Sore hari Nara membantu asisten rumah tangga untuk menyiapkan makanan. Karena sama-sama tidak tahu makanan kesukaan Natan, Nara dan Bi Inem memasak bahan yang di kulkas.
Satu hari tinggal di rumah itu, Nara sudah akrab dengan asisten rumah tangga yaitu Bi Inem, Mbak Yani dan Anis.
Nara tidak sungkan mengajak mereka mengobrol, membuat ketiganya respek mengakrabkan diri.
"Kira-kira pulang jam berapa Mas Natan nantI, ya?" gumam Nara lebih bertanya ke diri sendiri. Namun Bi Inem yang mendengar ikut menyahut.
"Kalau Tuan Abimana seringnya jam lima sore sudah sampai rumah, Non. Tapi kalau Tuan Natan biasanya sih tidak pasti," ujarnya.
Bi Inem memang salah satu asisten di rumah Abimana. Sengaja dipindahkan ke rumah Natan supaya bisa diposisikan sebagai kepala pelayan. Karena Bi Inem sendiri sudah lumayan lama mengabdi di keluarga Abimana, hingga sudah mendapat kepercayaan penuh.
"Jam lima, ya, Bi? Oh, berarti satu jam lagi sudah pulang." Gerik matanya pada jam dinding yang masih bergerak ke angka empat. Masih kurang satu jam lagi.
"Saya mandi dan sholat dulu, ya, Bi. Nanti panggil saya kalau Mas Natan sudah keburu pulang," pesannya.
"Baik, Non."
Nara pergi ke kamarnya untuk mandi dan sholat. Jadi ketika Natan pulang, dia sudah dalam keadaan bersih. Begitu pikirnya.
Bukan ingin dipandang ataupun meminta pujian dari Natan, akan tetapi lebih pada kesadaran diri untuk menghargai suaminya. Sedikitnya dia pernah mendengar tausiah tentang menghargai dan mencari pahala dari suaminya. Dan dia ingin meraih pahala dari pernikahannya.
Satu jam, dua jam, hingga tiga jam lamanya. Kini sudah bukan pukul lima lagi, tapi jarum jam sudah bergerak ke arah angka tujuh. Meski begitu belum ada tanda-tanda Natan akan pulang. Halaman masih nampak lengang, tanpa suara deru mobil yang berhenti di garasi.
"Non tidak makan dulu?" Bi Inem tahu jika Nara masih menunggu kedatangan Natan. Hingga hidangan di atas meja masih utuh belum tersentuh.
"Enggak, Bi. Nanti saja. Bibi sudah makan? Kalau belum, makan duluan saja. Ajak Mbak Yani dan Anis sekalian," kata Nara. Dia tidak enak gara-gara dirinya asisten rumah tangga dan penjaga juga belum makan malam.
Saat masakan yang dibuat sudah matang, Nara memang sengaja memisahkannya menjadi dua. Satu untuk dia dan Natan, sementara satu lagi untuk asisten rumah tangga dan penjaga rumah.
Nara tidak membedakan makanan antara majikan dan pelayan, semua dianggap sama. Karena sejatinya dia tidak membedakan status mereka.
Jarum jam terus berputar, hingga kini sudah pukul sepuluh malam. Bi Inem menggoyang bahu Nara yang ketiduran di ruang televisi. Televisi sudah menyala, tapi orang yang menonton sudah berpindah ke alam mimpi.
"Bi, Mas Natan sudah pulang?" Nara gelagapan ketika dibangunkan. Dia mengira Natan sudah pulang, makanya dibangunkan.
Bi Inem menunduk. Seperti tidak enak hati. Akhirnya hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Ya sudah, Bibi istirahat saja. Saya juga mau istirahat. Mas Natan gak pulang-pulang," ujarnya yang segera membenarkan jilbab dan bangkit untuk menuju ke kamarnya.
Pernikahan yang dijalani memang tidak berdasarkan rasa cinta, dia tahu hal itu, akan tetapi entah mengapa dia tadi bisa melakukan hal konyol dengan ingin menyambut kedatangan Natan. Dan pada akhirnya menertawai kekonyolannya sendiri.
Setelah raut wajahnya terbasuh air wudhu, kini rasa kantuk itu menghilang. Nara memutuskan membaca kitab suci. Sampai dia mendengar deru mesin mobil masuk ke garasi. Berarti Natan sudah pulang.
Nara segera memakai jilbab instan dan keluar kamar. Dia melihat pria itu sedang menaiki anak tangga.
Natan terkesiap melihat Nara belum tidur. "Udah malam kenapa belum tidur?"
"Tadi udah tidur, pas kebangun malah kantuknya hilang." Nara berdiri di anak tangga teratas. "Kamu baru pulang?"
"Iya," singkat Natan. Kini sudah sampai di depan Nara.
Wanita memakai jilbab hitam itu mundur. Mengibaskan tangan di depan hidung saat mencium aroma yang sangat kuat.
'Astagfirullah, ternyata Mas Natan juga pemabuk?'
Kini, titik fokus Nara tertuju pada kemeja Natan yang berwarna putih terdapat noda merah. Seperti noda lipstik.
Walau tidak ada rasa suka, tapi hati Nara tercabik-cabik mengetahui semua itu. Bahkan, tubuhnya yang sudah halal saja tidak disentuh sedikitpun. Tapi suaminya justru menyentuh yang bukan halal baginya. Miris dan merasa teriris.
"Oh." Nara yang tadinya ingin memanaskan makanan jadi mengurungkan niat. Tanpa berkata apapun, kembali masuk ke kamarnya.
Natan yang tidak mengerti hanya mengernyit bingung melihat Nara. Tapi hatinya tidak terketuk untuk mencegah atau menyusul. Malah masuk ke kamarnya sendiri.
"Astagfirullah hal'adzim. Ya Allah, beri aku petunjuk dan ketenangan hati mengetahui Mas Natan seperti itu."
•
Pagi hari Nara sudah rapi dengan pakaian tertutup. Dia dan Natan berada di ruang makan sedang sarapan bersama. Beberapa kali pria itu melihat ke arah Nara.
"Lo mau pergi kemana?"
"Hari ini aku mulai masuk kerja."
"Kerja di kafe itu lagi?"
"Hem." Nara mengangguk.
"Dari sini lumayan jauh," ujar Natan, tapi kepotong dengan sahutan Nara.
"Aku sudah pesen ojol."
"Kita satu arah. Bisa bareng."
Nara langsung melihat ke arah Natan. Memastikan jika pria itu sungguh-sungguh atau hanya berbasa-basi saja.
"Aku sudah terlanjur pesan ojol. Untuk pulangnya, aku ijin sampai malam karena harus ganti jam lembur kemarin."
"Terserah. Gue juga gak bisa mastiin pulang jam berapa. Kadang ada acara di luar. Kan udah gue bilang, kita bebas, gue gak akan campurin urusan lo, tapi lo juga jangan ikut campur urusan gue."
Nara menghela napas panjang. Dalam pernikahan yang dia tahu tidak seperti ini. Setelah ijab qabul dilantunkan, maka kedua pasangan menjadi satu. Hal apapun yang menyangkut tentang pasangan, maka mereka berhak ikut campur.
Tapi apa yang diucapkan barusan justru menandakan jika pernikahan mereka tidak ada arti apapun bagi Natan.
Seperti yang dikatakan Nara tadi, dia benar-benar pulang malam. Pukul delapan baru keluar dari kafe. Dan pada saat menyebrang jalan, dia mengernyit melihat ke arah mobil yang sedang berhenti di bawah lampu merah.
Dia melihat suaminya bersama seorang wanita, yang dia duga adalah Salsa. Pada saat itupun arah tatapan Natan juga sedang melihat ke arahnya. Nara buru-buru membuang pandangan dan melanjutkan jalannya.
Nara duduk diam di halte bus. Mengingat kembali tentang Natan bersama Salsa, hatinya semakin keruh. Dia melepas perasaanya demi pernikahan itu, tapi Natan sama sekali tidak menghargainya.
Entah sampai kapan mereka akan terlibat pernikahan seperti itu? Pernikahan yang hanya melahirkan dosa tanpa adanya keberkahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Aliya Jazila
lanjut
2023-05-09
0
Aliya Jazila
biar kesakitan labih dulu di akhir yg ada penyesalan..gercef thor up tiap hari saya selalu dukung othor
2023-05-09
0
Apriyanti
lanjut thor
2023-05-07
0