. Dia yang baru beberapa hari tinggal belum paham dimana tata letak penyimpanan kotak obat-obatan.

"Biasanya di ruang tengah, di lemari bawah."

"Tunggu sebentar biar aku ambilkan." Nara berlalu menuruni tangga.

Setelah memastikan Natan meminum obat pereda sakit kepala, dia kembali ke kamarnya.

Dan keesokan harinya, dia yang mendapat laporan dari Bi Inem kalau Natan belum turun ke bawah berusaha membangunkan Natan.

Tok ... tok ....

"Mas, kamu gak kerja?"

Tidak mendapat sahutan, akhirnya Nara kembali mengetuk pintu sedikit keras dan memanggil-manggil Natan.

"Kenapa?" Ketika Natan membuka pintu, wajahnya terlihat lebih pucat dari semalam. Bahkan pria itu berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah.

Nara khawatir melihat kondisi Natan, tapi tidak berani untuk melangkah masuk. Teringat dengan pesan pria itu, bahwa dia tidak boleh masuk.

Dia tetap berdiri di depan pintu dengan di lema, melanggar pesan atau tetap diam. Tapi, mendengar Natan muntah tak henti membuatnya masuk.

"Kamu masuk angin, Mas," ujarnya.

Natan terkejut melihat Nara menyusulnya ke kamar mandi. Ingin mendebat tapi tenaganya lemas.

"Kepalaku masih terasa pusing." Sambil berpegangan tembok, Natan berjalan melewati Nara dan menuju ke ranjang. Merebahkan tubuh lemas nya di sana.

"Sebentar aku ambil minyak angin." Setelah kembali, Nara mengoles tengkuk Natan dengan minyak itu. Meski canggung, tapi tetap dilakukan.

"Mau aku kerokin, Mas? Biasanya kalau masuk angin di kerokin bisa langsung enakan."

"Enggak! Gue gak pernah."

"Coba dulu."

"Enggak!" Natan menolak tegas karena seumurnya dia belum pernah melakukan itu.

"Ya sudah, aku ambilkan makan dan minum obat lagi. Siapa tau sedikit mendingan."

Selepas kepergian Nara, Natan terdiam dengan sikap Nara yang baik kepada nya. Harusnya wanita itu marah atau pun tidak peduli dengan nya.

Lamunan Natan buyar saat ponselnya berdering dan ternyata Salsa yang menelpon.

"Halo?" jawab Natan.

"Sayanng, kamu belum ke kantor kan? Nanti bisa mampir ke rumah dulu, aku pengen makan buryam di dekat supermarket. Tolong beliin ya?" ucap Salsa dengan manja.

"Aku gak ke kantor. Kamu pesan grab makanan aja, ya. Aku gak enak badan," tolak Natan yang memang merasa pusing.

"Gak mau. Aku maunya kamu yang beliin. lagian tadi malam kamu gak kenapa-napa."

Terpopuler

Comments

Aliya Jazila

Aliya Jazila

waah jangan2 salsa hamil..waduuhh benar2 memperihatinkan nasib nara tunggu kelanjutan nya thor.

2023-05-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!