"Saya terima nikah dan kawinnya Akari Nara binti Abdul Rohim dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Dengan satu tarikan napas Natan berhasil melantunkan ijab qabul. Bersamaan dengan menetesnya cairan bening dari sudut mata Nara.
"Selamat ya, Ra. Semoga pernikahan kalian sakinah, mawadah, dan warahmah."
"Makasih, Din." Nara memeluk temannya bernama Dina.
Saat ini, dia tak tahu harus senang atau sedih. Dia tahu menikah adalah ibadah terpanjang dalam hidup, banyak pahala yang bisa diraih. Namun, pernikahan itu bukan atas kehendak hatinya. Bisakah dia ikhlas dan bahagia.
"Nak, saatnya kamu menemui suamimu." Pak Rohim masuk ke kamar putrinya. Menyuruh Nara untuk menemui suaminya.
"Iya, Pak."
Di temani Dina, wanita yang mengenakan kebaya putih itu mulai melangkah keluar kamar.
Pasang-pasang mata tertuju padanya, membuat jantung Nara berdebar tak karuan. Sekaligus gugup. Dia menggenggam tangan Dina dengan erat.
"Mbak Akari Nara, silahkan cium tangan suaminya. Dan Mas Natan nanti cium kening Mbak Nara, ya," ujar penghulu memberi petunjuk. Keduanya sama-sama mengangguk.
Sungguh, jantung Nara tak terkontrol lagi. Beberapa detik selanjutnya dia dapat melihat rupa lelaki yang mengucap janji suci untuknya.
Gelenyar aneh menelusup saat dia meraih dan mencium punggung tangan pria itu. Tangannya pun sama-sama dingin.
Dan hal yang sama dirasakan juga oleh Natan. Jantungnya bertalu-talu sesaat dia mengecup kening wanita asing. Namun aneh sekali, karena wanita asing itu kini adalah istrinya.
Istri? Geli sekali dia mengingat panggilan itu.
Tapi, ketika wanita dengan semerbak harum melati itu mendongak, bola matanya melebar terkejut.
Dia?
Ya, dia pelayan kafe yang beberapa hari lalu menumpahkan jus ke kemejanya. Wanita ceroboh. Terlihat cantik namun sama sekali tidak menarik.
•
Malam hari, Natan membawa Nara ke hotel. Jangan salah paham dulu! Itu bukan keinginan Natan, namun atas perintah Abimana.
Saat memasuki kamar hotel, keduanya berdiri di depan pintu sambil mengamati suasana kamar yang ternyata dihias begitu meriah. Namun sangat memuakkan bagi Natan. Pria itu mendesah kasar.
"Lo mandi duluan!" titahnya. Berjalan ke arah sofa. Lalu duduk disana.
Nara mengangguk dan pergi ke kamar mandi. Riasan make up yang tebal sangat susah untuk dibersihkan. Sampai beberapa lama belum juga selesai.
Natan yang sudah merasa gerah langsung menghampiri kamar mandi. Tampak tidak sabaran menggedor daun pintu.
"Lo mandi apa rencana mau bunuh diri?! Lama banget!" teriaknya kesal.
Nara membuka pintu, "maaf kalau kelamaan," ucapnya.
"Lama banget," gerutu Natan melirik tajam dan masuk ke kamar mandi. Menutup pintu dengan suara keras, membuat Nara berjengit kaget.
"Astagfirullah." Nara mengelus dada. Natan terlalu kasar dan dingin. Jauh sekali dengan sikap seseorang.
Wanita yang sudah memakai baju tidur lengan panjang itu berjalan menuju meja rias. Mengoles pelembab dan liptin.
Sesaat Pandangannya menerawang mengingat lelaki bernama Gara. Lelaki yang selalu bertutur kata lembut dan sopan, selalu menghargai seorang wanita. Benar-benar berbanding terbalik dengan lelaki yang kini menjadi suaminya.
"Astagfirullah." Nara beristigfar ketika sadar sudah membandingkan Natan dan Gara.
"Lo laper gak, kalau laper gue pesenin makanan." Suara bariton itu membuat Nara menoleh.
"Masih kenyang," jawab Nara. Sore tadi sudah makan catering sisa acara tadi. Dan sampai saat ini masih kenyang.
Natan melewati Nara dan meraih tombol telepon untuk menghubungi bagian resepsionis. Dia meminta jasa cleaning servis untuk membersihkan kamarnya.
Tak berapa lama cleaning servis datang. Menanyakan tugas yang harus dikerjakan.
"Bersihkan kamar ini. Buang semua hiasan gak penting itu. Semuanya membuat mataku sakit!"
"Baik, Tuan."
Nara yang duduk di sofa hanya diam mengamati.
Dan setelah cleaning servis sudah membersihkan kamar. Suasana mendadak hening. Natan sedang sibuk dengan ponselnya, sementara Nara hanya diam. Dia melamun karena bingung harus bagaimana.
"Jangan ngarepin malam pertama. Gue gak minat tidur sama lo."
Nara menelan ludah. Siapa juga yang mengharapkan malam pertama. Dia malah senang kalau tidak ada malam pertama.
"Lo pindah ke ranjang, biar gue yang tidur di sofa."
Ternyata masih punya sisi baik, Nara kira Natan benar-benar tidak peduli. Dia segera pindah ke ranjang, sementara Natan di sofa.
"Status kita sekarang memang suami istri, tapi seperti yang lo liat beberapa hari lalu, gue udah punya pacar," ujar Natan.
Nara yang sedang membenarkan selimut menghentikan gerakannya. Dia mengingat wanita yang disebut pacar oleh suaminya barusan.
"Lo jangan keberatan kalau kita masing-masing. Gue gak akan campurin urusin lo, tapi lo juga gak ada hak buat campurin urusan gue!"
Nara terdiam. Entah pernikahan seperti apa yang akan dijalani. Belum apa-apa Natan sudah mengancam.
"Telinga lo budek?! Dari tadi di ajak ngomong diem aja kayak patung!" sentak Natan kesal karena Nara hanya diam tidak merespon ucapannya. Mengiyakan atau dia punya pendapat lain.
"Iya, aku mengerti."
"Diem aja kek orang bego!" cibir Natan yang masih bisa didengar oleh Nara meski sedikit samar.
Pagi harinya. Pintu kamar hotel digedor dengan keras. Nara yang baru selesai berpakaian begitu terkejut dan ketakutan.
Dilirik Natan yang masih tidur, ingin membangunkan tapi tidak berani. Terpaksa dia membuka pintu karena gedoranya semakin keras.
"Siapa, ya."
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Nara. Kepalanya sampai menoleh ke kanan karena saking kerasnya tamparan itu. Bahkan, telinganya sampai berdengung.
"Siapa elo tiba-tiba nikah sama Natan. Hah?!" Wanita itu berteriak histeris. "Dia pacar gue! Harusnya gue yang nikah sama Natan, bukan elo! Jala**!"
"Astagfirullah. Tenang, Mbak, tenang! Kita bisa bicara baik-baik." Nara gemetar dan malu, beberapa orang sampai mendekat.
"Tenang?! Lo nyuruh gue tenang? Gak punya otak! Pacar gue direbut pelakor dan gue musti tenang," tukas wanita itu bertambah marah.
"Ada apa?" Natan menghampiri mereka. Lelaki itu terkejut mengetahui pacarnya sudah berdiri di depan kamar hotelnya. Keadaanya acak-acakan dengan mata sembab.
"Harusnya aku yang bertanya. Apa-apaan ini, Natan! Kenapa tiba-tiba kamu nikahi wanita ini?! Apa selama ini kamu cuma main-main dengan perasaanku? Jahat sekali kamu!"
"Salsa, aku bisa jelasin!"
"Apa yang mau kamu jelasin? Foto ini sudah menjelaskan semuanya!" Salsa menunjukan sebuah foto ketika Natan mengecup kening Nara. Siapapun bisa menilai jika dua orang itu usai melangsungkan pernikahan.
Tak ingin membuat suasana semakin rumit, Natan menarik tangan Salsa untuk di bawa pergi. Meninggalkan Nara yang hanya mematung di depan pintu.
Sakit fisik tidak sebanding dengan rasa malu dan sakit karena perkataan wanita bernama Salsa tadi.
"Ya Allah, kenapa Kau memberiku takdir seperti ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Aliya Jazila
gx apa thor yg penting ada tantangan
2023-05-09
0
Apriyanti
kasian bgt Nara,,yg sabar ya nar
lanjut thor
2023-05-05
0