Karena Gue juga Tidak Menginginkan

Siang hingga menjelang malam hari Nara hanya berdiam diri di kamar hotel. Dia bingung harus melakukan apa. Hanya mengompres luka bekas tamparan wanita tadi, menonton tv dan melamun di balkon. Itu saja.

Untuk kembali ke rumah tidak mungkin, ayahnya pasti curiga bahwa sudah terjadi sesuatu dengannya dan pria bernama Natan.

Menghubungi teman, atau siapapun untuk teman curhat juga tak ada. Selama ini dia jarang dekat dengan siapapun kecuali Dina. Dan entah mengapa hatinya ragu untuk menceritakan masalahnya kepada Dina.

Pergi ke kafe? Tapi izin cutinya sampai tiga hari. Kalau dia kesana sebelum masa cutinya selesai, manager dan teman kantornya juga pasti keheranan. Apalagi alasan dia cutinya karena sakit, bukan acara menikah.

Dia benar-benar tidak bisa berkutik dengan waktu yang terasa membosankan.

Akhirnya dia menyalakan layar tv lagi agar ruangan itu tidak sepi, meski bukan dia yang menonton tapi layar tv yang justru menontonnya.

Hingga lama kelamaan matanya lelah dan mengantuk. Dia tertidur di sofa.

Pukul sepuluh malam Natan baru kembali ke hotel. Ketika masuk, dia menemukan Nara tertidur di sofa dengan jilbab instan yang sedikit berantakan.

Titik fokusnya tertuju pada sudut bibir Nara yang memerah akibat tamparan Salsa pagi tadi. Dia menghela napas dan duduk di ujung sofa.

Walau dia tidak menyukai Nara, tapi dia juga tidak ingin menyakitinya. Saat tanpa sadar jemarinya ingin memeriksa luka itu, tiba-tiba tubuh Nara berganti posisi menjadi miring menghadap ke arahnya.

Dia yang merasa tidak nyaman ingin segera pergi, tapi tangan Nara menahannya. Saat dia menoleh, ternyata wanita itu masih terlelap. Mungkin hanya mengigau.

"Mas Gara, maafkan aku."

Kening Natan berkerut mendengar gumaman Nara yang meminta maaf dengan menyebut nama Gara.

Siapa Gara? *Apa Gara adalah paca*rnya?

"Astagfirullah hal'adzim." Nara terkejut tiba-tiba ada Natan disampingnya. Bahkan dia lebih terkejut lagi saat tangannya sedang menggenggam pergelangan tangan pria itu. Dia melepas dengan gerakan cepat.

Natan berubah sinis. "Kenapa? Kayak tangan gue najis aja," celetuknya.

"Ma-maaf, aku tadi kaget. Jadi reflek." Nara segera duduk.

"Sudah pulang dari tadi? Mau ku ambilkan minum?" tawar Nara. Meski keheranan, pria itu mengangguk.

Sikap Nara seperti tadi pagi tidak terjadi apapun. Padahal menurutnya, Nara akan meminta pertanggung jawaban atas perbuatan Salsa. Atau setidaknya gadis itu mendiaminya.

Nara meletakkan air dingin di depan Natan. Lalu ingin pindah ke ranjang, tapi pertanyaan Natan membuatnya berhenti.

"Luka lo udah dikompres?"

"Sudah."

"Gue belum jelasin ke Salsa tentang pernikahan kita, jadi dia ngamuk-ngamuk. Kalau sakit banget, gue anter ke rumah sakit. Gue lupa mau mampir apotek."

"Udah dikompres, lumayan mendingan."

"Besok kita pindah ke rumah gue. Biar lebih bebas," ujar Natan.

"Masih di daerah sini kan?" Nara khawatir jika rumah Natan berbeda kota, dia takut tidak bisa bekerja di kafe lagi.

"Di Perumahan Ciremai Indah."

Perumahan Ciremai Indah memang masih di satu kota, namun letaknya lumayan jauh.

Dan keesokan harinya, mereka benar pindah ke rumah Natan sendiri. Rumah berlantai dua, tidak terlalu besar namun tampilannya mewah dengan gaya arsitektur zaman sekarang.

Dalam hati Nara sangat kagum melihat bangunan yang akan ditinggali. Karena dia belum sepenuhnya tahu tentang Natan, diapun tidak tahu jika suaminya pewaris Perusahaan besar.

"Gak perlu bersih-bersih rumah atau nyiapin makanan, udah ada asisten rumah tangga yang ngelakuin. Di rumah ini lo bebas, tapi ada satu yang harus lo ingat, jangan masuk ke kamar gue!"

Nara mengikuti jejak kaki Natan yang mengarah ke lantai dua. Sambil telinganya mendengar ucapan pria itu.

"Lo kayak orang dungu! Diajak ngomong cuma diem aja." Sudah beberapa kali Natan mengajak bicara, tapi Nara irit jawaban. Kesal sendiri akhirnya.

"Aku sedang mendengar dan mencatat omonganmu, Mas."

"Ohya, panggil Natan aja. Geli gue dengernya lo manggil gue Mas."

"Aku gak bisa, seperti tidak sopan."

"Itu kamar lo." Natan menunjuk kamar dengan pintu bercat putih. Sementara pintu bercat hitam yang ada disebelahnya diakui adalah kamarnya.

"Kalau yang ini kamar gue! Inget, lo jangan masuk. Gue gak suka privasi gue diliat orang lain. Kecuali asisten yang bersih-bersih kamar."

Nara mengangguk mengerti. Walau merasa tidak dihargai statusnya sebagai seorang istri, tapi dia tak bisa protes.

"Em, Mas ... Natan, aku terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Bolehkan aku bantu-bantu?"

"Kalau itu kemauan mu sendiri, silahkan. Tapi bukan gue yang nyuruh." Setelah mengatakan itu, Natan pergi ke kamarnya sendiri.

Nara juga masuk ke kamar yang ditunjuk Natan tadi. Saat ingin memindahkan pakaiannya ke dalam lemari, dia mendapat telepon dari Dina.

"Assalamualaikum, Din."

[Walaikum salam. Ra, ini Pak Rohim mau bicara]

Sesaat berikutnya terdengar suara ayahnya yang menanyakan kabarnya.

"Nara baik, Pak. Iya, Bapak tenang saja, Mas Natan baik dan lembut kok. Nara dan Mas Natan sedang mengenal satu sama lain."

Natan yang ternyata sedang berdiri di depan pintu kamar Nara terkesiap mendengar ucapan gadis itu yang mengatakan bahwa dia sangat baik dan lembut. Padahal kenyataanya tidak begitu.

"Iya, Pak, doakan pernikahan Nara dan Mas Natan langgeng. Aamiin."

"Iya, walaikum salam."

Saat Nara berbalik badan, tentu terkejut melihat Natan berdiri kaku di depan pintu.

"Mas ...?"

"Kenapa lo musti bohong kalau gue baik dan lembut sama lo?"

"Terus aku harus bilang gimana? Sikapmu buruk dan kasar, begitu?" Nara melanjutkan aktifitasnya memasukkan baju-baju miliknya ke dalam lemari.

"Aku jelas gak sampai hati mau bilang seperti itu. Takut jadi beban pikiran bapak," lanjutnya.

"Huh, terserah lo. Gue cuma mau ngasih ini. Setiap bulan gue transfer untuk uang nafkah bulanan lo. Terserah mau lo gunain buat apa, yang jelas semua kebutuhan rumah udah gue yang handel." Natan memberikan kartu ATM kepada Nara sebagai uang nafkah.

"Gak perlu. Walau statusku sebagai istrimu, tapi kamu gak perlu memberiku uang nafkah. Aku takut dosa, karena sebagai istri aku belum bisa menyerahkan diri untuk suamiku."

"Tapi itu bukan semata kesalahan lo. Karena gue juga gak menginginkan. Terserah kartu itu mau lo simpen aja atau mau di bagaimanakan. yang penting itu buat lo." Natan menaruh kartu ATM di atas meja, lalu lagi-lagi pergi begitu saja.

Nara hanya melirik sekilas. Menghela napas panjang. Sungguh, dia tidak mengira akan terlibat pernikahan tanpa cinta dengan pria asing. Entah seperti apa yang akan mereka jalani.

Karena gue tidak menginginkan. Kalimat itu terasa mencabik-cabik harga diri Nara. Tidak seharusnya Natan mengatakan hal demikian.

Terpopuler

Comments

Aliya Jazila

Aliya Jazila

lanjut thor

2023-05-09

0

Lyla

Lyla

next akak mei

2023-05-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!